Dr Budi Bahreisy: Tekad Baja Doktor Muda Unimal

SHARE:  

Humas Unimal
Dr Budi Bahreisy, SH, MH, doktor termuda Universitas Malikussaleh. FOTO: IST.

Muda, energik, dan cerdas merupakan profil lengkap yang dimiliki Dr Budi Bahreisy SH MH, seorang dosen muda di Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. Gelar Doktor termuda yang disandangnya di usia 29 tahun sangat menginspirasi banyak kalangan, terutama teman sesama dosen. Semangat dan kegigihannya menekuni pendidikan telah mengubah pandangan bahwa tidak semua orang yang mendapat gelar doktor telah berusia tua. Namun ada pula mereka yang masih sangat muda.  

Walau bukan orang pertama yang berhasil meraih gelar doktor termuda di Indonesia, namun Budi mengaku puas dengan apa yang sudah dicapainya.  Sebenarnya mendalami ilmu hukum, bukanlah cita-citanya semasa kecil.

Budi lebih tertarik menjadi pendakwah dan dokter seperti keinginan kedua orang tuanya, ketimbang jadi seorang pengajar. Bahkan harapan kuat kedua orang tua, untuk  menjadikannya seorang dai atau dokter sudah terlihat dari penyematan nama  “Budi Bahreisy” kepadanya. Nama Budi diambil dari nama salah seorang dokter kandungan di Sumatera Utara, yaitu Prof dr Budi Hadibroto.

Sedangkan Bahreisy merupakan penggalan nama pendakwah dan penulis buku “Riyadhus Shalihin” yang sangat terkenal, “Salim Bahreisy”.

“Bahkan keinginan untuk menjadi dokter, semakin kuat saya rasakan saat berhasil masuk jurusan IPA ketika SMA,” ungkap putra pasangan almarhum  Salahuddin SH MH dan Nurmalawaty SH MHum.

Bagi Budi, pendidikan merupakan hal paling urgen yang harus menjadi prioritas dalam hidup. Spirit ini juga yang menginspirasinya. Kendati terlahir dari keluarga yang berkecukupan, tetapi ia tidak pernah larut dengan eforia hidup, atau gaya hidup berlebihan seperti anak lain seusianya yang lahir dari latar belakang keluarga berada. Ia sangat meyakini bahwa pendidikan dapat mengubah dan mewujudkan segalanya, terutama mimpinya untuk menjadi seorang dokter, seperti keinginan kedua orang tuanya.

Namun takdir berkata lain, alih-alih menjadi seorang dokter, Budi malah terjebak dalam dilema pilihan yang berat, setelah dinyatakan lulus di Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara (USU) saat mendaftar masuk perguruan tinggi. “Sebenarnya ada tiga pilihan saya mendaftar masuk perguruan tinggi, Pertama Kedokteran USU, kedua Kedokteran Unimal, dan ketiga Ilmu Hukum USU. Namun saat diumumkan, saya lulus di Ilmu Hukum USU,” ungkap dosen muda berdarah Aceh-Padang ini, beberapa waktu lalu.

Keadaan tersebut sempat membuatnya bingung menentukan pilihan, bahkan sempat terlintas di benaknya untuk tidak meneruskan kuliah. Namun mengingat latar belakang pendidikan kedua orang tuanya dan banyak buku-buku ilmu hukum milik orang tuanya yang bisa dijadikan referensi, akhirnya Budi istiqamah dan membulatkan tekad untuk kuliah di Fakultas Hukum USU.

Ujian berat yang sangat membekas di memori ingatannya sampai sekarang adalah ketika ia divonis mengidap penyakit autoimun (kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuh sendiri) yang membuatnya hampir tidak dapat beraktivitas.

Namun dengan sabar dan dibarengi tekad yang kuat akhirnya ia berhasil menyelesaikan strata satu (S1) dengan nilai sangat memuaskan IPK 3, 86 hanya dengan jangka waktu 3,5 tahun.

Selesai S1, Budi mencoba peruntungan mendaftar CPNS Kejaksaan. Namun gagal, sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi sembari magang di salah satu kantor advocad di Kota Medan, untuk mengisi kekosongan kegiatan sehari-harinya.

Bukan perkara mudah meraih gelar doktor, karena banyak rintangan yang harus dihadapinya. Mulai divonis autoimun¸saat kuliah S1, ketika dirinya melanjutkan studi ke jenjang S2, cobaan kembali datang.

Takkala harus berjibaku menghadapi ujian tesis, ayahnya dipanggil yang Maha Kuasa. Padahal selama ini selain ibu dan adik tercintanya Rini Anggraini, SH MH, ayahnya merupakan sosok yang memotivasi dirinya menyelesaikan pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

“Beliaulah yang selalu memotivasi saya, saat sakit sampai sebelum menjelang ajalnya. Terpatri di pikiran saya kata-kata bijaknya yang tak terlupakan,  yaitu tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina. Kalau tidak bisa sampai ke sana, sampai S3 pun jadi,” tambah Budi.  

Pria kelahiran 27 Mei 1991 ini selalu mengingat kata bijak sekaligus nasihat paling berharga dari ayahnya tersebut. Sehingga kesempatan untuk bisa melanjutkan pendidikan tidak pernah disia-siakannya. Berbagai sumber digali untuk mewujudkan mimpinya.

Dalam program masternya, Budi mengambil Program Studi Ilmu Hukum dan mengangkat penelitian tesisnya “Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Mengoptimalkan Pengembalian Kerugian Negara (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1605 K/Pid.Sus/2014)”.  Dia berhasil lulus dengan nilai sangat memuaskan pada 2015 silam.

Tidak berhenti di situ, Budi punya hasrat melanjutkan pendidikan sampai ke Strata-3 (S3) di tahun sama. Keinginan yang kuat dan dibarengi dengan kegigihan berkarya yang diwujudkan dalam berbagai penelitian, akhirnya Budi berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul “Perampasan Aset Korupsi Yang Dikelola Pada Gatekeeper Menurut Rezim Anti Money Laundering” dan diuji pada sidang terbuka Universitas Sumatera Utara (USU).

Budi lulus dengan prediket cumlaude pada 2020 dan gelar doktor berhasil disematkan kepadanya. Belakangan menjadi salah seorang doktor termuda yang dimiliki Universitas Malikussaleh.

“Ada tiga hal yang mendorong saya mau mengabdi sebagai pendidik di kampus. Pertama amal jariyah yaitu dengan memberi ilmu yang bermanfaat. Kedua di akhirat nanti pasti ada salah satu tangan mahasiswa/mahasiswi yang memegang tangan saya supaya tidak jatuh ke neraka pada saat berjalan di jembatan siratal mustaqim, dan terakhir mendapatkan gaji,” katanya sambil tertawa.

Pencapaian yang diraihnya saat ini merupakan bukti nyata dari suksesnya peran orang tua, terutama ibunya seorang single parents, telah mampu mengantarkannya kuliah sampai ke jenjang S3. Karena itu ia berpesan, “buat siapa pun muliakan kedua orang tuamu, terutama ibumu, karena kita tidak pernah tahu entah berapa juta doa yang telah dimintakan kepada Allah untuk kita, agar sehat dan sukses ke depannya. Berhentilah menyalahkan keadaan, karena setiap yang terjadi dalam kehidupan adalah pemberian Tuhan,” ujar lelaki yang gemar berenang, membaca, dan snorkeling ini.

Budi memberikan tips. Kunci hidup agar tetap tenang dan dibukakan rezeki, selalu mengedepankan prinsip S5 yakni Salat, Sabar, Sedekah, Syukur, dan Senyum. Teruslah merasa bodoh, mengutip pendapat Buya Hamka “orang yang pintar adalah orang yang selalu merasa bodoh, tak pernah berhenti belajar dan terus belajar”. 

“Hidup bukan gelar yang membuat sukses, tapi orang sukses pasti dapat ‘gelar’,” tandas Budi Bahreisy. [Dedi Fariadi]


Kirim Komentar