Temukan Problem Penyebab "Salah Urus" Kemiskinan di Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh, Dr Mohd Heikal menjadi narasumber tentang kemiskinan di Aceh dalam dialog di Pro 1 RRI Lhokseumawe, Selasa (21/1/2020), bersama anggota DPRK Lhokseymawe, Dicky Sahputra. FOTO: IST.

UNIMALNEWS | Lhokseumawe – Aceh yang ditetapkan sebagai provinsi termiskin di Sumatera atau urutan 6 secara nasional versi Badan Pusat Statistik dipandang sebagai sebuah ironi di tengah jumlah APBA mencapai Rp17,3 triliun. Dengan nilai APBA setinggi itu, Aceh malah menempati peringkat lima besar secara nasional sehingga persoalan kemiskinan seharusnya tertangani.

Dengan kondisi kontradiktif seperti itu, Aceh dinilai “salah urus” sehingga hasil penelitian BPS menempatkan sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Pemerintah Aceh diharapkan bisa menemukan sumber persoalan tersebut dan tidak sekadar menggugat metodologi penelitian yang sebenarnya bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.

Demikian antara lain konklusi dari dialog di RRI Pro 1 Lhokseumawe yang menghadirikan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh, Dr H Mohd Heikal dan anggota DPRK Lhokseumawe, Dicky Saputra, Selasa (21/1/2020).

Mengutip pernyataan Peter F Drucker yang menyebutkan “tidak ada negara miskin, yang ada negara salah urus”, Heikal menilai kondisi di Aceh juga ada kesalahan urus sehingga angka kemiskinan tidak menurun.

“Indikator-indikator yang digunakan BPS dalam menentukan kemiskinan dijadikan sebagai fokus utama pembangunan. Penggunaan dana APBA/APBK berorientasi mengurangi angka kemiskinan,” papar Heikal ketika ditanya tentang solusi dalam dialog tentang Pengawasan dan Penggunaan APBK/APBA dalam Menjawab Masalah Kemiskinan di Aceh.

Ia juga mengingatkan bahwa masalah kemiskinan di Aceh bukan hanya tanggung jawab pemerintah provinsi saja, tapi pemerintah kabupaten/kota juga harus bersama-sama menyelesaikan sebab kantong-kantong kemiskinan ada di kabupaten dan kota. “Pemerintah kabupaten/kota harus bersinergi dengan pemerintah provinsi untuk mengurangi angka kemiskinan,” kata Heikal.

Baca juga: Ini Saran Dosen Fakultas Ekonomi Unimal Bagi Pemerintahan Gampong

Ditambahkannya, di Indonesia ada kabupaten/kota yang awalnya juara kemiskinan tetapi kini justru menjadi contoh keberhasilan pembangunan dalam menyulap daerah dari miskin menjadi sejahtera. Kabupaten dan kota tersebut sudah berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakatnya keluar dari garis kemiskinan.

Heikal menyebut beberapa daerah itu antara lain Kabupaten Batang di Jawa Tengah, Banyuwangi di Jawa Timur, Bantaeng di Sulawesi Selatan yang menurut Heikal terjadi perubahan karena faktor kepemimpinan berkualitas. “Peran pemimpin menjadi sangat menentukan dalam mengeksekusi program-program pembangunan yang memiliki dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” katanya. 

Porsi dana pembangunan untuk publik harus melebihi angka 30 persen dari total APBA/APBK sehingga memberikan trickle down effect bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Jangan sampai Aceh ibarat anak ayam mati dilumbung padi, dan tahun 2020 kiranya Aceh tidak lagi menjadi provinsi dengan gelar juara termiskin di Sumatera,” harap Heikal dalam dialog yang dipandu Denny Pribadi.

Sementara Dicky Saputra menyebutkan tingginya APBK atau APBA tidak menjamin turunnya angka kemiskinan jika programnya tidak tepat sasaran. Dia mengharapkan pemerintah Aceh lebih fokus dalam program yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat daripada mempersoalkan metodologi yang digunakan dalam riset.

“Data ini juga menjadi tantangan bagi akademisi di Aceh untuk mencari akar persoalan dan solusinya melalui penelitian,” tandas Dicky.[ayi]

Baca juga: Dosen Fakultas Ekonomi Unimal Bahas Potensi Zakat di Inggris


Kirim Komentar