Pekikan burung elang menyambut kedatangan rombongan Universitas Malikussaleh di kawasan wisata konservasi Uyem Gayo di Kampung Hakim Bale Bujang, Aceh Tengah, Ahad 19 September 2021. Di sana sudah terlebih dahulu hadir tim Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, kejaksaan, komunitas pencinta burung, serta sejumlah tamu undangan dari berbagai lembaga. Tim BKSDA dan para pecinta burung bahkan menginap di Hakim Bale Bujang, berbaur dengan masyarakat setempat yang diharapkan ikut mendukung kelestarian wisata konservasi Uyem Gayo.
Para undangan harus mendaki dengan medan lumayan berat, tetapi tidak terlalu jauh sehingga tidak terlalu menguras tenaga. Di atas perbukitan, di antara rindangnya pepohonan pinus, telah berdiri sebuah sangkar raksasa yang dibuat dari batang pohon dan jaring.
Sangkar berukuran sekitar 3 meter x 8 meter dibagi menjadi tiga bilik dan setiap bilik yang dipisahkan dengan dinding jaring tersebut, berisi dua ekor burung elang brontok (nisaetus cirrhatus), baik yang sudah dewasa maupun yang masih remaja dengan bulu di bagian dada berwarna putih.
Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Dr Herman Fithra, ikut ke lokasi untuk mendukung aksi lepas liar enam ekor elang brontok yang kabarnya diserahkan secara sukarela kepada BKSDA Aceh sejak Maret 2021. Rektor Unimal beserta rombongan menuju lokasi setelah menyelesaikan kegiatan sosialisasi nomenklatur dan tata kerja baru, sejak 17 September 2021 di Takengon. Kesempatan yang sempit itu digunakan Rektor untuk memenuhi undangan ikut berpartisipasi dalam pelepasliaran enam ekor elang brontok yang termasuk satwa dilindungi.
Selain Rektor, dalam rombongan juga terlihat Dekan Fakultas Hukum, Prof Dr Jamaluddin; Ketua Magister Hukum Dr Yusrizal; Wakil Rektor II Dr Mukhlis; Wakil Rektor III Dr Baidhawi, serta sejumlah dosen lainnya dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh.
Menurut Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto, sebelum dilepasliarkan, keenam burung tersebut sudah dipersiapkan menjalani hidup di alam liar. Bur Telege dipilih karena lokasi ini memiliki ketinggian 1.400 mdpl, sesuai dengan habitat elang brontok. Hasil pengamatan tim BKSDA Aceh dan Aceh Birder, di sini juga ada elang brontok. “Elang brontok ini memiliki habitat di Burtelege,” ujar Agus.
Dia tidak berbohong karena sebelum keenam elang brontok dilepas, seekor elang brontok lain memekik di angkasa. Mereka saling bersahutan seperti menanyakan kabar masing-masing. Sontak saja kehadiran elang yang lain mengundang decak kagum hadirin sehingga mereka sampai bertepuk tangan dengan gembira.
Pelepasliaran enam elang brontok tersebut memang didesain agar jauh dari formalitas karena banyak tokoh yang hadir. Menurut dokter hewan yang selama ini merawat elang brontok, burung yang dilindungi tersebut harus dilepas ketika masih pagi. Padahal, banyak tokoh yang menyampaikan sambutan, mulai dari pembukaan, sambutan reje (kepala kampung) Hakim Bale Bujang, Misriadi, sambutan pihak BKSDA Aceh, sampai sambutan dari Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar.
Pelepasliaran keenam elang brontok tidak berjalan lancar karena hanya dua ekor yang langsung terbang mengangkasa begitu pembuka dilepas. Sementara yang lain masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Ada yang hinggap di gagang depan sangkar, ada yang langsung terbang dan hinggap di dahan kayu, tetapi masih ada yang bingung di dalam sangkar meski sudah diusir pergi.
Prof Herman Fithra menyebutkan Universitas Malikussaleh mendukung sepenuhnya pelestarian satwa yang dilindungi. Kampus Unimal sudah mulai dengan membudidayakan tukik yang kemudian dilepas ke habitat aslinya. "Kami sudah beberapa kali melepas tukik ke habitatnya dan memiliki tempat penangkaran,” ungkap Herman ketika meninggalkan lokasi.
Hari itu, tanpa melalui perencanaan, Universitas Malikussaleh telah berperan aktif mendukung salah satu upaya pelestarian satwa yang dilindungi. Dukungan tersebut bisa lebih luas lagi seperti kajian Fakultas Hukum terhadap qanun kampung mengenai perlindungan satwa yang dilindungi.
“Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam perlindungan satwa langka, mulai dari melahirkan regulasi sampai riset untuk melestarikan satwa langka,” pungkas Herman Fithra. [Ayi Jufridar]
Baca juga: Menghormati Perbedaan, Kunci Kerukunan di Pusong