Kebebasan Pers Lahir dari Perjuangan yang Berdarah-darah

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, menjadi pemateri dalam penguatan kapasitas jurnalis di Lhokseumawe, Sabtu 10 Juli 2021. Foto: Ist.

KEBEBASAN pers yang kini dinikmati seluruh elemen masyarakat merupakan hasil perjuangan berdarah-darah. Merawat kebebasan pers yang merupakan kebebasan untuk berbicara dan berekspresi, bukan semata tanggung jawab pekerja pers, melainkan semua elemen masyarakat.

Kalau melihat sejarahnya, perjuangan untuk meraih kebebasan pers justru lahir dari sikap represif pemerintah Orde Baru yang memberedel Detik, Editor, dan Tempo pada 21 Juni 1994.

“Seandainya pemerintah tidak memberedel ketiga media tersebut, mungkin tidak akan lahir Deklarasi Sinargalih yang menjadi titik tolak lahirnya kebebasan pers di Indonesia,” ujar Ayi Jufridar ketika menjadi pemateri dalam penguatan kapasitas jurnalis yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe, Sabtu  10 Juli 2021.

Menurut pengajar mata kuliah jurnalistik di Universitas Malikussaleh tersebut, Deklarasi Sinargalih di Bogor, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1994 memiliki ruh perjuangan kebebasan pers dan lahirnya Aliansi Jurnalis Independen yang digagas banyak pekerja pers dan seniman.  

Di tengah kebebasan pers sekarang ini, menurut Ayi, ancaman selalu datang baik melalui perubahan regulasi maupun tindakan represif dari personal, organisasi kemasyarakatan, dan aparat negara.

“Merawat kebebasan pers ini bukan hanya tanggung jawab pekerja media, tetapi semua elemen masyarakat karena kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi undang-undang,” pungkas Ayi.  

Penguatan kapasitas jurnalis tersebut dibuka Ketua AJI Kota Lhokseumawe, Irmansyah (wartawan Portalsatu.com). Menurutnya, kegiatan itu dilaksanakan bagi seluruh anggota AJI, mahasiswa Basri Daham Journalism Institute, serta sejumlah peserta undangan lainnya.

“Kita berharap, peserta bisa memiliki pengetahuan tentang sejarah perjuangan kebebasan pers serta merawat kebebasan pers dari rongrongan pihak mana pun,” ujar Irmansyah yang didampingi Sekretaris AJI Lhokseumawe, Jafaruddin.

Setelah Ayi Jufridar, materi kedua disampaikan Mohd Nasier Husein yang membahas tentang masalah organisasi AJI. Sedangkan pertemuan berikutnya akan digelar pada 17 dan 31 Juli 2021 mendatang dengan mengundang anggota pegiat pers kampus dari Universitas Malikussaleh, IAIN Lhokseumawe, dan Politeknik Negeri Lhokseumawe.

Menurut Irmansyah, para pemateri adalah semua mantan ketua AJI Lhokseumawe. Sejak 1998, ketua AJI Lhokseumawe adalah Basri Daham (ketika itu wartawan Kompas dan Serambi), Zainal Bakri (ketika itu wartawan Tempo), Ayi Jufridar (ketika itu Serambi), Mohd Nasier Husein (SCTV), Saiful Bahri (Serambi), Masriadi Sambo (Kompas online), dan Agustiar (Layar Berita).

Basri Daham yang membawa mandat pendirian AJI Kota Lhokseumawe, merupakan wartawan senior yang namanya kini ditabalkan sebagai lembaga pendidikan pers; Basri Daham Journalism Institute (BJI), sebuah sekolah jurnalistik di Lhokseumawe. [Kurniawati]

Baca juga: Dosen Ilmu Komunikasi Unimal jadi Pembicara Tetap Literasi Digital

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar