Nusantara Retak dalam Dramatisasi Puisi “Jembatan”: Festival Sastra 2023

SHARE:  

Humas Unimal
Dramatisasi pusi "Jembatan" karta Sutardji Calzoum Bachri yang ditampilkan dalam Festival Sastra 2023 di Aula Kampus ACC, Uteunkot, Lhokseumawe, medio Juni lalu. Foto: Ayi Jufridar.

EMPAT perempuan berpakaian serba hitam mengurung seorang lelaki yang berpakaian serba putih. Keempat perempuan saling berpegangan erat laksana rantai besi yang terjalin kuat. Mereka melakukan gerakan ristmis ke kanan dan kiri, seolah mengirim pesan kepada lelaki itu bahwa tak ada jalan untuk melepaskan diri. Dari mulut kata perempuan keluar kata “Nusantara” yang dirapalkan seperti mantra dengan tekanan penuh makna.

Begitulah adegan pembuka dramatisasi puisi “Jembatan” karya Sutardji Calzoum Bachri yang dipentaskan dalam Festival Sastra 2023 di Aula Gedung ACC Kampus Universitas Malikussaleh, Uteunkot, Lhokseumawe, 19 – 20 Juni 2023 lalu.  Karya kolaborasi antara UKM Seni Budaya Meurah Silue, Sanggar Seni Politeknik Negeri Lhokseumawe, Lazuardian, dan Teater Sagoe ini seolah ingin menampilkan wajah Nusantara yang retak dengan berbagai persoalan kronis.

Salah satu yang permasalahan bangsa yang ditonjolkan dalam dramatisasi puisi “Jembatan” adalah kesenjangan sosial yang demikian tinggi. Kerasnya teriakan kaya dan miskin seolah menggambarkan tingginya kesenjangan yang ada. Namun, agak sulit menerjemahkan pesan yang ingin disampaikan sutradara Pimen D. Aryjona dalam adegan lelaki yang terbelenggu dalam rantai tangan para perempuan berpakaian serba hitam. Mungkin itulah gambaran Nusantara yang terbelenggu dan berjarak dengan rakyatnya.

Puisi “Jembatan” dibacakan secara memikat oleh Dharaa Zubier yang merupakan alumni Universitas Malikussaleh. Pakaian merah putih yang dikenakan Dharaa juga menggambarkan wajah Nusantara. Dharaa yang mengambil posisi di kanan panggung, agak di belakang, berdiri lebih tinggi dibandingkan para aktris dan aktor. Pengambilan posisi tersebut mungkin dimaksudkan untuk lebih menonjolkan aktris dan aktor dibandingkan deklamatris.

Lebar panggung di Gedung ACC benar-benar dioptimalkan Pimen yang memang sudah berpengalaman dalam menggarap kegiatan seni panggung. Atribut yang sederhana tidak mengurangi makna pesan yang ingin disampaikan. Pimen tidak mengangkut banyak properti ke atas panggung sehingga perhatian penonton terpaku kepada puisi dan para aktris.

Sayangnya, posisi Dharaa yang hanya diam terpaku di satu tempat terlihat monoton. Harusnya, ia bisa bergerak sesuai bait-bait puisi tanpa perlu mengganggu gerakan aktor yang diperankan Aray Sagoe serta para aktris; Fitri, Nadia, Lia, dan Meisi.

Pertunjukan selama sekitar 6 menit tersebut terasa lebih mengesankan karena Azman menata musik dengan apik, ditambahkan tata lampu oleh Libratian yang dominan gelap sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Tidak heran jika perhatian penonton tertancap ke panggung selama pertunjukan dan memberikan tepuk tangan panjang ketika pemain meninggalkan panggung.

Musikalisasi puisi ini menjadi salah satu magnit dalam kegiatan Festival Sastra 2023 yang terasa lebih meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tak salah jika dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Malikussaleh, Reza Pahlevi Ginting, mengharapkan tahun depan lebih banyak komunitas seni di Aceh, bahkan luar Aceh, yang terlibat dalam hajatan rutin tersebut.[]  

Baca juga: Geliat Seni dan Kontes Monolog di Festival Sastra 2023 Unimal 


Berita Lainnya

Kirim Komentar