UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Dr. Herman Fithra memberi sambutan dalam acara rapat senat terbuka Wisuda Angkatan XXII yang bertempat di Gedung GOR ACC Cunda, Lhokseumawe, Sabtu (27/04/2019).
Dalam kesempatan itu Rektor Unimal Herman Fithra menyampaikan beberapa pesan kepada 1.142 lulusan, " Momen wisuda ini harus dilihat sebagai sebuah fase baru dalam hidup kalian. Ini bukan the point of arrival, bukan titik ketibaan dari proses belajar di perguruan tinggi dengan disiplin ilmu dan ketekunan yang diperlukan. Wisuda ini adalah the point of departure, titik berangkat untuk belajar lebih banyak lagi dalam dunia kehidupan yang semakin kompleks," kata Rektor Herman Fithra.
Menurutnya, dunia perguruan tinggi adalah idaman semua orang. Tapi tidak semua orang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Menurut pengamat pendidikan, Prof. Arief Rachman hanya sepertiga lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi negeri. Lulusan SMK lebih kecil lagi, hanya 10 persen yang melanjutkan ke PTN. Tentu ada banyak hal yang menyebabkan situasi itu terjadi, seperti akses pendidikan, kesempatan pendidikan, dan kemampuan finansial dari lulusan SMA/SMK itu sendiri juga menjadi sebab tidak begitu banyak anak bangsa yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, terutama di Perguruan Tinggi Negeri.
"Tentu momentum wisuda ini adalah membanggakan sekaligus menjadi tantangan bagi kalian. You are the happy minority! Kalian adalah minoritas yang berbahagia, yang diberikan keberkahan dan kebaikan oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan, sekaligus mendapatkan sokongan dari masyarakat dan negara dengan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Di titik ini ada banyak air mata haru yang tertumpah, dari orang tua dan wali kalian, termasuk juga kalian sendiri. Mengingat bahwa lini masa sudah menembus di titik akhir pendidikan Strata satu,"paparnya.
Namun di sinilah poin yang akan kita perbincangkan. Poin bahwa wisuda adalah proses belajar yang sesungguhnya, menghayati dan mencoba merenungi bahwa pendidikan yang ditempuh itu bisa tidak ada artinya apa-apa jika kalian tidak bersikap benar.
Seluruh metode dan konstruksi pendidikan nasional yang ditemukan oleh pendiri bangsa ini dan terus dimaksimalisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan, arah utamanya adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Allah SWT, homo spiritual sekaligus menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak mulia, homo laquen.
Dua gabungan dari tujuan pendidikan sebagaimana yang telah terekstraksi ke dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 14 tahun 2003) dan UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi keduanya menempatkan posisi iman (homo spiritual) dan akhlak (homo laquen) sebagai quadran utama pendidikan.
Jadi jelas bahwa pendidikan, termasuk pendidikan tinggi tidak diarahkan hanya untuk menjadi kaum intelektual dan kaum profesional semata. Menciptakan manusia pintar tanpa nutrisi spiritualitas dan moralitas, sesungguhnya hanya akan menenggelamkan manusia kepada – seperti yang diungkap oleh filsuf Perancis Jacques Ellul – menjadi technocratic society, manusia teknokratis ala robotik yang mengejar keunggulan dan kecemerlangan, tapi lupa bahwa fungsi manusia sesungguhnya adalah mengisi ruang yang tak bisa diisi oleh masyarakat mayoritas yang lemah, miskin, menderita, dan serba kekurangan. Tugas kaum intelektual kampuslah mengisi ruang itu.
Jika kini muncul pelbagai adagium tentang tujuan pendidikan tinggi sebagai the centre of excellence, pusat kemajuan dan kegemilangan, yang dimaksudkan tentu bukan hanya mengisi ruang profesional dan intelejensia matematis belaka. Bagi sistem pendidikan yang berorientasi Barat dengan filosofi individualisme dan liberalisme mungkin bisa dianggap bahwa centre of excellence adalah pada semangat penemuan dan kemajuan.
Tujuannnya adalah menjadi the best amongst the best. Tentu ada kebanggaan ketika bisa menjadi the special one, kampus satu-satunya yang paling spesial. Itu misalnya yang telah dicapai oleh Universitas Alkaruin di Maroko, Universitas Al Azhar, Cambridge University dan Oxford University di Inggris, National University of Singapore, Heidelberg University di Jerman, atau Stanford University. Pada kampus-kampus seperti itu diterima anak-anak paling berbakat yang bersaing dari seluruh dunia dengan kuota terbatas, dan tentu tidak ada Bidikmisi yang diberlakukan kepada mahasiswa kurang mampu. Pada kampus-kampus itu yang diterima adalah brainful student, mahasiswa yang berotak encer dengan IQ di atas rata-rata.
Namun, untungnya di Indonesia yang dituntut dari pendidikan tingginya adalah bukan hanya keandalan intelejensia, tapi tuntutan untuk menjadi manusia yang berkarakter, yang relijius, yang mengerti dimana dia harus berpijak, yaitu di Bumi Indonesia dengan keberagaman agama, etnis, dan budaya sehingga mengharuskan mahasiswanya menguasai wawasan nusantara dan memiliki kecerdasan sosial dan spritual.
Lanjutnya lagi, sistem pendidikan nasional kita sesungguhnya memiliki tujuan yang lebih dalam dibandikan tujuan pendidikan di dunia Barat, yaitu seperti termaktub di dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia, “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Ada beberapa kata kunci yang berkilau dari pembukaan UUD itu yaitu memajukan kesejahteraan umum, artinya kelompok kelas menengah termasuk kelas menengah intelektual seperti lulusan perguruan tinggi harus mencari kesempatan untuk mengabdi kepada masyarakat. Ia tak boleh maju sendirian, ia harus maju bersama-sama masyarakat dan merespons dunia global yang terus berubah.
Jika saat ini ada konsep yang dikenal dengan revolusi industri digital 4.0 dan disruption era itu dimaksudkan agar manusia yang dihasilkan dari produk pendidikan nasional harus bisa menjadikan teknologi informasi dan industri digital yang berkembang saat ini menjadi nasehat bagi kehidupan manusia.
Karena apa yang didengang-dengungkan dengan revolusi 4.0 telah mendapatkan kritik dengan tawaran baru yaitu revolution 5.0, yaitu manusia lah yang harus menjadi pusat dari segala perkembangan teknologi bahkan articial intellegence atau kecerdasan buatan. Revolusi industri yang menciptakan kecerdasan buatan sehingga melebihi puluhan kali kecerdasan manusia itu sesungguhnya bisa palsu belaka. Bahwa ia bisa maju, progresif, tapi tidak bisa menimbang dan menekankan kepada nurani. Nurani terdasar manusia adalah homo spiritual, yaitu mempercayai ada kekuatan adi daya yang menggerakkan seluruh alam-semesta ini, yang disebut Tuhan, Allah Azza wa jalla.
Meskipun demikian, Universitas Malikussaleh atau kalau mau disandingkan dengan nomenklatur kampus-kampus dunia, bolehlah kita panggil State University of Malikussaleh adalah perguruan tinggi yang telah memiliki reputasi dalam melahirkan peserta didik seperti yang juga diinginkan kampus-kampus global. Siapa sangka bahwa dengan kerja keras semua pihak Universitas Malikussaleh kini sudah mulai berada di peringkat 74 nasional, melompat lebih 50 persen dari empat tahun lalu.
Kita harus syukuri bahwa kini Unimal pun telah berkembang melejit jauh. Dari sebuah perguruan tinggi swasta kecil di Aceh Utara pada awal 70-an, menjadi perguruan tinggi negeri bonafide di pesisir Timur Aceh, yang memiliki tujuh fakultas, enam program master, 31 prodi S1, satu Program Profesi, dan satu Program Diploma. Mahasiswanya pun seperti semburan pelangi Indonesia, karena bukan saja asoe lhoks atau dari Bumi Pasai saja yang kuliah, tapi dari seluruh Nusantara. Dari Papua sampai Pakpak Bharat hadir. Dari Simeulu sampai Singkarak pun ada.
Meskipun pada awal pidato ringkas ini, saya mengatakan wisuda adalah langkah pertama yang harus kalian tapaki, kalian patut bersyukur juga dengan momentum yang sudah didapatkan ini. Seperti dikatakan oleh panyair Amerika Serikat, the road not taken, jalan yang tengah kalian lalui ini tidak ditapaki oleh semua orang. Hanya the happy minority yang menapakinya.
Timbangan yang harus dilakukan apa? Jadikan momen ini untuk melipatgandakan rasa syukur kepada Allah Swt, kepada orang tua yang masih memiliki tuah mata melihat kalian bergelar sarjana. Bagi wisudawan/wati yang telah yatim, atau piatu, atau yatim piatu, bersegeralah berdoa kepada orang tua kalian bahwa mereka juga menyaksikan hari baik ini. Do'alah dengan sungguh-sungguh untuk kelapangan kubur mereka dan seperti juga mereka mendoakan kalian untuk kesuksesan yang akan bertangga ke depannya.
Tetap belajar wahai ananda-ananda terbaikku. Hadist Nabi juga mengafirmasi hal demikian, thalabul ‘ilmi minal mahdi ilal-lahdi, tuntutlah ilmu dari sejak ayunan hingga liang lahat. Itu pertanda, belajar tidak batasnya. Longlife education! Hidupkan semangat ingin tahu menjadi benteng diri. Curiousity is boundless, kata filsuf Inggris Bertrand Russel. Hasrat ingin tahu itu tidak ada batasnya, maka jangan matikan semangat belajar dan ingin tahu lebih banyak lagi, termasuk di luar disiplin ilmu formal.
"Jadikan diri kalian sebagai pesona, intan kemilau yang memancar warna dan cahaya bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa. Di tanah ini kalian tegakkan harga diri. Dari kampus ini kalian tempa identitas diri, belajar dan menjadi orang yang berkarakter. Dari seorang mahasiswa, menjadi sarjana, dan kemudian menjadi ahsanit-Taqwim, makhluk terbaik dan bermanfaat bagi masyarakat dan alam."pesan Rektor Unimal Dr. Herman Fithra.[tkf]