Ketika Mahasiswa Modul Nusantara Bertanya tentang Jeulamee

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen Modul Nusantara Kelompok 3 Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, sedang menyampaikan materi tentang adat perkawinan Aceh di Dari Sisi Kopi Kafe di Krueng Geukueh, Aceh Utara, Ahad (11/9/2022). Foto: Ist.

KAOS oblong hitam yang dipakai dosen Modul Nusantara Kelompok 3 Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, menarik perhatian mahasiswa. Kalimat warna putih tertulis sebaris kalimat dalam bahasa Aceh; “Cula-calo mita jeulamee keu adinda” atau terjemahan bebasnya adalah “rempong mencari mahar untuk adinda”.

Kaos itu merupakan hasil kreativitas Muhajir Maop, seorang penulis dan blogger yang memproduksi tema “jeulamee”, beberapa tahun lalu. Dia memproduksi tema tersebut dalam jumlah terbatas dan hanya didistribusikan untuk kalangan terbatas.

Masalah jeulamee memang salah satu pertanyaan mahasiswa peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Modul Nusantara Kelompok 3 Universitas Malikussaleh dalam kegiatan Kebinekaan-2 yang berlangsung di Dari Sisi Kopi Café, Krueng Geukueh, Aceh Utara, Ahad (11/9/2022) lalu.

Menjawab pertanyaan sejumlah mahasiswa tentang jeulamee atau mahar, Ayi Jufridar menjelaskan masyarakat Aceh secara tradisional hanya mengenal jeulamee dalam bentuk emas. “Biasanya dihitung dalam standar mayam.”

Mendengar kata “mayam”, para mahasiswa Modul Nusantara yang berasal dari berbagai universitas luar Sumatra, langsung mengajukan pertanyaan. Ayi menjelaskan bahwa manyam merupakan standar yang setara dengan tiga gram emas. “Umumnya dalam bentuk emas, tetapi sekarang sudah banyak variasinya dalam membayar mahar,” ujar dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut.   

Sejak zaman kerajaan Aceh Darussalam, masyarakat memiliki adat pernikahan yang menyatu dengan nilai-nilai agama. Ada serangkaian tahapan yang harus dilalui dalam adat pernikahan di Aceh. Tahapan  tersebut mulai dari cah rauh atau proses calon mempelai laki-laki mencari informasi tentang calon mempelai perempuan. Setelah dirasa cocok, baru kemudian pihak calon mempelai lelaki jak ba ranup atau proses lamaran. Setelah itu baru jak ba tanda atau pertunangan.

“Setelah itu dilanjutkan dengan pernikahan dan pesta yang juga berlangsung dengan adat Aceh,” ujar Ayi Jufridar.

 

Mahasiswa Modul Nusantara dari Kelompok 3, Muhammad Yusril Busyo dari Unversitas Merdeka Malang, menyebutkan dengan serangkaian tahapan adat tersebut, lamaran akan berlangsung lancar dan tidak ada penolakan karena sudah dibangun komunikasi sebelumnya. “Kalau di daerah saya, di Jember (Jawa Timur), ada yang ditolak pada hari lamaran,” ujar mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi tersebut.

Sementara Arinda Dewi, mahasiswa Ilmu Adminsitrasi Publik Universitas Jember, mempertanyakan makna warna dalam adat Aceh yang sangat dominan. Pertanyaan tersebut direspons Raisa Agustiana dari Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe. menurut Raisa, ada empat warna dasar di Aceh, yaknik hijau yang melambangkan keislaman, kuning melambangkan kerajaan atau bangsawan, merah melambangkan keberanian, serta hitam melambangkan kerakyatan.

Arinda juga mempertanyakan masalah penggunaan inai bagi pengantin perempuan yang pada zaman sekarang dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas.

“Dalam adat perkawinan di kampung-kampung, masih banyak yang melakukan tradisi pemaikaian inai dengan menggiling daun pacar yang dilakukan kaum ibu. Tapi kalau di kota, sudah dilakukan tenaga profesional sehingga budaya gotong royong sudah tidak terlihat,” papar Raisa.

Mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar, Fina Fitriyani, mengungkapkan di daerahnya pemakaian inai juga menjadi tahapan wajib yang dilalui mempelai perempuan dari disebut mappacci.

Pertanyaan lainnya juga datang dari M Rizal Rizky Ramli (Universitas Khairun), Dhiya Aflah Luswanto Putri dari Universitas Diponegoro, serta Mohammad Faisal dari Universitas Garut, Jawa Barat. Mereka antara lain mempertanyakan adat perkawinan bangsawan di Aceh dan penggunaan gelar bangsawan di Aceh.

Tidak hanya mengajukan pertanyaan, beberapa mahasiswa lain juga memaparkan adat di daerah mereka yang memiliki kesamaan dengan adat perkawianan di Aceh. Persamaan tersebut menjadi salah satu kekuatan dalam program Modul Nusantara yang akan berlangsung sampai Januari 2023 mendatang.

Kelompok 3 terdiri dari 20 mahasiswa yang berasal dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Affan Anansyah Sudirman dan Inatsa Thurfah Soedianda, Andika Fergiansyah dari Universitas Kadiri, Anissa Audina dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Islam, Arindra Dewi dari Universitas Jember, dan Dara Nurhanifah dari Institut Pendidikan Indonesia.

Kemudian Destria Rafika Wulandari Sarjanawiyata Taman Siswa, Deva Novitasari dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Dhiya Aflah Luswanto Putri dari Universitas Diponegoro, Dina Sobil Ahmadani dari Universitas Muhammadiyah Dr Hamka, Fina Fitriyani dari Universitas Negeri Makassar, serta Maryam Uswah Karimah dan Muhammad Syahdan Nurdiansyah dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Mahasiswa lain yang masuk Kelompok 3 adalah Indah Muji Utami dari Universitas 17 Agustus 1956 Semarang, Muhammad Faisal dari Universitas Garut, M Rizal Rizky Ramli dari Universitas Khairun, Muhammad Yusril Busro dari Universitas Merdeka Malang, Nuri Hidayati dari Universitas Sains Al Quran, Reva Ngulya Savi’ah dari Universitas Tidar, dan Siti Muliati Universitas Pendidikan Mandalika. [Ahmad Albastin]

Baca juga: Mahasiswa Modul Nusantara Pelajari Tradisi Khanduri Adat


Berita Lainnya

Kirim Komentar