20 Tahun Tsunami Aceh: Refleksi Evaluasi ke Kebangkitan Masa Depan Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Andika Pratama (Ketua Umum HMI Komisariat Pertanian Universitas Malikussaleh Periode 2023-2024)

Oleh: Andika Pratama

Sudah genap dua dekade peristiwa gempa bumi dan tsunami dahsyat meluluhlantakan pesisir barat  Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan 14 negara lain di kawasan Samudra Hindia, dimana salah satu kota yang parah terdampak adalah Banda Aceh. Peringatan bahwa sebuah tragedi besar akan melanda.  

Namun, pukul 07.58 WIB, gempa bawah laut dengan magnitudo 9,1 menggetarkan permukaan. Berpusat di bawah Samudra Hindia, 250 kilometer (km) tenggara pesisir Banda Aceh terjadi, gempa tersebut menyebabkan dasar laut naik secara tiba-tiba setinggi 40 meter sehingga memicu tsunami raksasa yang diam-diam menjalar ke berbagai penjuru.

Saat gempa mulai mereda, masyarakat di pesisir Banda Aceh melihat laut yang surut, tak menduga bahwa tsunami tengah menjalar menuju pantai. Kemudian, 20 menit setelah gempa itu, gelombang pertama tsunami menghantam garis pantai Banda Aceh, diikuti serangkaian gelombang panjang yang susul-menyusul. Elevasi maksimum dan landaan tsunami mencapai 34 meter, terekam di pantai barat Banda Aceh.

Sebagaimana dilaporkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 4 Januari 2005, setidaknya 200.000 jiwa meninggal dunia akibat bencana tersebut dan 93.285 orang hilang dalam tsunami paling mematikan dalam sejarah itu.  Hari itu menjadi salah satu titik paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, dari puing-puing kehancuran, Aceh bangkit. Tsunami yang meluluhlantakkan itu memang meninggalkan luka mendalam, tetapi ada pula pembelajaran berharga di baliknya.

Bencana ini juga mengguncang Banyak orang yang mengalami trauma dan kehilangan yang berkepanjangan, akibat kehilangan anggota keluarga dan harta benda, Situasi darurat ini menciptakan tantangan baru bagi masyarakat.

Sehingga dalam bencana ini Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 2 Tahun 2005 dengan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD-Nias.Perpres ini mengatur tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Dalam hal itu tujuan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) ialah Pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, sekolah dan fasilitas kesehatan dibangun kembali. Setelah paska tsunami perubahan sosial dan budaya masyarakat Aceh menjadi lebih terbuka dan adaptif. Maksud dari terbuka dan adaptif yaitu meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, hubungan antar-etnis dan agama lebih harmonis, peningkatan kesadaran akan pentingnya dukungan sosial, pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman budaya, peningkatan kesadaran akan pentingnya kewirausahaan, pengembangan industri lokal, dll.

Maka kita harus bersama merawat memori kejadian masa silam agar kita tidak pernah menjadi bangsa pelupa dan dijelaskan Pasal 28A tentang Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal ini menegaskan hak dasar setiap warga negara untuk hidup, yang menjadi pengingat pentingnya upaya mitigasi bencana dan perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman bencana alam

Mari seluruh elemen masyarakat Aceh agar tetap bersinergi, bahu membahu dalam rangka merawat dan menjaga perdamaian yang berhasil kita capai bersama dan memperkuat kekompakkan kita dalam keberagaman menuju "Aceh Hebat", tidak hanya hebat dalam penanganan kebencanaan, tapi juga hebat dalam memajukan Aceh dan mensejahterakan masyarakat.

Perdamaian juga telah diperkuat melalui perundang-undangan Republik Indonesia, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang lahir pasca perdamaian memberikan ruang yang besar untuk pengelolaan pemerintah daerah guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

UUPA merupakan produk politik dan banyak kekhususan diberikan untuk Aceh, tapi regulasinya belum cukup maksimal untuk peningkatan sosial maupun kesejahteraan.

Peringatan tersebut juga menjadi penyemangat bagi kita semua untuk selalu menjaga, merawat, dan merevitalisasi berbagai peninggalan tsunami dari kerusakan dan kehilangan sebagai warisan budaya benda dan tak benda (tangible dan intangible) Aceh, nasional dan internasional.

Di antaranya, seperti Kapal PLTD Apung, Thanks to the World Park, Kapal di Atas Rumah, Kuburan Massal Tsunami, Guha Ek Luntie (guha yang mengungkapkan jejak tsunami purba di Aceh), Kubah Masjid Terdampar, Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Baiturrahim, dan peninggalan masa lalu lainnya.Warisan budaya tak benda (intangible) meliputi kisah hidup dari pengalaman bencana masa lalu, teatrikal, tarian, musik, dan lain sebagainya, sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat (kolektif memori).

Termasuk juga beberapa bangunan penting lainnya yang juga berperan sebagai media mitigasi, rekreasi, evakuasi dan penelitian kebencanaan yang dibangun selama masa Rekonstruksi Aceh, seperti Museum Tsunami, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Escape Hill Building dan monumen peringatan bencana lainnya di Aceh sebagai media pembelajaran (lessons learnt).

Semua peninggalan bencana masa lalu harus dipelihara dengan baik, tidak hanya menjadi media pengingat "reminder" bencana tsunami 2004, bencana serupa lainnya di masa lalu dan promosi destinasi wisata memori (dark tourism), tetapi juga menjadi media efektif sebagai upaya pengurangan risiko bencana global (PRB) terhadap ancaman bencana masa depan melalui kegiatan berbagi pengalaman bencana antara para korban, komunitas dan wisatawan, termasuk juga generasi Aceh masa depan.

Semua kebaikan tersebut perlu dilihat dalam berbagai perspektif positif dari kejadian bencana masa lalu sebagai sebuah musibah menuju hikmah secara jangka panjang "blessing in disguise".

Peringatan tsunami Aceh akan terus diperingati setiap 26 Desember dengan melibatkan semua stakeholder, masyarakat, dan wisatawan sebagai media refleksi, apresiasi, mitigasi dan promosi. Refleksi berarti bencana masa lalu harus menjadi pengingat bahwa manusia tidak berdaya di hadapan Allah swt.

Dua dekade peringatan tsunami Aceh ini diharapkan momentum pengingat akan fragilitas kehidupan dan kekuatan manusia untuk bangkit dari keterpurukan.   Memberikesadaran dan punya persiapan untuk memitigasi bencana.  Dua dekade peringatan tsunami Aceh pun dinilainya belum cukup menjadikan negeri ini sebagai bangsa yang tangguh menghadapi. Dalam menghadapi tantangan masa depan, penting bagi kita untuk tidak hanya mengenang tragedi tetapi juga berkerjasama  membangun budaya siaga bencana kepada  masyarakat dan millenial Aceh.

Andika Pratama:
Ketua Umum HMI Komisariat Pertanian Universitas Malikussaleh Periode 2023-2024


Kirim Komentar