Gua Jepang dan Implementasi Wisata Halal

SHARE:  

Humas Unimal
Tim kajian pengembangan wisata gua Jepang dari Universitas Malikussaleh mempresentasikan hasil penelitian di DPRK Kota Lhokseumawe, Senin (17/2/2020). FOTO: AYI JUFRIDAR.

DENGAN berbagai potensi yang dimilikinya, Aceh menjadi salah satu pusat wisata halal di Indonesia. Namun, merancang wisata halal yang menjadi bagian pusat pertumbuhan ekonomi, tidak semudah mengucapkannya di tengah berbagai kondisi sosial di Aceh. Persoalan wisata meski dengan dibungkus dengan label halal, kerap bersinggungan dengan banyak hal di lapangan. Padahal, inti dari kepariwisataan adalah memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada pengunjung. Kualitas pelayanan dan kenyamanan ini terkadang lebih penting dibandingkan dengan keindahan alam itu sendiri.

Ketika tim pengkajian pengembangan wisata gua Jepang dari Universitas Malikussaleh mempresentasikan hasil penelitian mereka di Kantor DPRK Kota Lhokseumawe, Senin (17/2/2020), aspek sosial budaya menjadi pembahasan pembuka. Dr Nirzalin menyampaikan kondisi sosial masyarakat di sekitar gua Jepang yang sebenarnya telah tumbuh kesadaran mengelola potensi wisata sebagai salah satu aset ekonomi masyarakat.

Dia menyebutkan, banyak desa di provinsi luar Aceh sekarang sudah menjadi wisata sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa. Dana desa digunakan untuk pengembangan potensi wisata.

“Konsep pengembangan wisata sebagai aset ekonomi juga menjadi prioritas banyak negara. Arab Saudi, misalnya, kini mulai fokus pada pengembangan wisata. Ketika potensi keindahan alamnya terbatas, mereka mengembangkan wisata modern, terlepas ada pro dan kontra misalnya tentang pembangunan puluhan gedung bioskop yang dulu tidak ada,” papar Nirzalin di hadapan Ketua DPRK Kota Lhokseumawe, Ismail A Manaf, Sekda Kota Lhokseumawe, Adnan, Djuwito dan tim dari PT Perta Arun Gas, sejumlah pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta para kepala desa di lingkungan gua Jepang. Sesuai hasil diskusi dengan warga setempat, Nirzalin lebih sreg dengan sebuah guha Jepang yang lebih merepresentasikan daerah Aceh. 

Masalah banyaknya begal di lintasan Medan – Banda Aceh kawasan Blang Panyang, lokasi gua Jepang, menjadi masalah disampaikan Nirzalin. Menurutnya, dari beberapa kasus yang pelakunya tertangkap, ternyata bukan dari warga sekitar. Meski demikian, masalah ini menjadi salah satu penyebab ketidaknyaman di sekitar gua Jepang yang harus diselesaikan agar tidak terbangun kesan menakutkan.

Menurut Sekretaris Tim Kajian Pengembangan Wisata Gua Jepang dari Universitas Malikussaleh, Dr Abdullah Akhyar Nasution, pengunjung hanya ramai dalam kurun 2015 – 2016 atau setelah gua Jepang dibenahi menjadi lebih layak. Kehadiran generasi milenial yang akrab dengan sosial media, ikut membantu popularitas gua Jepang. Mereka memposting foto dan artikel di berbagai media sosial. Bahkan ada perlombaan penulisan tentang destinasi wisata yang digelar komunitas sosial media berbasis blockchain, Steemit, dan ikut mengangkat gua Jepang. Pengunjung dari berbagai kabupaten dan kota di Aceh, berdatangan ke gua Jepang.

“Namun, hampir tidak ada pengulangan kunjungan. Dan umumnya, keberadaan pengunjung di sana tidak lama, hanya sekitar 15 menit saja,” ujarnya.  Intinya, gua Jepang belum mampu menyedot pengunjung lebih banyak, bertahan lebih lama, dan berkunjung lebih sering. 

Untuk membuat pengunjung bertahan lebih lama dan membelanjakan uangnya lebih banyak, tim merekomendasikan lima konsep pengembangan yakni attraction, yaitu adanya pertunjukan objek wisata yang menjadi pusat perhatian wisatawan. Makanya di lokasi juga dibangun panggung yang bisa menggelar berbagai kegiatan seni dan budaya. Selain itu, berbagai kegiatan kebudayaan yang pernah ada perlu digalakkan kembali.  

Kemudian activity, kegiatan yang memiliki daya tarik, accessibility (keterjangkauan), accommodation (penginapan), dan amenity (kenyamanan). Kelima konsep itu harus dibenahi untuk mendukung gua Jepang sebagai ikon wisata Kota Lhokseumawe.  Keberadaan gua Jepang juga harus disinergikan dengan destinasi wisata lain yang ada di Kota Lhokseumawe.

Masyarakat dari desa lingkungan, terutama dari Blang Panyang, direkomendasikan menjadi bagian dari optimalisasi gua Jepang sebagai destinasi wisata, apalagi masyarakat Blang Panyang sudah membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang memberdayakan seluruh potensi masyarakat.

Dari hasil kajian yang dilakukan akademisi Universitas Malikussaleh, terlihat potensi luar biasa yang dimiliki kawasan gua Jepang bila dikembangkan. Dengan lahan yang mencapai 25 hektar, banyak hal yang bisa dikembangkan. Tim Sipil yang diketuai Dr Sofyan, tim arsitektur yang diketuai Dr Arch Rinaldi Mirza, serta tim lingkungan (Dr Zul Nazri), merekomendasikan pembangunan kawasan gua Jepang dalam beberapa zona yang setiap zona memiliki keindahan tersendiri sehingga mendorong pengunjung bertahan lebih lama.

Dari tampilan visual yang disampaikan Nova Purnama Lisa dan Susi Nurhayati dari tim arsitektur, tampak rencana pembangunan gua Jepang dalam beberapa zona. Dari ketinggian, nanti akan dibuat lebih indah dan artistik, ada tempat untuk permainan anak-anak, kolam, deretan pusat kuliner yang bersih dan asri, dan sudut yang berarsitektur Jepang. “Tapi kita juga tidak melupakan nuansa lokal. Ada juga zona yang dibangun dengan arsitektur Aceh,” ujar Nova Purnama Lisa menjelaskan sesuai dengan visual yang tampak di layar.

Singkatnya, semua sudut terlihat begitu indah sehingga tampak sangat istagrammable. Dari aspek keamanan pun sangat mendukung, seperti disampaikan hasil kajian tim geofisika oleh Deassy Siska. Menurutya, struktur tanah di sekitar gua Jepang kuat menahan gempa dengan skala seperti yang pernah terjadi di Aceh.  

Semuanya itu baru proyeksi yang membutuhkan waktu panjang untuk mewujudkannya. Hasil kajian tersebut belum memiliki skema pembiayaan yang menurut perkiraan Dr Sofyan bisa mencapai Rp32,29 miliar. “Tapi tidak semua zona harus dibangun sekaligus. Bisa jadi secara bertahap sampai kawasan gua Jepang selesai semuanya,” ungkap Sofyan.

Sekda Kota Lhokseumawe, Adnan, menyebutkan anggaran yang dimiliki daerah memang terbatas untuk membangun gua Jepang seperti hasil kajian tim dari Unimal. Namun, ia mengharapkan pembiayaan bisa bersumber dari APBA, dari Perta Arun Gas, bahkan dari APBN.        

Potensi sebuah destinasi wisata tak bisa dipisahkan dari promosi. Menurut ketua tim promosi Andrea Zulfa PhD, strategi promosi yang baik tidak banyak membantu jika kondisi gua Jepang tidak menggambarkan keindahan seindah warna aslinya. “Jangan sampai pengunjung merasa tertipu,” katanya mengingatkan.

Presentasi dari semua tim yang disampaikan dengan lancar, mendapat apresiasi dari Pemkot Lhokseumawe, PT PAG, serta masyarakat lingkungan. Mereka mengharapkan hasil kajian yang masih di awing-awang itu bisa terwujud secara bertahap dan upaya membangun wisata berlabel halal bukan sekadar wacana tanpa implementasi.[Ayi Jufridar]


Kirim Komentar