Teuku Kemal Fasya
Bulan Juni lalu, Universitas Malikussaleh melakukan kegiatan Dies Natalis ke-53. Salah satunya aksi bersih pantai. Pantai yang dipilih adalah Ujong Blang, Lhokseumawe, salah satu destinasi wisata pantai paling diminati pengunjung, dari Lhokseumawe, Aceh Utara, Bireuen, hingga Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Aksi itu bermuara sebagai kampanye lingkungan, karena problem degradasi ekologis Aceh semakin menjadi-jadi. Pada saat itu terkumpul sampah hampir 200 kg, di antaranya sampah tempurung kelapa, jaring bekas, kantong plastik, pipet, botol minuman hingga pampers. 25 kantong plastik besar berhasil menggusur sampah dari tepi pantai ke Alue Lim, tempat pembuangan akhir (TPA).
Beberapa hari kemudian, sebagai dosen pengampu MK Antropologi Ekologi, saya memberikan tugas kelompok sebagai final untuk menganalisis beberapa kasus terdekat melalui observasi dan wawancara. Salah satunya melihat problem sampah di pantai Ujongblang.
Kesimpulannya, hanya dalam satu minggu sejak aksi bersih pantai, mahasiswa “memotret" sampah kembali berkelabang di tiap sudut pantai. Artinya, gerakan bersih pantai selalu terhempas oleh aksi menista pantai, baik oleh pengunjung atau pemilik café yang tidak mau mengelola sampah dan memilih melarungkan ke laut.
Pada kasus lain, saya menugaskan kasus penebangan pohon kota. Kasusnya adalah penebangan pohon kota di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe. Dari survei lapangan ditemukan fakta bahwa penebangan 6-7 pohon itu dilakukan untuk mengubah konstruksi depan lapangan agar semakin asri. Sayangnya pilihan membabat “kanopi hijau” itu semakin tidak asri dan membarakan Lhokseumawe yang memang sudah panas.
Melukai lingkungan
Kiranya model pengembangan wilayah kota-kota di Aceh sedang tren dengan melukai lingkungan. Kasus penebangan pohon kota sedang massif terjadi di setiap sudut Nanggroe. Beberapa pohon ikonik pelan-pelan menghilang dari pandangan.
Proyek pelebaran jalan dan pembangunan infrastruktur dengan mudah menebas pohon-pohon pelindung kota seperti angsana (Pterocarpus indicus), mahoni (Swietenia mahagoni), beringin (Ficus benjamina), dan asam jawa (Tamarindus indica). Termasuk pohon “salah lokasi”, proyek masa SBY, yaitu trembesi (Samanea saman). Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe termasuk menghabisi semua pohon trembesi yang mereka tanam belasan tahun lalu.
Lhokseumawe termasuk kota yang banyak kehilangan pohon kota. Demikian pula beberapa “kota kecil” yang diklasifikan sebagai wilayah urban atau kota satelit seperti Trienggadeng, Beureunuen, Geurugok, Jantho, Montasik, dan Lampeunerut semakin gersang dan mengancam kesehatan warga karena kurangnya biosfer penyuplai oksigen.
Padahal menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan syarat perencanaan ruang dan wilayah kota sehat harus menyediakan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH), dan 20 persennya merupakan RTH publik. Artinya jangkar tanggung jawab ada pada pemerintah kota/Muspika. Jika tidak, mereka dianggap sebagai pelanggar lingkungan.
Sebanding dengan penataan RTH kota, perencanaan pengelolaan wilayah hutan di beberapa daerah di Aceh terlihat amburadul. Tren balkanisasi lingkungan di Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Aceh Besar, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues semakin membuhul.
Menurut Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan (HAkA) Aceh, dalam kurun Juni 2020 – Juli 2021 saja, Aceh telah kehilangan 19.443 hektar tutupan hutan dan 251 ribu hektar berada dalam keadaan rusak atau kritis. Padahal kemampuan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Aceh merehabilitasi hanya 1.000 hektar per tahun. Secara matematis, perlu 250 tahun untuk memperbaiki kerusakan. Tak heran, ketika banjir musiman datang, penyangga DAS-nya telah kandas sejak hulu.
Industri jahat
Hal lain yang membuat lingkungan di Aceh semakin kritis adalah tata kelola lingkungan dan perhutanan yang tidak dilakukan secara bermartabat. Etika dan legal-proseduralnya hilang entah kemana.
Beberapa izin pengelolaan lahan seperti izin Hak Guna Usaha (HGU), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Area Penggunaan Lain (APL) termasuk di dalamnya perkebunan sawit dijalankan dengan menubruk prinsip dan proseduralisme yang dipersyaratkan model perencanaan perkebunan berkelanjutan.
Salah satunya adalah perusahaan sawit di Aceh Utara, satu pun belum memiliki sertifikat ISPO/Indonesia Sustainable Palm Oil (Serambinews.com, 2 Juli 2019). Padahal ISPO adalah regulasi “akal-akalan” ketika Indonesia sulit mengikuti standar pengembangan sawit global, yaitu Rountable on Sustainable Palm Oil/RSPO.
Tanaman sawit sendiri menjadi anomali. Tumbuhan impor dari Afrika itu digadang-gadang menjadi lumbung kesejahteraan sosial dan pemasukan devisa negara paling penting. Kenyataannya tidak demikian. Hasil riset antropolog Tania Muray Li dan Pujo Semedi, Plantation Life : Corporate Occupation in Indonesia's Oil Palm Zone (2021) menunjukkan ruang kontradiktif dan burik dari industri sawit.
Ketika perkebunan sawit masuk ke daerah ke Nusantara, sejak awal telah tumbuh kartel, baik yang dikuasai oleh negara maupun swasta. Klaim-klaim kesejahteraan yang dikampanyekan tidak empirikal terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar. Alih-alih sejahtera, yang terjadi malah “pendudukan korporasi” (corporate uccupation), mereplikasi gaya kolonial Belanda ketika membawa empat biji sawit (Elaeis guineensis) itu ke Kebun Raya Bogor pada 1848 itu. Tanaman ini menjadi Giganotosaurus yang memorak-porandakan hutan Indonesia 130 tahun kemudian bak Isla Nublar.
Tesis itu kini terpermadanikan secara kontras. Mahalnya harga jual tinggi dan kelangkaan minyak goreng – yang secara terburu-buru dikatakan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, bukan karena mafia, ternyata tidak terfalsifikasi. Buktinya petani sawit tidak sejahtera oleh tingginya harga jual minyak goreng, meskipun larangan ekspor CPO dicabut. Bahkan semakin aneh, tandan buah segar (TBS) semakin merosot ketika harga jual minyak goreng tetap meninggi (Serambinews.com, 31 Mei 2022).
Maka, yang berjaya dari selubung sejarah perkebunan sawit Indonesia adalah “kaum imperial” yang menguasai pasar. Adapun petani sawit adalah kurcaci yang tetap terpuruk, miskin, kurang pendidikan, dan berutang.
Akibat dari buruknya tata kelola perkebunan sawit ini juga menabrak sisi paling vital dari benteng lingkungan, yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS). Banjir langganan selama ini vouchernya berada di hulu DAS yang telah hancur oleh illegal logging, izin “penebangan legal”, borjuasi konsesi lahan termasuk penelantaran, hingga sawitisasi.
Menurut tim ahli Perencana Pengelolaan Terpadu DAS Aceh, Dr. Ir. Halim Akbar, ada sekitar 20 DAS Aceh rusak parah seperti Keureuto, Jambo Aye, Peusangan, Singkil, dan Meureubo yang terjadi akibat kumulasi masalah di atas. Sayangnya pemerintah tak kunjung berkoordinasi cepat dan tepat menyelesaikannya. Gulungannya berupa banjir dan kekeringan yang melipatgandakan kemiskinan Acehm terutama petani.
Masalah itu kini harus dipanggul di pundak Pj Gubernur Aceh, Letjen (Purn) Achmad Marzuki, di samping masalah lainnya yang menggunung. Pelantikan 6 Juli lalu itu adalah titik awal untuk mengemban amanat, di samping masalah lainnya seperti kemerosotan pendidikan, stunting dan gizi buruk, kemiskinan, pengangguran, dan “banjirnya” dana Otsus Aceh kemana-mana.
Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh. Tahun lalu melakukan riset tentang krisis lingkungan dan dampak sawitisasi di Aceh.
Dimuat pertama sekali di Serambi Indonesia, 10 Agustus 2022