Kearifan Lokal dalam Konsep Reintegrasi Mantan Kombatan: Prof Dr Nirzalin

SHARE:  

Humas Unimal
Prof Dr Nirzalin, salah satu dari tiga guru besar Sosiolosi yang dikukuhkan di Aula Cut Meutia Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Aceh, Selasa (11/7/2023). Foto: Bustami Ibrahim

SETELAH penandatangan Perjanjian Damai antara Pemerintah Indonesia dengan gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2005, Rando masih tetap berada di hutan. Bersama sejumlah anak buahnya, mantan Komandan Pasukan Rawoen itu membangun mimpi baru. Bukan di jalur politik seperti kebanyakan mantan kombatan, melainkan di bisnis perkebunan sawit.

Bila dulu Rando dikenal sebagai gerilyawan GAM, kini ia lebih dikenal sebagai pengusaha sawit yang sukses. Keberhasilan Rando itu menjadi lebih bermakna karena ada nilai-nilai kearifan lokal di dalamnya seperti konsep “seubedoh” (bangkit), dalam hal menjaga ritme dan konsistensi individual dalam berusaha; serta kedua “meutingku tijiek” (saling tolong menolong).

“Dua filosofi tersebut menjadi pandangan hidup dalam membangun usaha bisnis dan mencapai kesejahteraan bersama,” ujar Prof Dr Nirzalin dalam orasi ilmiah pengukuhan dirinya sebagai guru besar di Aula Cut Meutia Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Aceh, Selasa (11/7/2023).

Bangkit dalam kebersamaan
Menurut Nirzalin, konsep seubeudoh bermakna usaha dalam mencapai kesuksesan dan kejayaan harus dibarengi dengan usaha yang gigih dan ulet. Usaha kerja harus dimulai dari hal kecil hingga merangkak menuju lebih besar. Sementara konsep meutingkue tijiek dapat didefinisikan sebagai usaha memberi bantuan atau sokongan kepada orang lain yang membutuhkan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup orang yang dibantu.

“Pada masyarakat Nisam Antara, meutingku tijiek adalah bentuk kearifan lokal yang masih dipraktikkan secara lintas generasi,” sambung Nirzalin dalam prosesi yang dihadiri Rektor Universitas Malikussaleh Prof Dr Herman Fithra dan seluruh anggota senat universitas

Nirzalin menjelaskan, meutingku tijiek merupakan implementasi dari konsep “ta’awun” (tolong-menolong) yang diperintahkan dalam ajaran agama Islam yang menjadi sumber pegangan hidup masyarakat. Prinsipnya, siapa saja yang memiliki kekuatan lebih, baik secara ekonomi (lebih kaya), maupun kelebihan kekuatan (tenaga atau pengaruh), wajib membantu saudaranya atau warga lain yang lemah.

Orang kaya “menggendong” orang miskin agar dapat hidup lebih baik. Praktiknya dapat dilakukan melalui membantu modal usaha, memberi bantuan uang, dan memberi pekerjaan. Bukan hanya itu, meutingkue tijik juga terimplementasi dalam konteks membantu tenaga. Praktik seperti ini dapat ditemukan dalam acara-acara kenduri, baik itu kenduri pernikahan, perkawinan, kematian, maupun kenduri lainnya.

Dibantu anggota tim yang terdiri dari dosen dan mahasiswa, Nirzalin melakukan riset panjang untuk mendapatkan konsep reintegritasi mantan kombatan GAM sebagai modal sosial untuk perdamaian berkelanjutan di Aceh, setelah konflik bersenjata berkepanjangan yang menelan korban jiwa, raga, serta harta benda. Dosen Sosiologi dan juga pengamat masalah sosial politik itu menyebutkan;

Proses reintegrasi tidak hanya berkaitan dengan program pelucutan senjata, demobilisasi eks kombatan, serta bantuan ekonomi paska perang semata, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana mantan gerilyawan mengambil peran dan masuk dalam struktur sosial, politik dan ekonomi, serta dapat mengatasi segala tantangan yang menyertainya.”

Dua indikator
Ia memandang keberhasilan reintegrasi dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu mantan gerilyawan mampu mengubah identitas mereka dari “kombatan” menjadi “sipil”; dan kedua, mantan gerilyawan mampu mengubah perilaku. Mereka tak lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan, baik itu di arena sosial, politik, maupun ekonomi.

Secara sosial, eks kombatan mampu mengurangi ketergantungan dengan jaringan milisi dan meningkatkan interaksi dengan komunitas masyarakat di mana mereka menetap. Secara politik, eks kombatan tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Sementara dalam konteks ekonomi, mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan menjalankan usaha atau pekerjaan yang sah, baik itu di sektor formal maupun informal.

“Singkatnya, perubahan sikap dan perilaku eks kombatan menjadi solusi permasalahan disintegrasi yang terwarisi dari peristiwa konflik,” sebut Nirzalin di hadapan anggota senat universitas dan tamu undangan.

Nilai-nilai kearifan lokal ditemukan dalam penilitian Nirzalin di Nisam Antara, Aceh Utara. Rando dan pasukannya yang sudah menyatu dengan masyarakat, ikut bergotong royong dalam pembangunan di desanya. Mantan pentolan gerilyawan tersebut memberikan sumbangan sampai puluhan juta rupiah.

Hasil penelitian Nirzalin di Nisam Antara, perkebunan kelapa sawit hadir sebagai arena reintegrasi sosial dan penguatan kesejahteraan ekonomi bersama yang stabil. Hubungan dialektis antara eks kombatan, korban konflik dan masyarakat setempat menguatkan hubungan emosional dan sosial. Luka dan dendam masa lalu pupus dengan rasa persaudaraan (brotherhood) yang kental sebagai sesama anggota masyarakat Nisam Antara, Aceh Utara. 

Ia menilai keberhasilan reintegrasi sosial eks kombatan GAM, korban konflik dan masyarakat setempat dapat meminimalisasi peluang dan potensi eks kombatan GAM untuk bermetamorfosis menjadi “preman politik”, pelaku kriminal, terlibat dalam jaringan narkoba dan tindakan ilegal lainnya. Tak salah jika konsep tersebut bisa diadopsi untuk resolusi konflik di daerah lainnya di Indonesia bahkan di seluruh dunia.

Selain Prof Dr Nirzalin, dua guru besar sosiologi lainnya yang juga dikukuhkan adalah Prof Dr Suadi dan Prof Dr Saifuddin. Ketiganya ditetapkan menjadi Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) berdasarkan Surat Keputusan Memdikbudristek yang dibacakan Prof Dr M Sayuti. Pengalungan tanda kehormatan ketiga guru besar dilakukan Prof Dr Jamaluddin, guru besar di Fakultas Hukum. “Hattrick” tiga guru besar merupakan sejarah pertama di Universitas Malikussaleh sejak berdiri 54 tahun silam.

Rektor Prof Dr Herman Fithra Asean Eng mengharapkan kehadiran tiga guru besar dapat menginspirasi dosen lainnya, terutama bagi yang telah bergelar doktor dan sedang mengurus guru besarnya. “Karena salah satu syarat untuk mendapat unggul, di program studi harus ada guru besar,” kata Prof Herman yang juga berharap prestasi ini dapat membawa Universitas Malikussaleh ke level lebih baik dalam hal publikasi ilmiah dan capaian indikator kinerja utama (IKU).[Ayi Jufridar]

Baca juga: Universitas Malikussaleh Kukuhkan Tiga Guru Besar Bidang Sosiologi

 

 


Kirim Komentar