Menyelamatkan Generasi Pembuat Rencong Manual

SHARE:  

Humas Unimal
Mahasiswa Modul Nusantara Kelompok IV Universitas Malikussaleh mengikuti refleksi tentang rendahnya minta generasi muda Aceh mempelajari keahlian membuat rencong secara tradisional, Sabtu (9/10/2021). Foto: Ayi Jufridar.

DALAM bengkelnya yang disebut teumpeun di Desa Meunasah Blang Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara, Ishak Abdullah (69) duduk terpekur. Matanya nanar menatap lantai tanah, di sana tergeletak pedang Aceh yang panjang dan lurus di antara  beberapa bilah rencong yang belum sepenuhnya dilicinkan.

“Bagi saya, membuat rencong ini bagian dari seni. Saya suka sejak masih muda. Tapi anak muda sekarang tidak ada yang peduli karena tidak cukup menghasilkan uang,” kata Ishak kemudian. Beberapa pengunjung teumpeun, pertengahan September lalu, mendengarkan dengan khidmat.

Ishak Abdullah yang akrab disapa Utoeh alias tukang, memang sedang mencerita tentang banyak hal, terutama kekhawatirannya tentang seni membuat rencong secara tradisional yang sudah tidak lagi diminati generasi muda. Anaknya sendiri, Juliadi, yang dulu sering membantu pekerjaannya di teumpeun, sekarang lebih memilih menjadi mekanik dibandingkan menjadi utoeh karena lebih menguntungkan. “Tak heran, di Aceh Utara tinggal saya yang masih membuat rencong dengan tangan,” ungkapnya.    

Padahal, Ishak mengakui bakat putranya lebih baik dari dirinya. Bukan saja karena lebih teliti, tetapi Juliadi lebih berwawasan mengenai seni ukir rencong karena memiliki banyak referensi dari berbagai sumber dan memodifikasikannya dengan ukiran dasar rencong. “Tapi sekarang dia hanya mengerjakan rencong sesekali kalau kebetulan pulang,” lanjut Ishak tentang putranya yang kini sudah menikah dan tinggal di kecamatan lain.

Dulu, Ishak mengaku membuat rencong pertama kali tanpa menggunakan guru. Setelah melihat hasil pekerjaan Utoeh Yakub, dia mencoba sendiri dan tidak bagus. Setelah itu ia baru belajar sama Utoeh Yakub yang kemudian menjadi abang iparnya. Utoeh Yakub merupakan anak dari Utoeh Bong yang menurut Ishak sangat melegenda sebagai pembuat rencong.

Ishak mengaku membuat rencong secara manual memang tidak bisa dijadikan sumber ekonomi. Meski harga rencong mulai Rp300 ribu sampai Rp2 juta per bilah tergantung dari ukuran, ukiran, dan bahan, tetapi tidak setiap hari ia menerima pesanan. Belum lagi sulitnya mendapatkan bahan baku seperti besi putih atau kuningan, dan tanduk kerbau sebagai gagang rencong.

Selama ini, Ishak mengakali pembelian besi putih dengan mencarinya di tempat jual beli barang bekas. Tanduk kerbau juga susah didapat karena masyarakat Aceh Utara dan sekitarnya mengonsumsi daging sapi.  Ishak membeli tanduk kerbau di Aceh Tengah dan Aceh Barat seharga Rp60 untuk tanduk betina dan Rp40 ribu untuk tanduk jantan.

“Yang betina lebih mahal karena ruang kosong di dalamnnya lebih sedikit dibandingkan dengan tanduk jantan. Jadi, bagian dari tanduk betina lebih banyak yang bisa dimanfaatkan,” jelas Ishak kepada para pengunjung, termasuk dosen Universitas Malikussaleh, Kurniawati.

Di masa lalu, Ishak masih menggunakan peralatan tradisional dalam membuat rencong. Untuk meniup api agar terus membara, dulu ia menggunakan alat yang disebut pot-pot (alat peniup). Ketika baru memulai usaha pada awal 1980-an, pot-pot terbuat dari kulit kambing.  

Alat itu kemudian diganti dengan kertas kantong semen. Sekarang, Ishak sudah mengucapkan selamat tinggal dengan pot-pot yang membutuhkan tenaga manusia untuk menggerakkannya. Sekarang dia menggunakan blower elektrik. Sedangkan untuk memperhalus bilah rencong, ia menggunakan gerinda. “Tapi kalau ada wartawan asing, mereka melarang saya menggunakan blower atau gerinda,” ungkap Ishak.  

Keahlian membuat rencong secara manual yang semakin tidak diminati generasi muda Aceh, sungguh memprihatinkan. Menurut Claudia Elizabeth Putri Sukamto, pemerintah harusnya membina mereka dan mendanai workshop pembuatan rencong bagi generasi muda. “Pemerintah juga harus mendukung agar rencong bisa masuk pasar e-commerce,” ujar mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, Sabtu 9 Oktober 2021.

Claudia bersama 19 mahasiswa lainnya adalah peserta program Modul Nusantara dari Kelompok IV di bawah bimbingan dosen pengampu Jufridar dari Universitas Malikussaleh. Harusnya, Claudia dkk berkunjung langsung ke teumpeun di Gampong Meunasah Blang, Tanah Pasir, Aceh Utara. Namun kondisi pandemi memaksa kegiatan harus digelar secara daring.

Sementara Debby Caroline dari Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Surabaya, menyarakan agar keberadaan teumpeun dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata di Aceh Utara.  Bagi Karina Febiola Lutfiansyah dari Prodi Pendidikan Guru dan PAUD Universitas Jember, rencong handmade dan rencong curah yang diproduksi massal, sama seperti batik tulis dan batik cetak. “Tentu saja buatan tangan lebih memiliki harga dan nilai kearifan lokal,” ujar mahasiswi asal Surabaya tersebut.

Di tengah kemajuan teknologi yang menuntut adanya efektivitas dan efisiensi, Yuni Listiawati menilai tetap penting membuat rencong secara manual agar keterampilan tersebut tetap dimiliki generasi muda. Sebaliknya, rencong yang bisa diproduksi secara massal dipandang juga perlu untuk kepentingan bisnis. “Promosi melalui pameran kebudayaan harus rutin dilakukan untuk memperkenalkan kekayaan budaya,” ujar mahasiswi Universitas Madura tersebut.

Berbagai saran disampaikan mahasiswa peserta program Modul Nusantara untuk pemerintah daerah serta semua pihak agar kemampuan membuat rencong secara manual tetap lestari. Tinggal menunggu respons pemerintah agar lahir generasi berikutnya sehingga kekayaan budaya Aceh tidak melulu dikuasai untuk kepentingan komersil. [Ayi Jufridar]

Baca juga: Mengimplementasikan Nilai Pancasila dalam Kesenyapan


Kirim Komentar