KERUKUNAN umat beragama di Pusong Lama Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe, terbangun selama bertahun-tahun karena masyarakatnya menghormati perbedaan dan keyakinan masing-masing. Masyarakat merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, meski itu tanpa mereka sadari.
Di sisi lain, kehidupan di Pusong juga sangat rentan karena berbagai faktor. Pertama, daerah itu dikenal sebagai bekas konflik bersenjata dan bisa disebut pernah menjadi basis kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Kedua, kesenjangan sosial sangat tinggi karena termasuk perkampungan nelayan.
Ketiga, kelompok masyarakat yang tinggal di pinggiran memiliki tingkat pendidikan rendah, meski untuk kawasan yang lebih dekat dengan kota relatif lebih tinggi sebagaimana dilukiskan anggota DPRK Lhokseumawe, Dicky Saputra yang berasal dari Pusong Lama.
Terakhir, kerentanan itu akibat momentum politik seperti pemilu dan pilkada yang sering mendorong muncul isu-isu bernuansa SARA seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, meski kasus serupa tidak pernah terjadi di Pusong.
Kerentanan itu selama puluhan tahun tidak membuat kerukunan terusik sehingga Pusong dinobatkan sebagai desa percontohan kerukunan umat beragama. “Salah satunya karena masyarakat mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila,” ujar mahasiswa Karina Febiola Lutfiansyah dalam refleksi Modul Nusantara tentang kerukunan umat beragama di Pusong, Sabtu (25/09/2021).
Mahasiswa S1 Pendidikan Guru dan PAUD Universitas Jember itu memaparkan butir-butir Pancasila yang diimplementasikan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari seperti menghormati perbedaan agama, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menjaga persatuan, menjaga demokrasi dan itu dibuktikan dengan momentum politik seperti pilkada dan pemilu selalu berlangsung aman, serta adanya keadilan di tengah masyarakat.
Sementara Amalia Lusiyana dari Universitas Negeri Semarang berpendapat kerukunan antarumat beragama selama puluhan tahun di Pusong karena masyarakatnya menjunjung tinggi toleransi. “Seperti bidan Rosita Barus yang menolong semua ibu di Pusong tanpa memandang perbedaan agama dan status sosial,” ujar mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi tersebut.
Kerukunan di Pusong selama puluhan tahun dipertanyakan mahasiswi Universitas Pamulang, Ayu Anggraini. “Apa penyebabnya sehingga masyarakat bisa hidup rukun tanpa gesekan apa pun?”
Sedangkan Ramadhanif Adji Fajri’an dari Universitas Jenderal Soedirman, mengungkapkan kekagumannya terhadap sikap terbuka masyarakat Desa Cot Gapu Kabupaten Bireuen yang menerima kehadiran kepala desa atau keuchik dari pendatang. “Kalau di daerah saya, ketua RT atau RW saja harus dari warga setempat,” ujar mahasiswa Ilmu Gizi yang akrab disapa Rafi tersebut.
Diskusi tentang kerukunan antarumat beragama di Pusong merupakan pertemuan ketiga dan kegiatan refleksi pertama bagi mahasiswa Modul Nusantara Kelompok IV Universitas Malikussaleh dengan dosen pengampu Jufridar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Mahasiswa di Kelompok IV berjumlah 20 orang dari berbagai universitas di Indonesia. Mereka adalah Yusuf Awaluddin, Elin Atikah, Amalia Lusiyana, Jihad Wildan Ihwanushofa, Mellyana Putri Ayu Wandari, Nurul Amaliah, dan Melanda Oktaviani dari Universitas Negeri Semarang.
Kemudian Claudia Elizabeth Putri Sukamto dan Debby Caroline (Universitas Negeri Surabaya), Anita Dwi Wahyuni dan Choirunnisa Hasna (Universitas Muhammadiyah Semarang), Ramadhanif Adji Fajri’an dan Fitrah Dina Karisma (Universitas Jenderal Soedirman), dan Stephanie Edwina dari Universitas Gadjah Mada.
Selanjutnya, Ayu Anggraini dari Universitas Pamulang, Muhammad Ripin dan Yuni Listiawati (Universitas Madura), Karina Febiola Lutfiansyah dari Universitas Jember, Luis Wijaya Kusuma dari Universitas Islam Malang, serta Annisya Devi Safitri dari Universitas Muhamadiyah Magelang. [Ayi Jufridar]