Dosen Unimal Laksanakan FGD tentang Krisis Lingkungan di Aceh Utara

SHARE:  

Humas Unimal
Kelompok peneliti dan peserta berfoto bersama usai kegiatan focus group discussion “Krisis Lingkungan dan Dampak Sawitisasi di Aceh Utara : Perspektif Antropologi Ekologi”,  di Kampus Unimal Lancang Garam, Lhokseumawe, Minggu (28/11/2021). Foto: Kurniawati

UNIMALNEWS | Lhokseumawe – Tim peneliti Universitas Malikussaleh melaksanakan focus group discussion (FGD) dengan tema “Krisis Lingkungan dan Dampak Sawitisasi di Aceh Utara : Perspektif Antropologi Ekologi”,  di Kampus Unimal Lancang Garam, Lhokseumawe, pada Minggu (28/11/2021). Kegiatan FGD ini merupakan rangkaian kegiatan penelitian yang dilaksanakan dosen yang berasal dari pembiayaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Unimal. 

Adapun pada peserta yang diundang dalam FGD tersebut adalah para aktivis peduli lingkungan, aktivis perempuan, lembaga publik, dan pengacara. Mereka yang hadir adalah Munawir (Bytra), Ananda (Sahara), Zainal Abidin (Forum Pengurangan Risiko Bencana), Husna (Balai Syura Inong Aceh Utara), Fauzan (PB-HAM Aceh Utara), Zulfikar Mulieng (LSM Geupubut), Nabhani (LPLH), dan Muchlis (wartawan senior Zona Media). Adapun tim peneliti adalah Teuku Kemal Fasya (ketua), Dedi Fariadi dan Riyandhi Praza (anggota), serta Ayu Asmiza dan Reza Nafira Nasution (asisten lapangan).

Ketua tim peneliti, Teuku Kemal Fasya, mengatakan kegiatan ini merupakan penelitian berbasis kebijakan (policy-based policy). Artinya tujuan riset bukan saja menjadi kegiatan yang sifatnya akademik, tapi juga bersinggungan dengan upaya melahirkan kebijakan strategis untuk mengurangi perusakan lingkungan di Aceh Utara. 

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa perlu ada perspektif lain melihat krisis lingkungan di Kabupaten Aceh Utara yang selama ini telah melahirkan aneka bencana. Menurut Kemal, isu lingkungan telah menjadi tema sentral dalam pembangunan, apalagi jika dikaitkan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) yang telah ditetapkan oleh PBB sejak 2015. “Bahwa tujuan pembangunan global di samping menghilangkan kemiskinan juga menjaga keseimbangan alam dengan memperhatikan kehidupan di bawah air dan kehidupan di atas tanah. Pembangunan harus memperhatikan aksi yang berhubungan dengan perubahan iklim global,” paparnya dalam presentasi.

Dari FGD ini diketahui bahwa ada masalah yang kompleks tentang krisis lingkungan di Aceh Utara. Permasalahan yang paling utama tidak adanya penghormatan atas hak lingkungan dan hak asasi manusia bagi masyarakat rural yang akhirnya terdampak bencana. “Bencana memang bukan disebabkan oleh satu faktor saja, tapi sudah semakin kompleks, yang disumbangkan oleh deforestasi dan perluasan lahan sawit di wilayah hutan lindung dan hutan konservasi”, ungkap salah seorang peserta.

Pada kegiatan FGD tersebut juga terlihat bahwa Aceh Utara merupakan wilayah dengan lahan sawit yang sangat luas di Aceh. “Yang menjadi masalah adalah tidak adanya keadilan atas ruang yang harusnya dihormati demi kepentingan masyarakat rural dan juga bagi alam sendiri. Saat ini wilayah hutan Aceh Utara di atas kertas tinggal 11 persen, bahkan kalau mau dicek angka riilnya bisa lebih kecil lagi,” ungkap seorang aktivis lingkungan.

FGD ini akhirnya ditutup dengan komitmen untuk memperluas perbincangan tentang krisis lingkungan di Aceh Utara ini di forum yang lebih luas. [kur]


Kirim Komentar