Sulhatun dan Mimpi Besar Asap Cair Tempurung Kemiri

SHARE:  

Humas Unimal
Sulhatun, ST, MT, dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh. Foto: IST.

DALAM Pameran Inovator Inovasi Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, seorang pengunjung bertanya tentang asap produk asap cair dari tempurung kemiri temuan Sulhatun ST, MT, dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh. Mulanya hanya pertanyaan normatif, kemudian berkembang menjadi diskusi panjang. Tidak cukup sampai di situ, esoknya ada orang lain yang menanyakan lebih dalam tentang asal cair dri tempurung kemiri (aleurites moluccana).  

Ternyata, mereka adalah pejabat di sebuah perusahaan industri makanan terbesar di Indonesia. Setelah mendengarkan pemaparan Sulhatun, mereka menawarkan biaya riset Rp5 miliar untuk memproduksi asap cair tempurung kemiri secara massal.

Tapi Sulhatun menolak dengan berbagai alasan, di antaranya produk tersebut belum dipatenkan. Dia juga ingin asap cair dari tempurung kemiri menjadi produk unggulan dari Aceh dan memberikan nilai tambah bagi Aceh, baik dari aspek ekonomi, perdagangan, sosial, dan budaya. “Banyak yang bilang saya bodoh menolak kesempatan. Tapi saya tidak menyesal,” ungkap Sulhatun di Lhokseumawe, Selasa (16/4/2019).

Sulhatun yang sudah meriset asap cair dari tempurung kemiri sejak 2012, punya mimpi lebih besar dan berjangka panjang daripada sekadar mendapatkan keuntungan sekejap. Ia yakin dan percaya, pengorbanan panjang selama penelitian akan berbuah manis pada akhirnya.

***

Ibu dari Rania Bilqis Hufaida (5) dan Sofia Bilqis Ufaira (4) ini mulai tertarik dengan biji kemiri sejak 2012 ketika sedang mencari tema untuk desertasi. Ketika turun ke pedalaman Aceh Utara dan Bireuen, ia menemukan banyak limbah tempurung kemiri berserakan.

“Di situlah muncul ide mengolahnya menjadi asap cair. Sebelumnya sudah ada asap cair dari tempurung kelapa yang ditemukan Prof Darmadji (almarhum). Akhirnya, saya terinspirasi mengolah ini dan berharap mendapat profesor dari riset ini seperti Prof Darmadji,” tambah Sulhatun.

Sejak itulah ia mulai mengembangkan penelitian. Namun, untuk memulainya ia menghadapi masalah klise: pendanaan. Akhirnya, pada 2014 ia mengikuti program penelitian Sistem Informasi Penelitian dan Pengabdilan Kepada Masyarakat (Simlitabmas) Ristekdikti dan menang. Ia mendapatkan biaya penelitian Rp200 juta untuk tiga tahun berturut-turut.

Selama setahun, ia mulai melakukan studi literatur dan membaca banyak jurnal. Dana yang dicairkan secara bertahap itu ternyata tidak cukup untuk penelitian awal, belum lagi banyak kebutuhan di lapangan di luar perhitungannya seperti listrik untuk air kondensor (pendinginan), pembuatan sumur, dan laboratorium yang harus dibangun.

Akhirnya, ia terpaksa menjual mobil pribadi karena terobsesi dengan pengembangan hasil penelitian. “Keluarga sampai marah. Biasanya, orang beli mobil ketika dapat dana penelitian, saya malah menjual mobil. Terkadang kebutuhan susu anak-anak sering jadi korban untuk kebutuhan riset. Tapi karena bersemangat dengan penelitian ini, saya punya motivasi kuat untuk jalan terus,” kata Sulhatun mengenang masa-masa sulit.

Dalam perjalanan, ia menghadapi tantangan lain karena ilmu yang dibutuhkan bukan hanya kimia, tetapi juga pertanian, mesin, dan desain. Misalnya, ketika mencari tabung reaktor, harganya mencapai Rp110 juta untuk kapasitas 60 kilo gram dan sekitar Rp200 juta untuk kapasitas 100 Kg. Dia menolak menyerah pada kendala pendanaan dan mengembangkan kreativitas.

“Desain reaktor saya coret-coret sendiri. Kemudian minta bantu mahasiswa Teknik Mesin di Unimal untuk merancang, lalu beli alat dan minta tukang las untuk membuat tabung reaktor. Tahun 2014, kami berhasil bangun mesin dengan sistem single unit. Tabung kondensor hanya satu,” jelas mantan pegawai Pemkab Aceh Utara itu.

Pada 2015, ia mencoba memodifikasi menjadi dua unit kondensor yang diparalelkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi asap cair melalui penyempurnaan alat untuk pemurnian produk. Sebelumnya, produknya masih hitam pekat atau masih tingkat tiga. Tapi setelah pemurnian produk, asap cair menjadi putih dan sudah bisa digunakan untuk industri karet, perkebunan, dan peternakan, misalnya sebagai pewangi. Pertanian bisa dipakai untuk membasmi hama tanaman untuk antimikroba.

Suka duka dialami Sulhatun selama penelitian. Ia pernah tidak percaya diri penelitian itu akan berhasil sehingga memilih berdiam di rumah ketika uji coba. “Malamnya mahasiswa telepon, katanya penelitian berhasil. Saya bahagia sekali,” kenang Sulhatun.

Tapi waktu itu Sulhatun dan tim belum bisa melakukan pemisahan tar dengan asap cair. Kemudian muncul gagasan merancang alat destilasi untuk memisahkan tar dengan asap cair agar bisa digunakan untuk industri pangan. “Tar tetap bisa bisa digunakan, misalnya untuk perekat di aspal.”    

Pada 2017, ia mulai mengembangkan produk tersebut pilot plant (skala besar). Memproduksi asap cari secara besar-besaran. Pengambangan ini berhasi mengolah 300 Kg per sekali bakar dengan 5 ton bahan baku. “Tapi tidak kontinyu karena kapasitas alat masih terbatas.”

***

Menurut Sulhatun, asap cair bernilai jual tinggi untuk bahan pengawet organik, bahan pengawet ikan untuk proses pengasapan. Membakar ikan tidak perlu lagi menggunakan tempurung kelapa yang berisiko bagi kesehatan. “Tinggal campur bumbu, masukkan ke open selama 20 menit, langsung jadi ikan bakar. Di Jerman dan Jepang, mereka menggunakan asap cair,” ujar Sulhatun. 

Harga asap cair juga sangat ekonomis, Rp20 juta per liter. Pasarnya sangat mudah ditemukan karena banyak negara Eropa menginginkannya untuk berbagai kebutuhan karena lebih ramah lingkungan.   

Pada Januari 2017 ia mengikuti Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) dan terpilih. Pada 2018, Sulhatun mengurus paten HKI (Hak Kekayaan Intelektual) melalui program Uber HKI dari Ristekdikti untuk alat pyrolisa double unit condensor 4 in 1 (satu proses dengan empat produk yang bisa dimanfaatkan), dan alat destilasi asap cair. “Semuanya sudah ada nomor seri, tinggal menunggu sertifikat saja. Semoga tahun ini sertifikatnya sudah terbit,” harap Sulhatun.

Ketekunan membuat Sulatun kembali mendapatkan biaya penelitian untuk Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PBBT) pada 2019. Ia mengajukan permohonan riset agar bisa memproduksi alat untuk pyrolisa biomasa. “Jadi satu satu penelitian, terbuka kesempatan untuk berbagai penelitian berikutnya,” jelas Sulhatun.

Dari ketekunan dan perjuangan panjangnya, Sulhatun memimpikan kemiri menjadi produk unggulan daerah di Aceh. Mimpi besarnya adalah membangun pabrik berbasis kemiri dengan berbagai varian produk yang zero waste (tanpa limbah) seperti minyak kemiri untuk kecantikan, creambath kemiri, lulur kemiri, dan sebagainya.

Asap cair dari tempurung kemiri memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan asap cair tempurung kelapa. Asap cair tempurung kemiri bisa digunakan sebagai bahan aplikasi pangan, kebutuhan industri lainnya seperti industri karet, bahan koogulasi getah karet, sebagai antifungi dan antimikroba di pertanian, sebagai industri bahan bakar alternatif (briket), dan arang aktif.

“Yang terbaru, saya menemukan asap cair antifungi di situs sejarah. Jamur yang tumbuh di makam seperti Makam Malikussaleh, bisa digunakan asap cair dengan cara disemprot untuk menghambat pertumbuhan jamur,” jelas Sulatun.

Penggunaan asap cair dari tempurung kemisi tak berbahaya dan tidak merusak bebatuan situs. Penelitian Sulhatun membuktikan, PH (asam lemak) asap cair tempurung kemiri tidak terlalu tajam sehingga tidak akan merusak ukiran di situs sejarah.

Ia sudah pernah menawarkan ke Pemerintah Aceh Utara untuk melindungi beberapa situs yang ada. Tetapi uji coba belum karena terkendala izin. Saya yakin ini bisa berhasil. “Ada pengembangan lebih luas dalam dunia medis. Tapi belum bisa saya jelaskan. Masih rahasia,” kata Sulhatun sambil tertawa.

Selain itu, ia mengharapkan bisa membangun Kemiri Research Center di Unimal. Lembaga ini akan mengkaji dan meriset berbagai kebutuhan nilai tambah kemiri. Kehadiran lembaga ini sangat penting karena Aceh juga termasuk daerah penghasil kemiri terbesar di Indonesia.

“Tapi kini terjadi penyusutan lahan kemiri karena digerus sawit. Masyarakat lebih suka sawit meski tidak ramah lingkungan. Padahal, kemiri lebih mudah merawatnya dan bernilai ekonomis kalau sudah diolah,” tandas Sulatun.[ayi jufridar]

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar