Tarek pukat rakan beuh
lam buleun seupot
karoh eungkot jeunara, engkot jeunara
Itulah lirik lagu Tarek Pukat yang tidak diketahui siapa penciptanya. Lirik lagu tersebut hanya tiga baris saja yang diulang-ulang dengan berbagai irama. Menyiratkan semangat mencari ikan di tengah malam tanpa sinar rembulan.
***
Aceh sebagai provinsi paling barat Indonesia, memiliki luas daratan 57.366 kilo meter persegi. Sedangkan luas perairannya mencapai mencapai 295.370 kilo meter persegi yang terdiri dari perairan teritorial, kepulauan, dan perairan zona ekonomi eksklusif. Aceh memiliki garis pantai sepanjang 2.666 kilo meter.
Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, hanya 4 kabupaten dan satu kota yang tidak memiliki pantai; Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Sedangkan kota di Aceh yang tidak memiliki pantai adalah Subulussalam.
Dengan kondisi geografis demikian, Aceh memiliki wilayah perairan yang lebih luas dibandingkan dengan daratan sehingga sejak dahulu masyarakatnya sudah terbiasa mengandalkan lautan sebagai sumber penghasilan. Seperti daerah lain di Indonesia, sejarah membuktikan Aceh memiliki pelaut tangguh yang menaklukkan berbagai kerajaan di masa lampau.
Di tengah kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, nelayan di Aceh masih menggunakan cara-cara tradisional dalam menangkap ikan, seperti tradisi tarek pukat (menarik jala ikan) yang masih lestari sampai sekarang. Tradisi tarek pukat disebut-sebut sudah ada sejak masa Kesultanan Aceh pada abad ke-16.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe, Tgk Muhammad Djalil Hasan, menyebutkan dalam tradisi tarek pukat, masyarakat pesisir Aceh melepaskan jaring ikan sekitar 1 mil di lautan, tetapi salah satu dari ujung tersebut masih berada di darat. Jaring dijatuhkan di lautan dengan posisi melingkar membentuk letter U sampai kedua ujung jala berada di daratan.
Kemudian kedua ujung jala tersebut ditarik bersama-sama oleh para nelayan. Caranya adalah dengan mengikat tali pukat di pinggang, lalu menarik dengan berjalan mundur sampai sekitar 5 meter, dan maju ke depan untuk mengulang kembali gerakan menarik pukat. "Pola seperti itu dilakukan sekitar 10 sampai 15 nelayan atau kurang dari itu," papar Tgk Djalil ketika menjadi pemateri tentang tradisi tarek pukat dalam Modul Nusantara Kelompok 4 Universitas Malikussaleh.
Berbagai jenis ikan kemudian terjebak dalam jaring dan terseret ke daratan. Biasanya, warga yang ingin mendapatkan ikan segar, sudah menunggu dan langsung membeli di tepian pantai. Harganya tentu lebih miring dibandingkan kalau sudah sampai di pasar ikan.
Menurut Tgk Muhammad Djalil, tradisi tarek pukat yang masih lestari sampai sekarang juga menggambarkan semangat kegotongroyongan di antara nelayan di Aceh. Beban jaring yang berat, menjadi lebih ringan ketika ditarik bersama-sama dengan gerakan lamban dan ritmis. "Para nelayan juga saling berteriak untuk membakar semangat karena butuh waktu antara 2 – 5 jam untuk menarik ikan ke daratan, tergantung dengan luasnya wilayah yang dikaver jaring pukat," jelas mantan anggota DPRK Lhokseumawe tersebut.
Ia menambahkan, sampai di daratan hasil yang diperoleh juga dibagi bersama untuk semua nelayan. Pembagian dilakukan secara adil sehingga tidak ada pencekcokan di antara nelayan.
Tradisi tarek pukat kini menjadi salah satu destinasi wisata bahari di Aceh. Terkadang, para pengunjung ikut membantu nelayan menarik pukat. Mereka ikut merasakan kerja sama apik bersama para nelayan, sekaligus menghargai kerja keras nelayan untuk menafkahi keluarga.
Dengan keunikan tradisi tersebut, tarek pukat menjadi salah satu tema kebinekaan program Modul Nusantara Kelompok IV Universitas Malikussaleh. Para mahasiswa akan membahas tentang tradisi tersebut dan melihat berbagai sisi positif yang membuat tradisi itu harus terus dilestarikan sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa.[Ayi Jufridar]
Baca juga: Kritik Sosial Dalam Sepotong Lirik: Modul Nusantara