Mati-matian Selamatkan Keragaman Hayati Aceh

SHARE:  

Humas Unimal

Teuku Kemal Fasya

Entah ini menjadi penanda baik atau buruk, tapi kejadian ini menjadi pengalaman yang memiliki kesan mendalam (moment of truth) bagi penulis terhadap masa depan lingkungan lestari di Aceh.

Pada 15 Oktober 2024, Pemkab Aceh Utara, bekerjasama dengan Bappenas, dan USAID Segar (Sustainable Enviromental Governance Across  Regions) melaksanakan konsultasi publik terkait profil keragaman hayati (Kahati) Aceh Utara.

Proyek ini sendiri merupakan turunan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No. 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Kahati Daerah. Profil ini mencakup keadaan umum, kebijakan dan kelembagaan, kawasan hutan lindung dan budidaya, serta data keragaman hayati.

Sayangnya kegiatan itu tidak dihadiri oleh Pj Bupati Aceh Utara. Beberapa pejabat penting rupanya mengubah rute kegiatan, dari peresmian bendungan/waduk Keureto yang rencana awal digunting pita secara langsung oleh Presiden Joko Widodo di Aceh Utara, menjadi kegiatan yang dipusatkan di Banda Aceh saja. Tidak ada narasi lagi tentang peresmian Waduk Keureto.

Waduk Krueng Keureto, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara disebut terbesar di Sumatera itu akan menjadi penangkal banjir regional, ternyata belum selesai. Malah Aceh Utara sedang dilanda banjir akibat Krueng Keureto meluap. Tak mungkin Presiden hadir melihat ironi dan kontradiksi itu!

 

Tekanan pembangunan

Proyek Kahati ini memang menjadi bagian agenda pembangunan Indonesia jangka panjang. Dalam kacamata Bappenas dan USAID yang menginisiasi program ini, keragaman hayati (biodiversity) jelas akan terus mengalami tekanan, terutama  model proyek pembangunan infrastruktur skala besar.

Indonesia mungkin mencatat Presiden Jokowi sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia, melanjutkan penabalan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Namun proyek pembangunan yang berbasis kepada rancang-bangun teknokratis ini jelas telah memberikan derita pada lingkungan.

Upaya Soeharto untuk menjadikan sawit sebagai penguat ekonomi nasional melalui sektor perkebunan telah menyebabkan sengkarut masalah turunan yang dirasakan hingga kini. Mulai perusakan hutan lindung dan hutan adat, peminggiran masyarakat asli dan lokal, kartel mafia pengontrol harga, manipulasi data perdagangan, hingga penggelapan pajak. Menurut Transparency International Indonesia (TII), setiap tahun rata-rata pendapatan negara hilang Rp22,83 triliun akibat upaya penghindaran pajak perusahaan-perusahaan sawit (Kompas.id, 12/1/2022). Uang-uang ini sebagian masuk ke perguruan tinggi melalui pendanaan penelitian rendah output ilmiah, yang gunanya tak lain membangun asumsi sawit itu penting bagi pembangunan ekonomi dan tidak menganggu lingkungan.

Hal itu termasuk keluarnya kajian mendukung regulasi pemerintah terkait sawit (Inpres No.8 tahun 2018) tentang Rencana Aksi Nasional kelapa sawit berkelanjutan (RAN-KSSB) tahun 2019-2024. Nyatanya, banyak kepalsuan yang berselemak-peyak, termasuk ancaman bagi keragaman hayati, bencana banjir, kekeringan, degradasi lahan pasca-HGU, dan peningkatan kemiskinan. Uni Eropa sendiri telah memiliki kajian relatif paten bahwa industri sawit termasuk high risk (bahan yang tidak berkelanjutan) karenanya mereka memberlakuan EUDR (The European Union Deforestation-free Regulation) yang menganggap bahwa perusahaan kelapa sawit termasuk yang mengancam perusakan hutan (Bustanul Arifin, Kompas.id, 25/6/2024).

 

Mengumpulkan “surga” tersisa

Pekerjaan Profil Kahati Aceh Utara dan hanya satu-satunya diinisasi untuk Provinsi Aceh ini bisa menjadi oase dan menular sebagai proyek pro-forestasi dan konservasi. Dari laporan terlihat bahwa dasar pikir menjadikan Aceh Utara sebagai pilot project karena kabupaten ini menjadi salah satu wilayah yang memiliki keragaman hayati tinggi, tapi juga memiliki ecological hazard yang juga tinggi, terutama dari dampak pasca-konflik.

Kelebihannya, dokumen ini bisa menjadi dokumen legal, yang berbeda dengan data-data penelitian selama ini ada. Kompilasi data bisa menjadi “tameng statistik” yang digunakan oleh pemangku kepentingan Aceh ke depan untuk memperlakukan keragaman hayati, sekaligus tindakan kuratif memperbaiki “surga” yang pernah ada dan kini mulai hilang.

Salah satu yang coba ditelusuri dari dokumen keragaman hayati ini adalah endapan sejarah yang menjadi kerangka peradaban masa lalu. Bekas Kerajaan Samudera Pasai ini sejak dulu telah menjadi jalur rempah yang ramai, sekaligus eksportir untuk bahan baku alam yang berlimpah.

Melalui catatan Marcopolo disebutkan bahwa daerah ini menjadi zona biosfer yang rapat. Sejak masa itu perdagangan kulit, cula, taring, dan gading hewan seperti badak (disebut unicorn), harimau, gajah, hingga penyu dilakukan karena jumlahnya tidak langka. Perdagangan itu dilakukan hingga ke Cina saat Dinasti Yuan. Ekspor benda olahan dari “hewan-hewan unik” tersebut menjadi perbincangan global, seperti juga rempah-rempah bernilai tinggi seperti cengkeh, kembang lawang, lada, merica, kayu manis, dll.

Endapan masa lalu itu pintalannya masih ditemukan hingga saat ini. Misalnya daerah peneluran penyu (nesting site) dan pencarian makan (feeding area) masih ada, meskipun semakin terganggu. Sikap predatoris masyarakat pesisir yang tak memperhatikan nasib penyu salah satu sebabnya. Namun, dari tujuh spesies penyu di dunia, dua spesies yaitu Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) masih melakukan kegiatan peneluran di Pantai Bungkah, Pantai Blukat Tebai, Pantai Matang Baroh, dan Pantai Ulee Rubek (Seminar Nasional Penelitian Perikanan dan Kelautan, 2021). Salah seorang sahabat penulis, Dr. Zulpikar (alm) melakukan kegiatan ini secara serius sepanjang hidupnya. Pekerjaan riset konservasi ekosistem akuatik memberikan kesimpulan bahwa alam lestari Aceh masih cerah jika dipreservasi dengan kebijakan yang nyata.

Demikian pula, keragaman hayati Aceh ini juga berhubungan dengan pengetahuan lokal dan kelembagaan adat. Sejak era pascaperdamaian Aceh, beberapa khazanah kebudayaan dan adat Aceh coba direvitalisasi, tapi terlihat masih seperti kerakap tumbuh di atas batu, hidup segan mati tak mau.

Qanun No. 8 tahun 2010 tentang lembaga adat menunjukkan sinyal bahwa pengelolaan lingkungan Aceh tetap bisa dijaga. Keberadaan lembaga adat seperti panglima laot, peutua seunebok, pawang glee/uteun, dan keujruen blang berhubungan pengelolaan hasil hutan dan laut. Kelembagaan adat itu bisa memberikan ancaman dan sanksi kepada pelaku kegiatan eksploitasi berlebihan. Namun, peran LSM pro-lingkungan lebih memberikan kesan advokasi, dibandingkan keberadaan lembaga adat itu. Artinya eksistensi kelembagaan adat itu masih kalah dengan kuasa perusahaan perkebunan dan industri kehutanan, kalah pamor dan pamer.

Pesan ini menjadi penting, karena sebentar lagi Aceh ikut menyelenggarakan Pilkada serentak 2024. Dari yang kita dengar, tak ada satu pun kandidat yang maju di Pilkada berbicara tentang penyelamatan ekosistem Aceh dan proyek pembangunan hijau. Tak ada satu diksi pun terucap di mulut kandidat untuk berdiri di garda terdepan menjaga tanoh indatu: hak-hak masyarakat pinggiran dan hutan adat.

Meskipun harapan tinggal seurat, sebagai masyarakat sipil kita tetap perlu menyuarakan perlindungan lingkungan hayati, dan mati-matian menjaga pohon jeumpa, mahoni, keruing, damar, gaharu, laban (bak manee) yang pernah kokoh di hutan-hutan Aceh masa lalu, yang kini mulai terpinggirkan. Menjaga wangi bungong seulanga tetap semerbak. Seperti lirih lirik lagu Iwan Fals yang pentas di Lhokseumawe 5 Oktober lalu. Pada siapa mereka tanyakan hewannya/ ya, pada siapa tanyakan pohonnya/saudaraku di pedalaman menanti/sebuah jawaban yang tersimpan di hati/lewatmu pembeli.

 

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Lingkungan Universitas Malikussaleh.

Artikel ini dimuat pertama kali di Serambi Indonesia, 1 November 2024

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar