Covid-19 dan Dekonstruksi Teologis

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya, photo is credited by Bustami

UNIMALNEWS | Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh. Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh.

Bencana Covid-19 saat ini telah menjadi fakta global yang memerikan dan mengguncang kesadaran teologis banyak orang. Menurut data terakhir telah ada 203 negara, teritorial, dan kapal internasional yang menjadi tempat berkembangnya virus yang menular ini. Total 935.957 orang positif terpapar virus dan 47.245 di antaranya meninggal hingga 2 April 2020.

Secara persentase kematian Covid-19 memang “kecil” yaitu 5 persen. Namun yang membuat bencana ini melahirkan kepanikan global karena sebaran dan jumlah penjangkitnya yang cukup besar dan merata di seluruh dunia. Tidak ada satu benua pun yang bebas dari pandemi ini. Bahkan teritori suci seperti Mekkah, Vatikan, Yerussalem, Badrinath, dan Karbala juga ikut terinfeksi virus aneh ini.

Goncangan teologis

Di antara yang paling terdampak penyebaran kasus Covid-19 adalah kaum agamawan yang kini di garda terdepan menafsirkan fenomena ini secara teologis. Dalam Islam, penyebaran wabah Covid-19 ini dihubungkan dengan penyakit tha’un seperti dalam kodifikasi hadist Sahih Bukhari-Muslim. Kisah tentang wabah telah dikenal secara teologis.

Namun yang membuat umat terguncang  ketika ada praktik keagamaan yang mulai dilarang pemerintah. Sedikit banyak kebijakan ini melahirkan benturan teologis karena umat dilarang (sementara) berkumpul pada momen ritual seperti Salat berjamaah atau misa ke gereja. Umat Hindu Bali juga dilarang melaksanakan Melasti, tradisi sebelum Nyepi, meskipun ada juga yang ngeyel. Sebagian kalangan menganggap pelarangan oleh negara adalah “fatwa keliru”.

Padahal dalam sejarah Islam, ritual keagamaan umat dengan jumlah massa besar berkali-kali sempat tidak terlaksana karena situasi abnormal. Krisis politik dan wabah menyebabkan umrah dan haji tak terlaksana puluhan kali. Di antaranya kasus pencurian hajarul aswad oleh kelompok Qaramithah pada 930 M dan baru dikembalikan 22 tahun sesudahnya; perselisihan antara Bani Abad dan Bani Abid pada 983 dan 1257 sehingga wilayah Hijaz ditutup; wabah kolera di Mekkah pada 1837, 1846, 1850, 1858, 1865, dan 1883, dll. Situasi itu jelas mengoncang kesadaran teologis umat Islam.

Bukan hanya itu, agama juga kerap diperalat untuk membangun konsep teologis “lain”. Pada masa totaliterisme Stalin dan Hitler, gereja melakukan “konsensus terpaksa” membenarkan kekejaman seperti kerja paksa, penyiksaan, dan genosida. Akhirnya posisi teologis Kristen terperosok dan mencari kambing hitam kekacauan Eropa saat itu kepada Yahudi dan komunitas non-Kaukasia. Ini persis ketika wabah pes menyebar di Eropa pada pertengahan abad 14 dan menuduh umat Yahudi sebagai penyebab. Situasi seperti itu menjebak agama untuk merespons secara “ekstrem dan fatalistis” fenomena sosial, seperti wabah dan perang.

Sketsa historis menunjukkan bahwa “pencocokan” teologis agama- akan cenderung dihadirkan oleh pemuka agama secara tidak otentik pada krisis politik. Konsep teologi yang berkembang kemudian seperti dikatakan Karen Amstrong, pemikir perbandingan agama asal Inggris:  “sangat sekuleristik dan ikut membusuk dalam konflik dan kedaruratan”.

Tak heran jika pada situasi wabah seperti sekarang ini, penafsiran agama yang cenderung “misoginis”, apokaliptik, negatif, dan menyerang umat lain menjadi tersemai. Muncul fatwa pejoratif bahwa Covid-19 kutukan dari langit atau tentara Allah yang menyerang orang kafir. Agama sejatinya memberikan pembebasan dan kebaikan, kerap terjerumus pada ketamakan, kebencian, dan ambisi yang dibungkus oleh retorika palsu (Amstrong, Compassion, 2010).

 

Gerakan dekonstruktif

Pada situasi ini tentu diperlukan cara pandang agama yang lebih “posmo”, yaitu menghadirkan konsep teologis yang lepas dari pengaruh sekularistik  dan politik. Sayangnya pengagum model penafsiran sakarstik kerap menyebut diri mereka puritan/antibidah/salafi. Konsep teologi konservatif kerap mengaitkan Tuhan sebagai pemilik otoritas penyebar ketakutan dan kecemasan. Tugas wakil Tuhan akhirnya membungkam dan menjagal manusia dengan tafsir politis. Model seperti itu terlihat pada teologi Jemaah Islamiyah, ISIS, Dove World, Bharatiya Janata, Ghulat, Wahabiyah, dll yang bersikap berlebihan dan cenderung menyesatkan pihak lain secara terbuka.

Maka, diperlukan cara pandang baru, yang posmodernis, yang melampaui cara pandang lama yang tertutup, eksklusif, dan ahumanis. Pola penafsiran bahwa pihak lain sebagai neraka dan sumber masalah ialah wujud kegagapan teologia mencari jawaban otentik. Menyalahkan perempuan, minoritas, agama lain, atau berbeda mazhab sebagai biang kerok atas wabah juga manifestasi ketidaksadaran teologis dan membuat agama semakin dijauhi.

Meskipun tidak baru, ruang teologis juga perlu melakukan otokritik dan mencari kebaruan dalam menjawab masalah. Konsep teologi posmodernisme harus menarik upaya reflektif agama dengan lingkungan sekitarnya, dengan mendekonstruksi sisi-sisi egois tafsir dari pola saling tuduh. Meskipun agama adalah konsep sakral historis, ia harus mampu hidup untuk masa sekarang (Graham Ward, 2001).

Pemahaman teologi secara dekonstruktif akan membuat agama nyaman menjawab masalah. Nilai-nilai instrinsik agama harus memberikan jawaban yang rasional, humanis, dan “demokratis” – sehingga tidak lari pada pemahaman destruktif atau fatalistik, seperti menyebut bahwa tidak perlu takut pada wabah Covid-19, karena Allah akan menyelamatkan siapapun yang dikehendakiNya.

Islam sendiri mengajarkan sikap rasional ketika berhadapan dengan wabah, seperti dijelaskan Sahih Bukhari-Muslim, bahwa jangan pernah masuk ke wilayah yang sedang terserang wabah, dan jangan keluar jika sudah berada di dalamnya. Hadist Nabi tersebut jelas mengekstrapolasi penanganan untuk tidak menambah resiko di tengah wabah.

Islam juga mengajarkan sikap patuh pada pemerintah dan disiplin pada komando yang dikeluarkan. Di dalam Al Quran seperti Surat Al Nisaa (4) ayat 59 dan Surat Al Anfal (8) ayat 46  mengajarkan sikap untuk taat kepada pemerintah dan tidak berselisih paham sehingga umat menjadi tersegregasi. Mengacaukan peran pemerintah melalui pandangan agama yang sinis, sakartis, dan anarkis jelas bertentangan dengan pesan otentik Islam.

Kini diperlukan dekonstruksi teologis merespons wabah ini secara bersama. Agama-agama harus bersatu padu dengan pemerintah melawan penyakit yang bisa menganggu peradaban kita ini. Perlu dibangun pemahaman pluralisme yang agonistik, yaitu semua agama bersikap aktif dalam melahirkan ekspresi kolektif menyelesaikan masalah Covid-19 dengan rendah hati, empatik, humanis, dan emansipatif.

Tulisan ini telah dipublikasi pertama sekali di Media Indonesia, 3 April 2020.


Berita Lainnya

Kirim Komentar