Garis Takdir Capres di Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Foto Teuku Kemal Fasya. Dok : Nur Khalis Ramadhani

Teuku Kemal Fasya

Menurut jadwal yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada 19-25 Oktober 2023 adalah masa pendaftaran calon presiden presiden dan wakil presiden.

Beberapa tahapan setelah itu masih akan dilakukan seperti verifikasi berkas (19-28 Oktober), pemeriksaan kesehatan (19-27 Oktober), pemberitahuan hasil verfikasi (23-29 Oktober), pengusulan calon pengganti capres-cawapres dari partai politik (26 Oktober – 7 November), hasil verifikasi berkas calon pengganti (11-12 November), pengumuman pasangan calon (13 November), dan menentuan nomor urut pasangan capres-cawapres (14 November).

 

Garis takdir

Jika garis takdir politik tidak berubah, dalam waktu sebentar lagi kita akan mendapatkan (kemungkinan) tiga calon presiden: Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo.

Kenapa disebut garis takdir? Sebab beberapa waktu lalu sempat ada gempa politik dalam pemasangan calon presiden-wakil presiden. Tiba-tiba dinamika di antara  partai pendukung baru Prabowo. Hal ini menyebabkan ketua PKB Muhaimin Iskandar memilih keluar dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), melompat dan menggapit Anies Baswedan sebagai pasangannya yang telah lebih dahulu ditahbis Partai Nasdem sebagai capres.

Bubarnya KKIR meninggalkan enigma politik. Pasangan yang sebelumnya sudah dipadu-padankan sebagai komposisi milenial (Anies – Agus Harimurti Yudhoyono) pun bubar, dengan keluarnya Partai Demokrat dari “akad”. Demokrat kemudian memilih bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM); nama koalisi baru pendukung Prabowo.

Dari seluruh “Mumbay politik” itu yang paling dramatis adalah hengkangnya Demokrat sebagai pendukung Anies, dibandingkan keluarnya Muhaimin sebagai pengusung Prabowo. Dramaturgi semakin panjang ketika ketua Pembina Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengeluarkan pidato dengan diksi yang sempat lama terulas di media sosial: “tidak amanah”, “kasar”, “melebihi batas kepatutan, moral, dan etika”, “musang berbulu domba”, dsb.  

Kasus Muhaimin meninggalkan koalisi Prabowo dan AHY merasa ditinggalkan oleh Anies Baswendan menjadi salah satu “political unpredictability” yang layak dikaji dan direnungkan dalam konteks wacana politik kontemporer. Dalam kajian politik, hal ini meneguhkan bahwa platform dan ideologi politik tidak lagi menjadi faktor kohesi dan distraksi relasi antarpartai politik. Walaupun karakter dan pola pikir politik berbeda, Anies dan Muhaimin bisa bersatu dalam ramuan cinta satu malam, sekaligus meneguhkan bahwa rayuan politik paling mesra adalah kepentingan.

Jika dilihat secara etika politik, hal ini adalah variabel eror. Demokrasi adalah kehendak berkuasa dengan persyaratan etik dan formal prosedural. Gagasan politik machiavellianism adalah antitesis etik demokrasi, jalan manipulatif yang dipilih oligarki dan dinasti.

 

Déjà vu atau memori baru?

Aceh sudah mengalami dua kali Pilpres dengan hasil aneh. Disebut aneh karena kehendak politik masyarakat Aceh pada Pilpres 2014 dan 2019 berbeda dengan kehendak vox populi nasional.

Dua kali Aceh memenangkan Prabowo sebagai presiden, meskipun yang dilantik oleh MPR adalah Jokowi. Pada Pemilu 2014, Prabowo-Hatta memenangkan persaingan atas Jokowi-JK sebesar 54 persen di Aceh. Pada Pemilu 2019 lebih dahsyat lagi ketika pasangan Prabowo-Sandi menang telak 85,5 persen atas Jokowi-Amin.

Meskipun tidak berpengaruh pada sikap pemerintah pusat atas Aceh, karena Jokowi tidak menurunkan tensi pembangunan infrastrukturnya, toh tetap saja ganjen. Aceh dan Papua menjadi dua provinsi terluka yang paling sering dikunjungi Presiden ketujuh itu dari seluruh sejarah presiden Indonesia. Jika pernyataan what if boleh digunakan untuk membaca situasi sudah lewat (post-pactum), Aceh akan punya harapan perubahan lebih luas seandainya sejak awal mendukung Jokowi.

Kembali pada kandidasi tiga capres di atas, berdasarkan survei terbaru di level nasional menunjukkan “calon presiden kalah versi Aceh”, Prabowo Subianto, telah menjadi pemenang. Hal itu bisa dibaca dari tiga survei terbaru.

Survei Poltracking Indonesia melakukan simulasi head to head, dari hasil survei 3-9 September lalu dengan 1.220 responden dengan tingkat margin of error +- 2,9%. Hasilnya Prabowo berkibar di angkasa. Prabowo vs Anies menunjukkan Prabowo unggul jauh (51,2%) atas Anies (28,3%). Namun yang tidak tahu/tidak jawab (TT/TJ) masih cukup besar (20,5%). Adapun Prabowo vs Ganjar menghasilkan Prabowo 46,1%, Ganjar 39,8%, dan TT/TJ 14,4%. Ketika dilakukan simulasi elektabilitas dua penantang Prabowo, yaitu Ganjar vs Anies, hasilnya Ganjar 47,5%, Anies 30,7%, dan TT/TJ 21,8%.

Hasil tak berbeda ditunjukkan juga dari survei Lembaga Survei Indonesia (LSI). Lembaga survei tertua untuk Pilpres itu (dengan 1.206 responden dengan margin of error +-2,9%) memberikan kesimpulan jika Prabowo dilaga dengan Anies adalah Prabowo 50,2%, Anies 26%, dan TT/TJ 23,8%. Hasil Prabowo vs Ganjar pun, Prabowo unggul 45,7% atas Ganjar 34,4%. Data TT/TJ 19,9%. Ketika Ganjar bersemuka dengan Anies hasilnya Ganjar 47,6%, Anies 33,1%, dan TT/TJ 19,3%.

Terakhir survei Lembaga Survei Nasional (LSN) dengan 1.420 responden dan margin of error +-2,6% yang dirilis 6 Oktober lalu menyimpulkan data yang tidak bertentangan dengan dua survei sebelumnya. Ketika Prabowo head to head Ganjar maka Prabowo mendapatkan 53,5%, Ganjar 41,2%, dan TT/TJ 5,3%. Ketika simulasi Prabowo dikawinkan dengan Ganjar menantang Anies yang telah berjodoh dengan Muhaimin hasilnya adalah Prabowo-Ganjar 72,5%, Anies-Muhaimin 24,3%, dan TT/TJ 3,2%. Duet Prabowo-Ganjar akan sangat maut, dan tidak bisa dikejar Anies-Muhaimin. Meskipun kemungkinan terakhir akan sesempit lubang semut.

Jika hasil survei nasional itu menjadi pembacaan bagi pemilih di Aceh, maka memilih Prabowo untuk ketiga kalinya akan menjadi memori baru dibandingkan déjà vu. Beberapa hasil survei yang juga telah terjadi dengan simulasi dengan tiga calon presiden menunjukkan kans besar Prabowo sebagai presiden kedelapan.

Makanya ketika Partai Aceh kembali setia pada pilihan mendukung Prabowo pada kali ini bukan lagi cerita pungguk merindukan bulan atau keledai jatuh di lubang yang sama. Bisa jadi ini harapan yang menjadi kenyataan. Akhirnya Aceh tak selalu salah dalam memilih calon presiden.

Namun, hitungan Prabowo akan mulus menjadi presiden tidak bersifat serta merta. Hal itu hanya akan linear jika variabelnya tunggal dan statis. Masih ada faktor lain yang menentukan kemenangan, yaitu jika peran partai-partai politik pendukung menjadi praetorian dan gladiator, dibanding pengatur dari kejauhan atau otak-atik di atas kertas.

Penulis memang belum menemukan data kuantitatif yang bisa dijadikan cara mengukur para pemilih di Aceh. Namun, demi melihat respons netizen di media sosial, preferensi pemilih non-partisan cenderung kepada Anies sebagai the next president. Kesukaan pada Anies masuk dalam lingkup kosmologi-antropologi masyarakat Aceh yang senang pada hal-hal berbau Arab. Kakek Anies Baswedan adalah pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) pada 1934 dan menjadi perintis kemerdekaan Indonesia. Islam sekaligus Arab tulen!

Jangan lupa, majunya Nasdem sebagai pengusung utama Anies akan memberikan kelimpahan elektoral berdasarkan teori efek ekor jas (coat-tail effect). Bergabungnya Nasdem-PKB dalam satu koalisi juga bukan sesuatu yang aneh karena keduanya pernah bersatu di rumah pendukung Jokowi.

Sayangnya, sejumlah hasil survei yang sudah dirilis belum cukup positif bagi Anies. Ia masih terbanting-banting ketika diadu head to head, baik melawan Prabowo atau Ganjar. Garis piramida masih menjadikan Anies sebagai alas sandar.

Meskipun demikian, Anies juga pernah melawan “takdir” ketika pada survei calon gubernur Pilkada DKI 2017, dianggap tak cukup kuat bersaing dengan Ahok dan AHY, malah menjadi sosok yang tertawa paling akhir.

 

Teuku Kemal Fasya, dosen Fisipol Universitas Malikussaleh.

Dimuat pertama kali di Serambi Indonesia, 17 Oktober 2023


Kirim Komentar