PEMILIHAN Umum 2024 mendatang menjadi pertaruhan bagi independensi media di tengah kepemilikan media massa yang bersentuhan kepentingan politik. Tanggung jawab media massa untuk menjaga nilai-nilai jurnalisme yang netral, independen, serta akurat tetap harus dijaga di tengah adanya kepentingan ekonomis perusahaan media sebagai organisasi bisnis.
Media massa di Indonesia menghadapi godaan besar dalam menjaga independensi dan netralitas sebagai bagian dari profesionalisme. Benturan kepentingan kekuasaan dan ekonomis membuat independensi menjadi sebuah cita-cita yang masih membutuhkan waktu panjang untuk mewujudkannya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Dr Tgk M Rizwan Haji Ali mengatakan isu independensi media itu muncul menjelang pemilu, karena ada tiga sebab. Pertama, ada kecenderungan media massa mempresentasikan berita-berita dari sebuah pikiran politik yang didukung oleh pemilik media ataupun wartawan yang ada di media itu.
“Ketika pemilik media atau wartawan memiliki afiliasi politik, maka presentasi pemberitaan akan menggambarkan dan merepresentasikan kondisi politik yang didukung pikiran-pikiran politik itu. Karena itu, banyak orang berteriak, orang-orang yang mungkin berada di luar kepemilikan media itu menuntut objektivitas, netralitas, dan independensi pers. Media dapat dijadikan sebagai senjata politik,” ujar Tgk Rizwan dalam diskusi publik memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, Rabu (10/5/2023).
Kedua, lanjut Tgk. Rizwan, media punya kemampuan membentuk agenda publik, sehingga apa yang dipresentasi oleh media yang pada awalnya merupakan pikiran segmented dari satu pikiran politik, dari satu garis politik, dari satu bagian perjuangan politik kelompok, ketika disampaikan secara terus-menerus maka dia menjadi agenda publik.
“Ketika publik sudah menjadikan sebagai agenda, maka diharapkan akan terjadi penerjemahan dari agenda kepada dukungan elektoral dalam bentuk voting saat pemilu," jelas Tgk. Rizwan yang juga menjabat ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Lhokseumawe.
Dan ketiga, menjelang tahun politik, penting membahas independensi pers karena dalam pandangan kritis, media yang dianggap sebagai medan pertarungan ideologis dari berbagai kekuatan ideologis yang ada di dalam tubuh politik. "Padahal kalau kita lihat jurnalisme itu punya ideologi sendiri, yakni memberitakan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat," tuturnya.
Ia beranggapan, independensi media di tengah konglomerasi kepemilikan media, seperti bercita-cita menjernihkan atau menawarkan air laut yang asin. Media-media besar pun memiliki afiliasi politik serta punya dukungan dalam pencalonan presiden.
Ketua AJI Lhokseumawe, Irmansyah, mengatakan Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati setiap 3 Mei. Namun, AJI Lhokseumawe menggelar acara pada 10 Mei dengan menggelar diskusi tentang independensi media dan demokrasi dipilih sesuai dengan momentum Pemilu 2024 yang tahapannya sedang berlangsung.
“Meskipun kita peringati secara sederhana, diharapkan dapat memberikan pesan mendalam tentang independensi media dan perkembangan demokrasi terutama di Aceh,” kata Irman didampingi Sekretaris AJI Lhokseumawe Jafaruddin.
Kegiatan diawali dengan pameran foto tentang sejumlah aksi damai para jurnalis di Lhokseumawe tahun 2000, 2012, 2016, 2017, 2020, dan 2021 untuk menolak kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis. Sebanyak 16 foto yang dipamerkan tersebut karya Rahmad YD, fotografer LKBN Antara di Aceh.
Sosiolog Universitas Malikussaleh Prof Dr Nirzalin, selaku narasumber kedua, berpendapat bahwa ketika media tidak menjaga independensi, maka media akan kehilangan kepercayaan dari publik.
Menurutnya, pemberitaan tidak objektif terkait dengan visi-misi dan juga kompetensi si calon pada panggung politik Pemilu 2024, akan berdampak kepada pilihan politik yang juga tidak tepat, dan menghasilkan kepemimpinan politik yang tidak tepat pula. Ini menjadi perkara besar ketika berhadapan dengan eksisting Indonesia yang pada 2035 memiliki bonus demografi, dan 2045 berharap menjadi negara maju.
Menurut Nirzalin, idealisme pers harus selalu dikedepankan sehingga pemberitaannya penuh dengan etika dan objektivitas. Menyangkut media di Aceh, ia menilai terbelah karena ada media yang berusaha untuk menjalankan idealismenya sehingga pemberitaannya berbasis pada fakta. “Tetapi, ada juga sebagian pemberitaan pers yang masih memihak kepada kepentingan tertentu di luar idealisme jurnalistik,” ungkap Nirzalin dalam diskusi yang dipandu Zulfikar Syarif, mantan sekretaris AJI Lhokseumawe.
Merespons sejumlah pertanyaan peserta diskusi, Nirzalin menganggap tidak ada persoalan dengan konglomerasi media. Yang jadi persoalan, menurutnya, adalah bagaimana konglomerasi media dan iklan itu kemudian mengontrol pemberitaan pers untuk menggiring opini publik, sehingga objektivitas menjadi kabur dan tidak jelas dan tersampaikan terus-menerus kepada publik,” paparnya.
Sementara itu, narasumber dari kalangan jurnalis sekaligus akademisi, Ayi Jufridar, mengatakan godaan independensi media sangat besar di musim pemilu. “Tapi publik bisa menilai berita-berita yang disajikan media itu mana yang punya nilai independensi dan netralitas. Ketika keduanya digadaikan, taruhannya adalah kepercayaan publik yang merupakan segalanya bagi media,” ucapnya.
Ia menyinggung regulasi yang melarang media televisi melakukan blocking time kepada salah satu partai dengan durasi panjang saat momentum kampanye pemilu. “Namun ada saja media yang melakukannya,” kata Ayi sembari menyontohkan Pemilu 2019 silam.
Menurutnya, selama ini terjadi situasi yang kontradiksi, satu sisi media massa harus mengusung nilai-nilai ideologis, di sisi yang lain “harus berdamai dengan kepentingan ekonomis". Sehingga ketika berhadapan antara kepentingan berita atau ideologis dengan kepentingan iklan, berpotensi kalah kepentingan berita.
“Jadi, sebenarnya ada nilai ideal yang harus dicapai, tapi ada nilai rasional yang berhadapan dengan kepentingan media. Apabila media massa tidak bisa lagi mengusung nilai-nilai ideologisnya, maka dia akan kalah dengan media sosial,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan banyaknya hoaks yang beredar di masa pemilu yang membuat masyarakat harus berhati-hati ketika menerima informasi.
Selain menggelar diskusi publik, AJI Lhokseumawe juga memeriahkan perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia dengan pembacaan puisi yang dilakukan penyair Pimen D Aryjona dan Ayi Jufridar. Kemudian ada juga pembacaan hikayat Aceh oleh Fuadi Keulayu. Ada juga pameran foto jurnalistik di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe. Setelah menggelar diskusi dan pagelaran seni, peserta melakukan long march dari Lapangan Hiraq dan seputaran Jalan Merdeka Lhokseumawe.
Selain anggota AJI Lhokseumawe, kegiatan tersebut diikuti perwakilan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Lhokseumawe, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh dan para wartawan dari organisasi profesi kewartawanan lainnya, perwakilan Basri Daham Journalism Institute (BJI) Lhokseumawe, Lembaga Pers Mahasiswa Al-Kalam IAIN Lhokseumawe, HMI Lhokseumawe-Aceh Utara, LMND Lhokseumawe, PMII Lhokseumawe, dan mahasiswa alumni Kelas Jurnalistik Ramadan (KJR) AJI Lhokseumawe tahun 2023.[Bustami Ibrahim]