Tari Piring dan Semangat Pengabdian Seniman Muda

SHARE:  

Humas Unimal
Mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Minang (Imami) Universitas Malikussaleh memperlihatkan atraksi di panggung Seni Etnografis dalam rangkai Dies Natalis ke-53 Universitas Malikussaleh di Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Kamis (9/6/2022). Foto: Bustami Ibrahim.

EMPAT penari perempuan berpakaian serba hitam memasuki panggung dalam formasi seimbang seperti ingin memanfaatkan lebar panggung. Tangan mereka menggenggam piring berwarna putih yang kontras dengan warna baju yang serba hitam. Di tangan para penari perempuan itu, piring-piring seolah sudah dipakai perekat kuat sehingga ketika mereka menari-nari dengan berbagai gerakan, piring itu masih tetap berada di sana.

Lalu dua penari lelaki melompat ke atas ke panggung. Ketika empat penari perempuan berhenti melakukan gerakan serentak di belakang, dua penari lelaki itu pun mulai bertarung. Bagian ini menyebabkan perhatian penonton hanya terfokus pada pertarungan dua lelaki yang juga berpakaian serba hitam.

Mereka memperagakan silat tuo atau tua dalam bahasa Minang. Keduanya bertarung dengan tangan kosong, melakukan koprol di atas panggung kayu sehingga menimbulkan suara keras di antara suara musik dan seruling khas Minangkabau. Para penonton yang terdiri dari mahasiswa Universitas Malikussaleh, bertepuk tangan dan berseru keras.

Setelah pertarungan selesai, kedua pesilat tersebut saling bersalaman dengan khas. Kemudian seorang di antara mereka membuka baju. Pertunjukan seru baru saja dimulai. Penari yang bertelanjang dada itu pun mulai menari dengan obor di tangan. Dari mulutnya kemudian menyemburkan api panjang yang nyaris menyentuh atas panggung dari kain. Penonton pun menjerit histeris.

Adegan menegangkan itu, sayangnya, tidak bisa terulang. Api di ujung obor padam karena angin berembus kencang. Tapi ketegangan belum berhenti. Keempat penari perempuan di belakang, mulai melakukan gerakan ritmis. Semakin cepat suara musik, semakin cepat gerakan mereka sampai kemudian piring di tangan mereka sengaja dipecahkan menjadi serpihan kaca yang berserakan di atas panggung.

Di atas tumpukan kaca itulah, penari yang bertelanjang dada berguling-guling. Dia melompat-loompat di atas serpihan piring. Tak sampai di sana, dia mengambil serpihan kaca dan meraupkan di wajahnya yang ganteng, seolah itu adalah skin care yang akan membuat wajahnya lebih glowing. Dan penonton kembali histeris serta bertepuk tangan. Mereka memberikan standing ovation.  

***

***

Tari Piring itu merupakan salah satu aktraksi panggung dalam perayaan Dies Natalis ke-53 Universitas Malikussaleh yang berlangsung selama 6-12 Juni 2022 di Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe.  Atraksi tari piring termasuk salah satu yang memukau penonton, selain beberapa tari lain seperti saman yang terkenal itu.

 

Mereka terlihat seperti penari yang sedang tampil dalam even profesional dibandingkan dengan mahasiswa yang sedang merayakan ulang tahun kampusnya. Tapi, sebagai penari, mereka memang sudah sangat berpengalaman. Lelaki yang main-main dengan api dan pecahan kaca itu, misalnya, sudah menekuni tari sejak sekolah dasar.

“Saya sudah bergabung dengan sanggar sejak SD. Keluarga juga sangat mendukung,” ungkap Farhan Fachrezi Ramadhan, Jumat, 10 Juni 2022, ketika diwawancarai bersama sejumlah temannya sesama penari dan anggota Ikatan Mahasiswa Minang (Imami) Universitas Malikussaleh. Mereka adalah Ketua Imami Universitas Malikussaleh, Sultan Abyan (Teknik Mesin), Cindia Ramadhan (Teknik Material), Jefri Ayanda (Teknik Mesin), dan Korisma Ardela (Ekonomi Pembangunan).  

Bersama mahasiswa asal Sumatera Barat yang tergabung dalam Sanggar Imami, mereka latihan rutin di taman Kampus Bukit Indah setiap dua kali sepekan. “Tapi menjelang tampil, kami latihan dengan keras selama empat hari,” tambah Cindia Ramadhan  yang sejak 2019 menjadi pelatih tari di Imami Universitas Malikussaleh.

Membawakan tari yang berbahaya sudah biasa bagi Farhan. Ia mengaku tidak memiliki kekuatan magis agar tahan berguling di pecahan piring dan meraup tubuhnya dengan api.  “Kunci hanya latihan dan keyakinan saja. Harus yakin bisa, kalau tidak yakin, pasti ada saja yang terluka,” kata mahasiswa Fakultas Hukum itu seraya menunjukkan luka lecet di wajahnya yang ia dapatkan dalam pementasan sebelumnya.

Farhan mengaku baru pertama kali tampil di acara Kampus. Namun, sebelumnya mereka juga diundang ke pesta pernikahan warga Minang di Lhokseumawe. Meski tidak mendapatkan bayaran memadai untuk tampil, mereka tetap latihan rutin.

“Ini bukti cinta kami kepada seni dan budaya lokal. Budaya leluhur harus dilestarikan. Zaman boleh berubah, tetapi budaya jangan ditinggalkan,” ujar Farhan berfilosofis.

Ketua Imami Universitas Malikussaleh, Sultan Abyan, mengharapkan kampus dan masyarakat luas memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan bakat menari. “Kami siap tampil dalam berbagai even, baik di Aceh, di tingkat nasional, bahkan internasional,” katanya penuh percaya diri.

Di Imami setidaknya ada 36 anggota tetap sanggar dan akan terus bertambah seiring dengan masuknya mahasiswa baru. Mereka berharap, Rektorat pun ikut mendukung kreativitas mahasiswa dengan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan dan membeli seragam penari dari berbagai daerah.

Pembina Imami Universitas Malikussaleh, Riyandhi Praza, mendukung kegiatan kesenian mahasiswa baik di dalam maupun luar kampus. Dia mengharapkan mahasiswa bisa bersinergi dengan komunitas lain dalam berkesenian. “Dengan kegiatan seni, mahasiswa juga ikut mengharumkan nama kampus di samping misi luhur melestarikan budaya nusantara di tengah gempuran budaya asing,” ujar dosen Administrasi Bisnis tersebut. [Ayi Jufridar]

Baca juga: Meriahkan Dies Natalis Unimal Ke-53, Ratusan Peserta Jalan Kaki Hingga 6 Km

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar