TUJUH penabuh rapai langsung mengambil posisi duduk di atas karpet merah ketika Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, baru saja memasuki halaman Gedung ACC Universitas Malikussaleh, Uteunkot, Lhokseumawe, April 2022 lalu. Didampingi Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Dr Herman Fithra Asean Eng, dan sejumlah tamu lainnya, Ganjar disambut tabuhan rapai geurimpheng para seniman muda dari Sanggar Cut Meutia Meuligo Aceh Utara.
Sambil menyaksikan tabuhan rapai, Herman Fithra terlihat membisikkan sesuatu di telinga Ganjar yang terlihat mengangguk-angguk. Mudah ditebak, dengan gesture yang menunjukkan para penabuh rapai di hadapan mereka, Herman sedang menjelaskan makna penyambutan dengan tabuhan rapai berukuran kecil tersebut.
Tak lama kemudian, tabuhan rapai itu diiringi dengan seureunee kalee, alat musik tiup tradisional Aceh. Tabuhan rapai yang begitu ritmis terdengar menjadi satu kesatuan yang harmonis, saling meningkahi dan saling susul-menyusul. Semua orang tampak larut dalam irama yang memenuhi ruang dengan kecepatan sedang. Tabuhan rapai yang berukuran kecil itu sesekali disambut dengan tabuhan dua rapai berukuran besar yang duduk di kursi di antara peniup seureunee kalee.
Lalu terdengarlah salam atau syair pembuka dalam bahasa Aceh. Dimulai dengan pujian kepada Allah dan salawat kepada Nabi Muhammad. Kemudian syair mengucapkan selamat datang kepada Ganjar Pranowo. Kembali Rektor Universitas Malikussaleh membisikkan sesuatu.
Tabuhan rapai dan syair tidak berlangsung lama. Ringkas tetapi penuh pesan. Sekitar empat menit kemudian, para penabuh rapai di atas karpet merah di bergerak memberi ruang kepada rombongan. Ketika Ganjar dan rombongan sudah masuk ke dalam, suara rapai masih terus terdengar. Langkah-langkah para tamu diiringi dengan tabuhan rapai dan berhenti ketika rombongan sudah berada di dekat panggung.
Adegan serupa itu sering terjadi berbagai tempat. Tamu yang datang disambut dengan tabuhan rapai dan syair, dengan isi syair yang disesuaikan.
“Sambutan dengan rapai merupakan bentuk penghormatan kepada tamu. Durasinya ringkas, paling maksimal tujuh menit,” ujar Uyoeng Wallad, seniman musik tradisional Aceh, Sabtu (2/7/2022).
Menurutnya, tabuhan rapai menjadi semacam ucapan selamat datang bagi tamu yang dilengkapi dengan syair. Jadi, para seniman sudah mendapatkan informasi sebelumnya tentang tamu dan kegiatan bersangkutan. “Isi syairnya memang nyambung dengan kegiatan,” tambah Uyoeng yang juga Koordinator di Sanggar Cut Meutia Meuligo Aceh Utara.
Tabuhan rapai, lanjut Uyoeng, tidak sekadar sebuah kegiatan kesenian. Zaman perang dulu rapai juga digunakan sebagai bagian dari strategi. Irama gendang itu juga memiliki sandi tertentu, seperti asap bagi orang Indian. Isyarat itu akan ditangkap oleh sesama pejuang yang ada di daerah lain.
Ada pepatah yang menyebutkan, nyoe ka jimeusue rapai uroh, lageum dipiyoh dijmeusue bude (kalau rapai uroh sudah berbunyi, pertanda rentetan senjata akan berhenti.
“Rapai juga menjadi kegiatan mensyiarkan nilai-nilai Islam, terutama rapai yang menggunakan syair,” tambah Uyoeng yang juga mahir memainkan musik modern.
Sebagai sebuah kesenian, rapai dikenal hampir di seluruh wilayah Aceh dengan jenis berbeda. Khusus di Aceh Utara, dikenal dengan Rapai Pase. Rapai ini menggunakan gendang besar dan dipukul sambil berdiri. Selain Rapai Pase yang berkembang di Aceh Utara dan Rapai Uroh di sekitar Bireuen, juga ada Rapai Likok, Rapai Geleng, Rapai Tuwek, dan Rapai Pulot. Masing-masing jenis rapai itu memiliki karakter berbeda, kendati tentu saja, semuanya menggunakan gendang sebagai alat utamanya.
Uyoeng berharap Pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap masa depan rapai sebagai salah satu alat musik tradisional Aceh. Generasi muda perlu dikenali dan mahir memainkan rapai. Grup rapai yang terdapat di berbagai daerah harus mendapatkan bantuan untuk peremajaan alat dan mendapatkan kesempatan tampil di berbagai kegiatan.
“Bukan alat rapai yang butuh peremajaan, tapi juga seragam senimannya,” tambah seniman yang sering menjadi juri dalam berbagai perlombaan musik tersebut.
Harapan Uyoeng harusnya menjadi harapan semua. Sesuai pepatah Aceh zaman dulu; peunajoh timphan, piyasan rapai (penganan itu timphan, hiburan itu rapai). Pemuliaan tamu dengan tabuhan rapai adalah seni tradisi yang akan terus ada kalau semua elemen peduli pada kelestariannya.[Ayi Jufridar]
Sumber: KabarTamiang.com