Karya Jurnalistik di Antara Kepentingan Publik dan Privat

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen jurnalistik Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, menjadi pemateri dalam kegiatan Kajian Jurnalistik yang digelar Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Kota Lhoksuemawe, Rabu (17/4/2022). Foto: Ist.

DALAM melaksanakan kegiatan jurnalistik secara teratur, wartawan harus mampu membedakan antara ruang publik dengan ruang privat sehingga lebih menghargai privacy narasumber serta tidak mengorbankan narasumber dalam kegiatan jurnalistik. Namun, dalam kasus tertentu sulit memisahkan antara kepentingan publik dengan kepentingan privat karena keduanya saling berkaitan.   

Demikian antara lain disampaikan tenaga pengajar jurnalistik di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, ketika menjadi pemateri dalam kegiatan kajian jurnalistik yang digelar Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Kota Lhokseumawe, Rabu (27/4/2022). Dalam pemaparannya, Ayi antara lain mengingatkan tiga regulasi yang berkaitan dengan kerja jurnalistik dalam mengakses serta menyebarkan informasi.

Ketiga regulasi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Selain itu, juga ada Kode Etik Jurnalistik yang harus menjadi acuan dari kegiatan jurnalistik wartawan,” tambah Ayi yang juga seorang penulis fiksi.

Dalam melaksanakan tugas jurnalitik, wartawan juga bisa menggunakan UU Nomor 14/2008 untuk mendapatkan informasi dan data yang menyangkut kepentingan publik. “Dalam liputan-liputan investigasi, misalnya, akurasi dan kelengkapan data dibutuhkan sebagai pendukung. Undang-Undang Nomor 14 bisa menjadi pintu masuk untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Sayangnya, masih sedikit wartawan atau media massa memanfaatkan regulasi tersebut untuk mendapatkan data,” tambah Ayi Jufridar.

Sementara, keberadaan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi rambu yang harus diperhatikan wartawan dalam pemberitaan. Setidaknya ada empat pasal yang bisa menjerat wartawan melalui regulasi yang lebih sering disebut UU ITE tersebut. Di antaranya, Pasal 26 Ayat 3 tentang penghapusan informasi elektronik, Pasal 27 tentang pencemaran nama baik dan penghinaan, Pasal 28 tentang ujaran kebencian, serta Pasal 40 tentang pemblokiran.

“Sudah beberapa wartawan bermasalah dengan hukum akibat Undang-Undang ITE tersebut, termasuk di Aceh. Makanya, kalangan jurnalis ada yang menuntut penghapusan pasal-pasal karet dalam UU ITE itu,” jelas Ayi.

Baca juga: Dosen Jurnalistik Unimal Paparkan Kesalahan Dalam Menulis Siaran

Ia menambahkan, dalam praktik jurnalistik ada beberapa situasi yang membuat wartawan tidak mudah membedakan ruang privat dengan ruang publik. Ia menyontohkan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sulit mencuat ke permukaan karena masih banyak yang menganggap sebagai bagian dari wilayah privat.

Ketika menyebutkan berita-berita infotainment sebagai salah satu contoh bahan kajian, pandangan peserta terpecah karena sebagian ada yang menganggap sebagai bagian dari karya jurnalistik dan sebagian peserta menganggap bukan.

“Pekerja infotainment juga mendapatkan berita seperti wartawan. Unsur-unsur berita lengkap, mereka juga melakukan konfirmasi kepada narasumber sehingga layak disebut karya jurnalistik,” ungkap Teuku Saifuddin Alba, seorang wartawan di Aceh Utara.

Ayi menyinggung hasil sebuah riset yang menyebutkan berita infotainment bukan bagian dari karya jurnalistik dengan sejumlah argumen seperti proses liputan, wawancara, dan produksi hasil liputan infotainment tidak sesuai dengan koridor jurnalistik. Produk infotainment juga banyak yang melanggar kode etik jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

“Program infotainment bukan berdasarkan fakta, tapi gosip. Tidak ada disiplin verifikasi informasi, dan berita yang disajikan tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Atas dasar itu, ada yang menilai infotainment bukan produk jurnalistik,” sebut Ayi.

Ketua PPWI Kota Lhokseumawe, Desriadi Hidayat, menyebutkan kajian jurnalistik yang digelar Sekolah Jurnalistik PPWI mengambil tema tentang ghibah, karya jurnalistik, dan keterbukaan informasi publik. “Ketiganya bersentuhan dengan publik dan wartawan perlu tahu di wilayah mana mereka bekerja,” ujar Hidayat. [Kurniawati]     


Kirim Komentar