UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Dosen Hukum Internasional Zulfadli Ilmard mengatakan dalam hukum internasional bentuk pemerintahan Otsus sama populernya dengan Federasi atau disebut otonomi disinonimkan dengan kemerdekaan parsial.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi publik setelah dana otonomi khusus (Otsus) Aceh berakhir pada tahun 2027 "Aceh Mau Dibawa Kemana" di aula fakultas setempat, Kampus Bukit Indah, Lhokseumwe, Kamis (17/10/2019) yang digelar oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh.
BACA: Dana Otsus Aceh Berakhir 2027, DPM Hukum Universitas Malikussaleh Gelar Diskusi Publik
"Dalam rezim hukum internasional secara prinsip, otonomi diberikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri, sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerintahan pusat,"kata Zulfadli.
Menurutnya, perolehan Otsus dalam konteks hukum internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Otsus telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara.
"Dana Otsus adalah isi kesepakatan politik yang dijamin oleh hukum internasional, bukan pemberian atau diberikan lantaran kebaikan sebuah rezim dalam masa tertentu, sehingga berganti rezim maka berakhirlah pemberian tersebut,"terangnya.
Status dari daerah otonomi, sebut Zulfadli, harus ditentukan dalam konstitusi atau Undang-Undang yang berada diatas ketentuan perundangan-undangan disuatu negara.
"Mungkin Aceh terjebak dengan konstitusinya sendiri, yaitu UUPA yang seharusnya mengatur bentuk Pemerintahan Aceh yang berbeda dengan pusat atau daerah lain, dalam segala aspek kecuali yang menjadi kewenangan pusat,"tambah Zulfadli.[tmi]