FGD Wacana “ Penjabat” Kepala Daerah Di Aceh : Pahami Karakter dan Kultur Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Suasana pelaksanaan FGD yang berlangsung di Aula Cut Meutia, Bukit Indah, Universitas Malikussaleh, Jumat (28/1/2022).

 

 Muchlis Gur Dhum

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia dimajukan secara serentak hingga dilaksanakan pada tahun 2024. Sudah pasti, untuk mengisi kekosongan tampuk pimpinan daerah yang akan ditinggalkan oleh pejabat terpilih sebelumnya, maka pemerintah akan menunjuk pejabat penganti sementara atau yang lebih dikenal dengan istilah “Penjabat” atau disingkat juga dengan Pj.

Secara nasional, menjelang Pilkada Serentak 2024, akan ada 272 Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah yang akan menjadi Penjabat sementara.  Sebanyak  101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya di tahun 2022 dan sebanyak 171 kepala daerah akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023.

Untuk di Aceh, hampir semuanya berakhir masa jabatan pada tahun 2022, mulai dari gubernur hingga bupati walikota. Kekosongan kepala daerah tersebut akan diisi oleh penjabat yang ditunjuk oleh pemerintah diatasnya.

Berdasarkan UU No 10/2016 tentang Pilkada, penjabat kepala daerah diangkat dari ASN yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya untuk pejabat gubernur dan JPT pratama mengisi kekosongan bupati/wali kota. Tujuan utama pengisian kekosongan jabatan kepala daerah tentunya untuk menjaga stabilitas berjalannya pemerintahan daerah.

Menyikapi fenomena tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Malikussaleh, menggelar Focus Discusi Group tentang wacana penjabat gubenur, bupati dan walikota di Aceh. Kegiatan yang digelar, di Aula Cut Meutia, Bukit Indah, Jumat (28/1/2021).

Acara yang berlangsung selama dua jam tersebut, menghadirkan dari berbagai unsur, seperti TNI/ Polri, pemerintah daerah, pengusaha, praktisi hukum, mahasiswa, unsur Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) dan juga dari penyelenggara dan pengawas pemilu baik dari Kabupaten Aceh Utara dan juga Kota Lhokseumawe.

Acara yang dipandu oleh Kamaruddin M Si,  sebagai moderator menyebutkan, tahun 2022 juga menandai dimulainya tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, jalannya stabilitas pemerintahan di tengah kompleksitas permasalahan mesti dipersiapkan dalam penyelenggaraan hajatan demokrasi. Pengisian penjabat kepala daerah perlu melibatkan proses politik di daerah, apalagi masa jabatan penjabat kepala daerah pada masa Pemilu 2024.

 

Sementara itu, Pakar hukum tata Negara Dr Yusrizal, Ka. Prodi Hukum Tatanegara Universitas Malikussaleh menjelaskan tentang status hukum dan aturan terhadap penjabat. Dimana menurutnya hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 6 Tahun 2020.

 

Kegiatan terkait wacana kehadiran penjabat untuk kepala daerah tersebut berlangsung alot dan antusias dari peserta FGD. Beberapa peserta memberikan pendapatnya tentang sosok penjabat yang akan mengisi kekosongan kepala daerah sembari menunggu terpilihnya kepalda daerah definitif.

 

Pada kesempatan itu juga turut hadir secara daring salah seorang ulama Aceh Tgk. H. Muhammad Yusuf bin A. Wahab atau yang dikenal Tu Sop Jeunib. Dalam inti paparannya mengharapkan sosok yang akan ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah tersebut merupakan orang yang dapat menjaga keseimbangan antara Islam dengan kepentingan nasional di Aceh.

 

Semua peserta FGD mengemukakan sosok yang akan ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah di Aceh, mengerti tentang Aceh baik secara kultural dan sosial budaya masyarakat Aceh serta ekonomi dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan integritas, kredibilitas, kapasitas, dan kapabilitas tetap menjadi perhatian utama. Serta program-program strategis di pemerintahan Provinsi dan Kabupaten, harus Kota tetap berjalan dengan baik. Karena kehadiran para Penjabat (PJ) itu tetap menjalankan fungsi dan tugas Gubernur yang sudah berakhir masa jabatannya sesuai dengan asas asas pemerintahan yang baik. (*)

 


Kirim Komentar