SEBAGAI perokok berat, Erwin sadar bahaya nikotin yang memenuhi paru-parunya. Namun, dirinya yang menjadi pecandu rokok mengaku belum mampu meninggalkan rokok yang selalu menemaninya dalam setiap kesempatan, terutama ketika menghadapi tekanan tenggat (deadline).
Namun, Erwin memiliki tanggung jawab untuk menjaga keluarganya dari paparan asap rokok. Pertimbangan itu membuatnya tidak pernah merokok di rumah. “Bahkan, korek api dan bungkus rokok pun tidak saya perlihatkan di rumah,” ungkap wartawan bertubuh gempal dalam Media Briefing yang digelar Aceh Institute di Lhokseumawe, Jumat (23/9/2022) lalu.
Kesadaran akan bahaya rokok juga diakui para jurnalis lainnya yang menjadi peserta Media Briefing dan sebelumnya focus group discussion (FGD) yang berlangsung di tempat sama. Pada FGD, hadir juga sejumlah wartawan yang rata-rata adalah perokok berat.
Direktur Aceh Institute, Muazzinah Yacob, melihat banyak kondisi positif di tengah kondisi negatif. Positifnya adalah para perokok mengakui bahaya tembakau. “Kedua, mereka mendukung lahirnya qanun kawasan tanpa rokok atau adanya regulasi di Kota Lhokseumawe yang melarang untuk kegiatan merokok, menjual, atau mengiklankannya,” ujar aktivis yang akrab disapa Ina.
Dua kegiatan yang digelar dalam satu hari tersebut memang diarahkan untuk mendorong lahirnya qanun kawasan tanpa rokok di Lhokseumawe. Dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh, masih ada empat daerah yang belum memiliki qanun KTR. Ketiganya adalah Lhokseumawe, Pidie Jaya, Aceh Selatan, dan Aceh Tamiang.
“Makanya, wartawan termasuk pihak yang bisa mendorong lahirnya regulasi KTR meski sebagian besar mereka perokok,” ujar Ina dalam kegiatan yang dipandu dosen Program Studi Antropologi Universitas Malikussaleh, Iromi Ilham.
Dalam FGD yang mengundang sejumlah pihak termasuk Sekda Kota Lhokseumawe, Adnan, hadir antara lain dosen Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, sebagai pemateri. Dalam kesempatan itu, Kemal mengkritisi alasan Pemkot Lhokseumawe yang belum memiliki qanun karena belum ada naskah akademik. “Universitas di Lhokseumawe siap mendukung lahirnya naskah akademik. Pemkot bisa mendorong qanun lebih cepat karena semua pihak mendukung lahirnya KTR di Lhoksuemawe, termasuk para perokok garis keras,” ujar antropolog dari Universitas Malikussaleh tersebut.
Setengah berseloroh, Kemal mengatakan harusnya lahir qanun KTR di Lhokseumawe saat ini lebih cepat karena pejabat wali kota serta sekretaris daerah saat ini bukan seorang perokok.
Kemal juga mengingatkan kehadiran qanun KTR nanti jangan sampai tidak berpengaruh apa-apa sebagaimana mana qanun yang lain yang sudah lebih dulu ada. “Tapi lahirnya qanun KTR harus didukung karena pelajar yang melanggar syariat di Lhokseumawe terbilang tinggi, termasuk yang suka menebang pohon,” kata Kemal.
Sementara dalam Media Briefing, Aceh Institute mengundang Ayi Jufridar sebagai pemateri. Pemred kabartamiang.com yang juga ahli pers Dewan Pers tersebut mengungkapkan kebijakan liputan yang bisa dilakukan media di Aceh untuk mendorong lahirnya qanun KTR di Lhokseumawe.
Selama ini, Ayi menilai isu rokok tidak masuk dalam agenda liputan media di Aceh. Media massa di Aceh masih pasif dalam mengangkat isu tentang pengendalian tembakau. “Kalau tidak ada pihak lain yang mengangkat, beritanya tidak pernah muncul. Padahal, media massa bisa berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang bahaya tembakau,” kata Ayi Jufridar yang juga mengajar jurnalistik di Universitas Malikussaleh.
Muazzinah menyebutkan, kegiatan yang mereka lakukan di Lhokseumawe dan sejumlah daerah lainnya untuk mendorong lahirnya qanun KTR, bukan program Aceh Institute, melainkan program Pemerintah Aceh. “Pasal 115 Undang-Undang Nomor 36/2019 menyebutkan pemerintah daerah yang bertanggung jawab menetapkan KTR di wilayah masing-masing,” tegasnya.[]
Sumber: KabarTamiang.com