UNIMALNEWS | Bali - Dosen Universitas Malikussaleh, Dr T Nazaruddin berikan materi pada acara seminar nasional di Universitas Warmadewa, di Gedung Auditorium Widya Sabha Uttama, Denpasar, Bali, Sabtu (27/4/2024).
Kegiatan tersebut bertema "Politik Hukum Sumber Daya Alam yang Berkeadilan dan Demokrasi dalam Mewujudkan Indonesia Maju", yang merupakan implementasi kerjasama antara Univeritas Warmadewa, Universitas Malikussaleh, Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Hassanuddin Makassar.
Pada kesempatan itu, T Nazaruddin membawakan materinya tentang "Kearifan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam". Ia menjelaskan 4 pokok bahasan, yaitu masyarakat hukum adat, kearifan pengelolaan sumber daya alam, karakteristik Perundang-undangan sumber daya alam, dan kebijakan dan rekonstruksi politik hukum.
Ia menjelaskan bahwa dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelf besturende land schappen dan volksgemeen shappen, seperti: Gampong di Aceh, Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Batak, dan sebagainya.
"Daerah-daerah mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat diaggap sebagai daerah yang bersifat istimewa," katanya.
Lanjutnya, Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal usul daerah.
"Ada empat faktor untuk memastikan adanya masyarakat hukum adat yaitu; adanya satu kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa, dan mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang sewajarnya menurut kodrat alam," jelasnya.
Nazaruddin juga menjelaskan bahwa sistem kearifan lokal yang tercermin dalam sistem pengetahuan dan teknologi lokal di berbagai daerah secara dominan masih diwarnai nilai-nilai adat, sebagaimana tampak dari cara-cara mereka saat melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen dan eksploitasi sumber daya alam.
"Melalui proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan dan sumber daya alam yang panjang, masyarakat adat mampu mengembangkan cara untuk mempertahankan hidup dengan menciptakan sistem nilai, pola hidup, sistem kelembagaan dan hukum yang selaras dengan kondisi dan ketersediaan sumber daya alam di sekitar daerah yang ditinggalinya," terangnya.
Tambah Nazaruddin, instrumen hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum Indonesia pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan substansial seperti, berorientasi pada eksploitasi SDA dan berpihak pada pemodal besar.
"Kita dapat melihat keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemah, pendekatan dalam pengelolaan tidak komprehensif, hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan SDA belum diakui secara utuh, ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengeloaan SDA masih diatur secara terbatas dan transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada publik dalam pengelolaan SDA belum diatur secara tegas," ujarnya.
Dalam konteks politik hukum pengelolaan SDA di Indonesia, lanjut T Nazaruddin, rekonstruksi politik hukum yang berbasis pada kearifan lokal dan hukum adat di masa mendatang merupakan langkah strategis yang harus ditempuh bagi terciptanya kebijakan dibidang hukum pengelolaan SDA yang lebih baik.
"Diwujudkan dengan otonomi daerah yang responsif dan akomodatif terhadap kearifan lokal dan pengakuan hak-hak masyarakat lokal di Indonesia. Melalui pembentukan dan pelaksanaan Peraturan daerah (Perda) dan menghidupkan kembali hukum adat, termasuk hak ulayat yang selama ini terabaikan dan tidak mendapat pengakuan secara proporsional dalam sistem hukum nasional," pungkasnya. [fzl]