Peayon Aneuk yang Membawa Juliarti Fitri Kembali ke Jalur Literasi

SHARE:  

Humas Unimal
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, Juliarti Fitri, ketika mengikuti Peksimida di Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat, 9-11 September 2022. Foto: Ayi Jufridar.

KETIKA dipercayakan menjadi perwakilan Universitas Malikussaleh di ajang Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) ke-XV, Juliarti Fitri pesimis akan menang. Menulis memang salah satu hobinya, tapi itu sudah tidak dilakukannya lagi. Terakhir, ia menulis ketika masih duduk di bangku SMA. Itu pun bukan menulis lakon.

Makanya, gadis yang akrab disapa Ipit itu tidak memasang target muluk. Ia hanya berjanji untuk berusaha sebaik mungkin dalam tangkai lomba penulisan lakon. Ketika dewan juri mengumumkan Juliarti Fitri sebagai pemenang pertama, gadis itu terkejut bukan main.

Perasaannya campur aduk antara kaget, senang, bahagia, juga tidak percaya. Dia sadar, berat mengalahkan perwakilan kampus lain yang sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. “Belakangan saya tahu, peserta lain harus bersaing mengalahkan pesaing dari kampus sendiri untuk bisa tampil di Peksimida. Kemudian, mereka juga mendapatkan pendampingan dari dosen bahkan penulis profesional,” ungkap Ipit ketika dijumpai di Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Kamis (15/9/2022).

Ipit menjadi satu-satunya perwakilan Universitas Malikussaleh (Unimal) yang berhak mewakili Aceh ke ajang nasional di Universitas Brawijaya, Malang, Oktober mendatang. Tangkai lomba lain yang berhasil juara adalah lomba fotografi warna atas nama Muhammad Miswar di posisi kedua, kemudian tari di posisi ketiga, vokal grup juga di posisi ketiga, serta lomba menyanyi dangdut putri atas nama Putri Amelia juga di peringkat ketiga. Panitia hanya memilih juara pertama saja untuk dikirim ke Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas).

“Sebelum ikut lomba, saya bernazar, kalau menang akan kembali serius menekuni dunia tulis-menulis. Saya ingin mendapatkan bimbingan dari para dosen, apalagi setelah tahu ternyata banyak dosen Unimal penulis hebat,” tambah Ipit dengan mata berkaca-kaca.

Wajar saja Ipit begitu meledak dengan kebahagiaan ketika diumumkan menjadi juara pertama. Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi itu belum pernah mengikuti lomba penulisan lakon, bahkan menulis naskah lakon pun belum pernah. Semasa SMP dan SMA di Pariaman, Sumatera Barat, ia pernah aktif bahkan pernah menjadi ketua sanggar bahasa dan sastra, Klub Sahara. Selama di sana, Ipit pernah mengikuti lomba baca dan tulis puisi, monolog, dan menulis cerpen. Karyanya berupa cerpen pernah masuk antologi bersama. Jadi, Ipit sudah akrab dengan dunia literasi sejak lama meski untuk lakon baru berkenalan dan langsung ikut kompetisi.

Sebelum lomba dimulai, Ipit sudah berpikir tema yang diangkat tentang kearifan lokal Aceh. Dewan juri mengumumkan tema sesaat sebelum lomba dimulai, ternyata tentang Aceh di era digital. Namun, Ipit belum tahu akan menulis tentang apa. “Ketika ke toilet, saya mendapatkan ide tentang tradisi masyarakat Aceh dalam peayun aneuk (peuratep aneuk),” ungkap Ipit tersipu ketika mengakui mendapatkan ide di toilet.

Dia menuliskan tentang seorang ibu yang menyaksikan demo mahasiswa memperjuangkan aspirasi masyarakat di televisi. Apa yang disaksikan di tv kemudian diceritakan sang ibu kepada anaknya dalam ayunan.

“Sebenarnya saya ingin menggambarkan bahwa ibu-ibu di Aceh dalam mendidik anaknya sejak dari ayunan, dengan nuasan islami,” tambah Ipit yang belajar budaya Aceh sejak kuliah di Universitas Malikussaleh.

Tradisi peuratep aneuk (meninabobokan anak) sembari memuji kebesaran Allah, membaca salawat, serta doa-doa sangat menginspirasi Ipit. Sebagai orang Minang yang dibesarkan dengan tradisi Islam yang kuat, Ipit mengangkat tradisi itu dari sisi berbeda, tetapi tetap menginspirasi. Kerinduan seorang ibu menunggu kepulangan anaknya, dilukiskan dalam tradisi peuratep. Narasi yang dimunculkan dalam dialog para tokoh menggambarkan keindahan Aceh, sikap toleran masyarakat dalam menerima pendatang, dan kehidupan masyarakat Aceh yang islami.

Disinggung target di Peksiminas, secara diplomatis Ipit menjawab harus berlatih lebih keras lagi. Dia sadar kemampuannya masih terbatas. Ipit mengharapkan adanya dukungan dan doa dari keluarga, dari Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Dr Herman Fithra Asean Eng, seluruh dosen, tenaga kependidikan, serta sahabat semua agar perjalanan menuju Peksiminas bisa . “Saya tidak berani pasang target, lebih baik berusaha semaksimal mungkin,” katanya.

Iya deh, Ipit. Semuanya mendukung dan mendoakan Ipit agar bisa mengharumkan nama Universitas Malikussaleh di tingkat nasional. [Ayi Jufridar]

Baca juga: 


Kirim Komentar