
Teuku Kemal Fasya
Tidak ada yang membayangkan bahwa kejahatan bisa terus berulang dan secara sistematis menjatuhkan warga Gaza ke titik tertinggi derita. Uniknya tidak ada lembaga dunia yang tergerak membantu. Kisah buram terakhir terekam pada kasus pembunuhan direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza, dr. Marwan al-Sulthan dan keluarganya di Gaza Barat, 2 Juni 2025.
Kejahatan tentara IDF (Israel Defense Force) bisa dikatakan sempurna, menambah praktik genosida yang mencapai 56.500 jiwa terbunuh dan 133.419 terluka (Al Jazeera, 29 Juni 2025). Sebagian besar korban adalah anak-anak dan perempuan yang mencapai 70 persen dan sepertiganya berumur di bawah 18 tahun (Reuters, 24 Maret 2025).
Sejarah pendudukan dan keterkejutan
Kasus ini sebenarnya perulangan kejahatan Israel atas warga Palestina sejak pendudukan wilayah “Kanaan” atau Levant Selatan itu. Jika dirunut sejak Inggris memberikan kuasa tanah Yerussalem dan Suriah Selatan kepada warga Yahudi melalui Deklarasi Balfour 1917, “goncangan” ini telah berumur satu abad lebih. Ideologi zionisme atau pendudukan tanah Palestina oleh “negara Israel” telah disemai sejak akhir abad 19 atau tepatnya 1897 di Basel, Swiss.
Bahkan jika dihitung sejak Perang Arab-Israel pada 1948 dan pendudukan zionisme 1967, kejahatan pasca-invansi Hamas 7 Oktober 2023 ini adalah yang terparah di dalam sejarah. Kejahatan mereka dimulai dengan pendudukan besar-besaran dan penggusuran warga Palestina dan pemaksaan pengakuan internasional bahwa Israel adalah negara resmi Yudaisme itu.
Bukan hanya pendudukan, tapi juga pembalikan posisi peta dunia. Pada 1946 warga Yahudi hanya menguasai 11 persen pemukiman di Palestina, tapi kini otoritas Palestina menjadi minoritas, karena hampir 90 persen dikuasai Israel sejak 2012.
Bisa disebut serbuan Hamas 7 Oktober 2023 adalah akumulasi kekecewaan, dikenang dengan istilah operasi banjir Al-Aqsa oleh kelompok paling radikal di Palestina itu (selain Fatah). Aksi itu adalah protes atas penjajahan sekaligus memori 50 tahun aneksasi Yom Kippur (6 Oktober 1973) yang menewaskan 1.195 warga Israel dan asing. Meskipun serangan itu menjadi sejarah korban terbesar di Israel dan oleh Netanyahu disebut sebagai Holocaust, korban terbesar sesungguhnya berada di sisi warga Palestina, karena hampir 60 ribu orang syahid.
Dunia sempat sedikit bisa bernafas lega, ketika muncul gencatan senjata Israel – Hamas pada 15 Januari 2025 atau lima hari menjelang pelantikan kedua Donald Trump sebagai presiden terlaksana.
Namun gencatan senjata itu menghadirkan keterkejutan pada penguasa Israel, karena jalan-jalan di Jalur Gaza dipenuhi show of force pasukan inti Hamas, Brigade Izz ad-Din Al-Qassam dengan senjata AK-47, sebo, dan pakaian hijau-hitam (axios.com, 21 Oktober 2023). Diperkirakan masih ada 30-40 ribu brigadir Al-Qassam yang berkeliaran saat penyerahan tawanan Israel yang masih hidup dan telah tewas.
Aksi itu membuat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu gerah. Ia berjanji akan menghabisi pasukan Hamas karena masih cukup eksis melalui anggaran dan agenda militer lanjutan.
Catatan jurnalis Israel Frey kepada Middle East Eye menyebut aksi pamer kekuatan Brigadir Al-Qassam membuat Israel menjadi dendam dan sinis. Dunia juga mencatat bahwa perang selama ini tidak cukup efektif melumpuhkan Palestina di bawah kendali Israel. Maka langkah penghentian perang dan melanggar kesepakatan pertukaran sandera, wujud kefrustasian Isarel melalui aksi sporadis terhadap masyarakat sipil Palestina. Hal ini ikut didukung oleh Trump karena alasan Hamas mengulur-ulur kesepakatan pelepasan sandera (Kompas TV, 11 Februari 2025).
“L'Imprescriptible”
Detik ini situasi jelas tidak mungkin diperbaiki. Kerusakan yang diterima masyarakat Gaza bisa dianggap “moksa” derita anak bangsa, melebihi derita Rohingnya, Ukraina, Zimbabwe, atau Armenia. Bahkan kejahatan Israel melebihi kejahatan Adolft Hitler yang disebut-sebut sebagai pencetus Holocaust terhadap warga Yahudi di Eropa. Filsuf Perancis keturunan Yahudi Rusia, Vladimir Jankélévitch, menyebut itu dalam karyanya terkenal, L’Impresciptible, sebagai kejahatan tak termaafkan.
Karya yang terbit di tahun 1971 dengan judul lengkap L’Impresciptible : Pardoner Dans l'honneur et la dignité (Memaafkan dengan kehormatan dan martabat) dan dikutip sangat metaforis oleh Jacques Derrida, filsuf posmodernisme Perancis, bahwa posisi memaafkan terletak pada kuasa korban dan bukan pelaku.
Aneka kejahatan yang luar biasa (monstrous crimes) Benjamin Netanyahu (perdana menteri Israel), Yoav Gallant (mantan menteri pertahanan), dan IDF yang telah divonis sebagai pelaku genosida oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC), ternyata belum efektif.
Buktinya, kejahatan secara acak kepada warga sipil, penistaan atas mayat, penyiksaan dan penyebaran penyakit kepada tawanan, pembunuhan 211 jurnalis (OHCHR) dan lebih 1000 dokter and perawat selama melaksanakan tugas kemanusiaan (UNWRA) masih terjadi hingga kini. Belum lagi perusakan dan pemboman ratusan rumah sakit, sekolah, masjid, dan situs sejarah (https://www.middleeastmonitor.com/20241124-over-1000-doctors-nurses-killed-in-israeli-attacks-in-gaza-local-authorities-say). Penyerangan Rumah Sakit Indonesia di Gaza adalah yang ketiga kali dilakukan sehingga nyaris lumpuh total.
Kejahatan belum berhenti. Pasca-gencatan senjata, Israel masih menyerang relawan kemanusiaan yang membagi bantuan pangan yang menciptakan bencana kelaparan ekstrem di Gaza. Demikian pula penggunaan bom fosfor untuk membunuh anak-anak dan perempuan hamil adalah desain untuk menjatuhkan moral Hamas.
Kejahatan semakin terkenang ketika membunuh tokoh pendukung kemerdekaan Palestina seperti Taleb Abdallah (komandan lapangan Hezbollah, 12 Juni 2024), Ismael Haniyeh (Kepala Politbiro Hamas, 31 Juli 2024), Mohammad Deif (komandan strategis militer Hamas, 1 Agustus 2024), Hasan Nasrallah dan Nabil Kauk (pemimpin dan wakil pemimpin pusat Hezbollah, 28 September 2024), dan Yahya Sinwar (pemimpin tertinggi Hamas, 16 Oktober 2024) (https://www.thehindu.com/news/international/hezbollah-hamas-leaders-killed-in-war-full-list/article68767881.ece). Pembunuhan tokoh-tokoh utama itu tidak terjadi dalam perang terbuka, tapi penyergapan dan pengintaian, termasuk penggunaan 900 kg bom ketika membunuh pemimpin pusat Hezbollah di Beirut.
Dalam Jacques Derrida, On Cosmopolitanism and Forgiveness (1997) menyitir gagasan Jankélévitch itu, bahwa kejahatan Israel memiliki muatan politik, sosial, dan ideologis serta tidak termaafkan. Posisi para korban pun tidak harus memaafkan, karena kejahatan itu menembus memori dan mengusik jiwa (all is forgivable except crime against humanity). Bahkan aksi rekonsiliasi akan menuju pada banalitas kebenaran dan keadilan transisional, karena tak dapat dipulihkan kembali (irreducible).
Meskipun Jankélévitch membahasakan konteks kejahatan yang tak termaafkan itu kepada warga Yahudi yang menjadi korban Holoucaust, kondisi saat ini malah melekat kepada warga Gaza (Palestina), karena semua kejahatan seperti itu memerlukan berpaling ke masa lalu, mengambil tindakan atas tuduhan diri sendiri (self-accusation), ‘pertobatan’, dan perbandingan (Derrida, 1997). Di mana dalam sejarah modern, kejahatan seperti IDF bisa dilupakan begitu saja?
Seperti pernyataan Jankélévitch, “Permaafan tidak lagi memiliki arti ketika kejahatan telah terjadi. Ia 'tak dapat dijelaskan', 'tak dapat diperbaiki', di luar batas ukuran manusia normal. 'Permaafan akhirnya mati di kamp-kamp kematian'” (Derrida, 1997).
Sebagai warga bukan Palestina, kewajiban kita untuk menyerukan semangat tidak memaafkan atas duka semesta warga Gaza. Demikian pula aksi untuk mengingat dan mendorong agar pelaku genosida dihukum demi pemulihan, kebenaran, dan keadilan bagi korban dan dunia.
Teuku Kemal Fasya, antropolog Universitas Malikussaleh.
Dimuat di Serambi Indonesia, 8 Juli 2025.