Debat Pilkada yang Mencerdaskan dan Bermartabat

SHARE:  

Humas Unimal
Foto : Teuku Kemal Fasya

Teuku Kemal Fasya

Pilkada Serentak yang akan berlangsung 27 November 2024 mendatang dan diikuti 454 daerah pemilihan, yaitu 37 Provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kabupaten kota telah berlangsung tahapannya hingga kampanye.

Pilkada Serentak yang dijalankan berdasarkan UU No. 10 tahun 2016 untuk tingkat nasional dan Qanun Aceh No 7 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di Aceh telah melalui proses kampanye dialogis yang diformat dengan model Debat Kandidat Calon Kepala Daerah.

Memang terasa hambar, karena para cara debat, para panelis yang terlibat tidak memberikan pertanyaan langsung kepada para peserta Debat, dan itu telah berlangsung sejak 2017 dan hanya dimediasi oleh moderator. Tentu saja moderator adalah pihak lain (the other) yang tidak bisa mewakili retorika, aksentuasi, dan bahkan bunga-bunga kata yang ingin disampaikan langsung oleh panelis.

Menganggap model ini lebih baik bagi panelis tidak tepat juga, karena para panelis yang dilibatkan dalam debat adalah para konseptor atau pemikir, baik sebagai akademisi atau praktisi profesional yang telah mengerti secara praksis dan empiris atas masalah yang ditanyakan. Di sini terlihat bahwa panelis adalah tokoh publik yang siap mempertanggungjawabkan apa yang disampaikan kepada calon kepala daerah.

 

Melanjutkan tradisi demokrasi

Model debat ini memang tradisi lama yang telah ada. Dalam sejarah Pemilihan Presiden Amerika Serikat sejak 1960, debat telah disiarkan oleh televisi dan radio. Pada Pemilu yang saat itu dimenangkan popular vote oleh wakil presiden petahana Richard Nixon yang menjadi calon presiden dari Partai Republik pada 1960. Ia mengalahkan senator dari Massachusetts, John F. Kennedy dari Partai Demokrat dengan perbandingan suara 53,28% berbanding 46,72%. Namun, untuk electoral college, John F. Kennedy yang terpilih menjadi Presiden AS ke 44, sekaligus juga terpendek masa pengabdiannya karena terbunuh pada 22 November 1963 atau hanya 1.000 hari. Pada debat saat itu penampilan Kennedy lebih memukau dibandingkan Nixon.

Namun yang terlihat dari debat, terutama sejak 1960 di AS itu adalah debat memang dijadikan sebagai upaya untuk menarik perhatian masa yang belum menentukan pilihannya (undecided voters). Bagi pendukung partai atau kaum ideologis, tentu mereka sudah ada pilihannya, dan tak akan terpengaruh lagi pada hasil debat.

Untuk Debat Pemilihan Presiden AS 2024, Kamala Harris dari Partai Demokrat sempat mencoba menggunakan isu kemerdekaan Palestina untuk menarik simpati pemilih imigran dan kaum Demokrat untuk mengalahkan Donald Trump yang cenderung akan menggunakan pendekatan lebih keras lagi kepada Hamas kalau dia terpilih. Akhirnya sentimen itu dimenangkan oleh Trump, yang menurut Steven Levitsky, sebagai presiden terburuk dalam sejarah AS karena telah memurukkan nilai-nilai demokrasi dan HAM.

 

Bagaimana Debat Kandidat di Aceh?

Debat kandidat Pilgub Aceh telah berlangsung dua kali, dan mungkin sebagian besar ekspektasi atas debat yang bermutu tidak terjadi. Problem terlihat pada kesiapan kandidat dalam menjawab pertanyaan panelis yang lemah. Sehingga muncul pertanyaan, apakah debat yang bermutu akan dihasilkan oleh oleh panelis yang bermutu? Ternyata juga tida. Karena peserta debat tidak siap dengan pertanyaan dan tidak menjawab dengan penuh ketenangan dalam mengupas masalah secara terstruktur dan sistematis. Harapan publik (the audience) kepada tontonan (the spectacle) yang menghibur nalar malah jauh dari panggang.

Bahkan pada Debat kedua ada permasalahan etik karena soal-soal yang dipersiapkan telah bocor karena para calon sudah mempersiapkan jawaban tertulis. Tentu ini menjadi pertanyaan, apakah Panelis yang telah membocorkan soal kepada peserta atau ada pihak lain? Jika Panelis membocorkan ke peserta tentu menjadi pertanyaan besar tentang integritas, karena Debat ini sendiri juga pertaruhan atas gagasan yang dimiliki oleh calon kepala daerah itu untuk menjawab pertanyaan empris yang jauh lebih kompleks ketika nanti berkuasa.

 

Akibat ketidaksiapan menghadapi debat, cara paling mudah untuk menaikkan tensi tontonan tentu dengan gimmick dan pilihan bahasa peukabeh (meremehkan) dengan menyerang pihak lawan dengan komentar-komentar yang merendahkan dibandingkan berduel secara gagasan. Jika memakai perspektif Tan Malaka, seorang pemimpin itu adalah pemikir yang harus mampu mengangkat masalah pada perspektif “materialisme” dibandingkan metafisika, mengiris argumentasi dengan ketajaman dialektika, dan mempertahankan kekokohan logika dibandingkan memamerkan emosionalitas.

Demikian pula untuk Debat satu kandidat, seperti Aceh Utara, tidak terlihat sebagai sebuah tontonan menarik. Aura ruang debat terasa hening karena memang tidak ada lawan dialog yang bisa memanaskan logika dan perspektif, sehingga sama sekali tidak ada hal yang bisa digali dari model serangan Q&A. ditambah lagi soal yang tampaknya juga sudah bocor karena calon tunggal membawa berlembar-lembar jawaban tertulis yang dicocokkan dengan pertanyaan yang ada di fishbowl.

Mungkin kegaringan itu juga terasa di 36 Daerah Pemilihan lainnya yang diisi calon tunggal. Calon tunggal sebenarnya bukan saja membuat suasana Debat seperti proses laporan administrasi anggaran semata tanpa ruh, tapi juga menunjukkan demokrasi elektoral sudah mati karena karena ketiadaan kontestasi. Kematian demokrasi melalui calon tunggal telah terlihat melalui siasat membangun oligarki, politik dinasti, autokrasi, dan politik uang langsung kepada pemilik partai, alih-alih kepada pemilik suara. Jika dibiarkan, penyakit ini akan membuat Pilkada Serentak tidak memiliki makna.

Mengharapkan kotak kosong menang melawan calon tunggal, sama seperti harapan pungguk merindukan bulan, harapan yang tidak berbalas dan bertuan. Warga yang tidak memilih pada Pilkada calon tunggal, bukan massa yang ideologis. Bahkan massa ideologis yang menyuarakan Golput pada Pemilu era Orde Baru tidak berjumlah besar, hanya 2 persen kelompok aktivis prodemokrasi, mahasiswa, dan kaum terdidik yang berkelas dan tidak mau tunduk pada skema ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) Soeharto. Sedangkan saat ini pemilik suara akan cenderung tidak hadir di kotak suara dan menikmati liburan, dibandingkan pergi ke TPS untuk mencoblos surat suara kosong sebagai pembangkangan kepada calon tunggal.

 

Perbaiki sisa permainan

Hal yang perlu dilakukan, terutama pada Debat Pilgub Aceh pada sesi ketiga adalah memperbaiki mekanisme dan  mentalitas Debat, dan integritas panelis Debat. KIP sebagai penyelenggara harus memastikan ada debat yang lebih bermutu pada sesi terakhir. Memang seperti genealogi debat, seperti Debat Capres AS, hanya akan menyisir suara mengambang yang tersisa yang belum menentukan pilihannya. Jumlahnya juga tidak besar, hanya sekitar 7-12 persen suara pemilih.

Bahkan jika melihat kembali kualitas Debat Calon Presiden AS, Trump yang berkali-kali masuk jebakan Kamala Harris dengan memberikan komentar yang tidak masuk akal dan tidak memiliki referensi dan fakta, malah menjadi pemenang karena berhasil memanfaatkan emosi atas kegagalan Biden memperbaiki situasi ekonomi secara umum.

Emosi penonton pula lah yang dimenangkan Prabowo dalam serial Debat Calon Presiden lalu, ketika dia menjadi “sosok yang paling dianiaya” oleh calon presiden lain, terutama ketika kinerja kementeriannya diberi nilai 11 dari 100 poin oleh Anies Baswedan dan nilai raport merah oleh Ganjar Pranowo. Muka sedih Prabowo yang kemudian di-repost di Tiktok dan IG, menjadi kekuatan bagi pemilihnya. Hal biasa, pemilih Indonesia bersikap melodramatik untuk orang yang dianiaya atau dikorbankan.

Debat Pilgub Aceh ketiga menjadi pertaruhan terakhir. Jika tidak jua menunjukkan kualitas, berarti kita memang seperti menunggu takdir. Untuk kembali diulang lima tahun ke depan dengan perasaan getir.

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Politik Universitas Malikussaleh.

Tulisan ini telah dimuat pertama kali di dialeksis.com, 9 November 2024.

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar