UNIMALNEWS | Lhoksukon – Untuk memperkuat kondisi pangan dan gizi di Aceh Utara serta menanggulangi masalah stunting yang masih menjadi isu serius di wilayah tersebut, Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Kabupaten Aceh Utara mengadakan kegiatan diseminasi hasil riset pangan dan gizi serta keterkaitannya dengan prevalensi stunting. Acara ini digelar pada Selasa (27/8/2024) di ruang oproom Bappeda Kantor Bupati, Landing, Lhoksukon.
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kondisi ini dapat berdampak pada kecerdasan dan produktivitas anak di masa depan. Di Indonesia, meskipun prevalensi stunting telah mengalami penurunan dari 36,8% pada tahun 2007 menjadi 24,4% pada tahun 2021, angka tersebut masih tergolong tinggi, khususnya di Aceh. Berdasarkan data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022, penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4% selama periode 2018-2021. Namun, di Provinsi Aceh, penurunan ini hanya sebesar 0,98% dalam periode yang sama, menempatkan Aceh pada urutan kelima secara nasional dalam hal prevalensi stunting.
Riset yang dilakukan oleh Universitas Malikussaleh, dipimpin oleh Dr. Suryadi MP, bersama tim kajian yang terdiri dari Deassy Siska M.Sc dan lainnya, telah menyoroti kondisi pangan dan gizi di Kabupaten Aceh Utara serta hubungannya dengan prevalensi stunting. Hasil riset ini menjadi dasar bagi Bappeda Aceh Utara dalam menyusun rekomendasi kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
Muhammad Taufieq MSE, Kabid Penelitian dan Pengembangan Bappeda Kabupaten Aceh Utara yang memandu diskusi, menekankan bahwa stunting adalah masalah serius yang harus segera diatasi karena dapat menentukan masa depan generasi mendatang di Aceh. "Hasil penelitian hari ini diharapkan dapat digunakan untuk rekomendasi kebijakan dan kegiatan yang akan datang di Aceh Utara," ujarnya.
Dalam pemaparannya, Dr. Suryadi menyatakan bahwa permasalahan stunting adalah masalah multi dimensi. Salah satu penyebab utamanya adalah akses pangan yang belum mencukupi serta kegagalan diversifikasi pertanian yang mengakibatkan rumah tangga tidak dapat mengakses pangan yang beragam, sehingga mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, termasuk stunting.
Sementara itu, Deassy Siska, dalam presentasinya, memaparkan tren prevalensi stunting di Aceh berdasarkan hasil SSGI dan SKI dari tahun 2021 hingga 2023. Ia mencatat bahwa hanya ada 12 Kabupaten/Kota di Aceh yang prevalensinya menurun pada tahun 2023, salah satunya adalah Kabupaten Aceh Utara. "Selama periode 2022-2023, hanya empat kabupaten yang prevalensi stuntingnya secara konsisten mengalami penurunan, yaitu Bener Meriah, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Gayo Lues," ungkapnya.
Acara diseminasi ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai dinas terkait, seperti Dinas Pertanian dan Pangan, Dinas Kesehatan, Dinas Kelautan, Dinas Sosial, serta beberapa pejabat dari Universitas Malikussaleh. Dalam kesempatan ini, Sekretaris Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Aceh Utara, Siti Aisyah, menegaskan pentingnya regulasi terkait ketahanan pangan dan pendampingan penyuluh pertanian untuk meningkatkan ketersediaan pangan di masyarakat, terutama di desa-desa yang menjadi lokus stunting.
Kepala LPPM Universitas Malikussaleh, Dr. Ir Mawardati, dalam pernyataan penutupnya menekankan bahwa Aceh Utara sebenarnya memiliki cukup pangan, namun faktor ekonomi, budaya, dan psikologis menjadi penghambat akses pangan yang menyebabkan masalah stunting terus berlanjut. "Inilah akar permasalahan yang harus kita cari solusinya," tutupnya.
Dengan hasil diseminasi ini, diharapkan berbagai pihak terkait dapat bekerja sama untuk menurunkan angka prevalensi stunting di Aceh Utara, sehingga generasi mendatang dapat tumbuh dengan sehat dan cerdas.[tmi]