SEPERTI bait-bait sajak dalam antologi Kidung Setangkai Sunyi (2016), banyak bagian pahit dalam kehidupan Tgk Mahdi Idris berlalu dalam kesenyapan. Tidak banyak yang tahu prahara kehidupan yang menimpanya, mulai dari masalah pekerjaan, keluarga, sampai kesehatan. Orang bisa melihatnya sebagai sosok tertutup, tetapi dari sisi lain bisa dilihat sebagai bagian dari ketegarannya menghadapi guncangan kehidupan. Mahdi Idris yang akrab disapa Tgk Mahdi, memang tidak suka mengeluh, apalagi mengumbar persoalan pribadi di media sosial.
Ketika orang-orang menanyakan kondisi tubuhnya yang semakin ringkih dalam beberapa bulan terakhir, ia hanya tersenyum saja. Dengan orang terdekat, ia mengaku sakit, tetapi jarang menceritakan secara detail penyakitnya.
Dalam pertemuan terakhir di Kampus Bukit Indah Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, ia memberikan pengakuan mengejutkan tentang beberapa masalah yang sangat pribadi. Namun masalah itu, menurutnya, sudah selesai dan itu membuatnya lega. “Bang Ham tempat saya mengeluh,” ujarnya. Bang Ham yang ia maksud adalah Hamdani, kini menjabat Kepala Humas Pemkab Aceh Utara. Selama beberapa tahun terakhir, Tgk Mahdi Idris menjadi dosen luar biasa di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, selain masih tetap sebagai anggota Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Utara.
Karier Tgk Mahdi di dunia kepenulisan, juga tidak terlepas dari peran Hamdani. Berdasarkan pengakuan Tgk Mahdi semasa hidup, Hamdani yang memperkenalkannya dengan Arafat Nur, sastrawan Aceh yang kini bermukim di Ponorogo, Jawa Tengah. Ketika melihat semangat Tgk Mahdi dalam menulis, ia memintanya berguru kepada Arafat.
Dan mulailah ia rajin berjumpa dengan Arafat yang tatkala itu masih menjadi wartawan Hr Waspada di Lhokseumawe. Tgk Mahdi menyebut Arafat sebagai guru yang keras dan kritis, tetapi itulah yang melecut semangatnya untuk terus menulis, menulis, dan menulis.
Sebagai penulis cerpen dan puisi, Tgk Mahdi terbilang produktif. Selain banyak menerbitkan kumpulan puisi dan juga antologi cerpen, ia rajin mengikuti berbagai perlombaan, baik di daerah maupun nasional. Dia pernah juara, tetapi ketika gagal tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika karyanya sering ditolak, Tgk Mahdi tidak pernah menyerah.
Diskusi kami lebih banyak tentang proses kreatif kepenulisan dan agenda sastra dibandingkan dengan membahas masalah pribadi. Ada beberapa mimpi Tgk Mahdi dalam dunia kepenulisan, antara lain menghadiri Ubud Writer and Reades Festival di Bali serta Borobudur Writer and Cultural Festival di Yogyakarta.
Sebagai sahabat dan sering bersama meski terkadang kami jarang kontak karena kesibukan masing-masing, Tgk Mahdi sering meminta tanggapan tentang karyanya. Salah satunya ketika ia meminta saya menyampaikan prolog di kumpulan puisi keenamnya, Membaca Tanda. Saya membaca manuskrip antologi puisi itu dan seolah Tgk Mahdi sedang menulis tentang perjalanan hidupnya.
Membaca Tanda (2020) berisi 32 puisi yang dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama diberi judul Keberangkatan berisi 10 sajak. Bagian kedua berjudul Membaca Tanda berisi 10 sajak, dan bagian terakhir berjudul Sirah Kata yang memuat 22 puisi. Pembagian itu terlihat memilah tema-tema puisi yang sesuai dengan judul besar.
Membaca puisida dalam Membaca Tanda seperti menjelajahi kematangan seorang Mahdi Idris dalam merangkai kata menjadi bait-bait puisi yang bukan saja indah, tetapi penuh makna interpretatif yang bisa saja berbeda antara yang dimaksudkan penyair dengan pembaca. Sebab puisi memang terbuka terhadap perbedaan makna sesuai dengan kekayaan batin, kekayaan pengalaman, dan kekayaan wawasan penikmat puisi.
Antologi ini adalah sebuah perjalanan baik dari aspek fisik maupun batin sang penyair. Memberi tanda terhadap sebuah momen berkesan, terhadap satu dan beberapa tempat yang berkaitan dengan perjalanan seperti dermaga, peta perjalanan, waktu keberangkatan, jelajah, dan tanda-tanda dari perjalanan bumi yang dekat dengan kegiatan sang penjelajah. Di dalamnya kita juga menemukan tanda-tanda dari teman seperjalanan yang membuat hidup menjadi lebih berwarna.
Sehimpunan sajak ini memang sedang membahas perjalanan dalam makna yang lebih luas dari samudra. Perjalanan yang membutuhkan rencana, persiapan, bekal, dan tujuan—tentu saja. Dalam perjalanan bahkan sebelum memulai perjalanan, kita menemukan banyak tanda untuk melancarkan perjalanan selamat sampai tujuan sebagai pemenang. Tanda-tanda dalam berbagai bentuk yang akan terlihat bagi orang-orang yang mau membaca dengan mata kepala dan mata batin.
Sebelum Membaca Tanda, yang merupakan buku kumpulan sajak keenam dari Mahdi Idris, sebelumnya sudah menerbitkan Lagu di Persimpangan Jalan (2014), Kidung Setangkai Sunyi (2016), Kutukan Rencong (2018), Sebatang Pena di Meja Penyair (2018), dan Doa Dalam Tidur (2019).
Betapa produktif dan kreatifnya Tgk Mahdi dalam menulis di tengah berbagai kesibukan mengajar dan bekerja di Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) di Aceh Utara. Selain sastrawan, Tgk Mahdi juga dikenal sebagai guru mengaji, dosen di sejumlah perguruan tinggi, termasuk di Universitas Malikussaleh.
Beberapa mahasiswanya di Universitas Malikussaleh, tidak tahu mengapa belakangan Tgk Mahdi Idris jarang masuk. Suatu hari, ia pernah memberitahukan mahasiswa ia tidak bisa masuk karena sakit, tetapi kemudian tidak ada kabar lagi. Jangankan mahasiswa, sejumlah sahabat dekat juga mengaku tidak mendapat kabar kalau Tgk Mahdi Idris sedang sakit parah, sampai kemudian seorang penulis yang juga guru di Aceh, Syamsiah, mendapat kabar dari murid Tgk Mahdi. Foto-foto Tgk Mahdi yang terbaring tak berdaya kemudian beredar di dinding media sosial.
Syamsiah yang dikenal sebagai penulis cerita anak, kemudian membesuk ke rumah di Keureuto, Lapang, Aceh Utara, pada 21 Juni 2022. Sampai di sana, Tgk Mahdi sudah dibawa ke rumah sakit Cut Meutia di Buketrata, Lhokseumawe. Syamsiah yang akrab disapa Bu Sam kemudian datang ke rumah sakit. Ia menjalin komunikasi intens dengan Rahma, istri Tgk Mahdi.
Allah lebih mencintai Tgk Mahdi. Akhirnya, pada 22 Juni 2022 pukul 15.00, ayah empat anak itulah menghadap Sang Khalik. Innalillahiwainnailaihirajiun. Semua terkejut dan merasa kehilangan. Zab Bransah, penyair Aceh, bersama penulis Hamdani Mulya dan sejumlah penulis lainnya, sedang menggalang dana untuk membantu membiayai pengobatan Tgk Mahdi. “Tapi Allah berkehendak lain,” ujarnya sedih.
Seorang sahabat almarhum, Masriadi Sambo, menyebutkan semangat Tgk Mahdi dalam menulis menjadi teladan bagi semua. Menurutnya, Tgk Mahdi sangat konsisten menulis di tengah berbagai persoalan yang mendera. “Menulis bagi Tgk Mahdi menjadi panggilan hidup,” kata Masriadi yang juga dosen di Universitas Malikussaleh.
Ucapan belasungkawa terus mengalir di tengah rasa kehilangan semua orang yang pernah mengenal Tgk Mahdi. Lelaki kelahiran Keureuto, Aceh Utara, pada 3 Mei 1979 itu, sesungguhnya tidak benar-benar pergi. Karya-karyanya abadi, ilmu-ilmunya diwariskan kepada murid dan mahasiswa, serta kebaikannya akan selalu berguna serta dikenang, menjadi inspirasi bagi siapa saja.[Ayi Jufridar]
Sumber: KabarTamiang.com