UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Setiap tahun, umat muslim di seluruh dunia merayakan bulan suci Ramadhan dengan berpuasa. Bagi mereka Non muslim, menjalani kehidupan sehari-hari selama bulan puasa dapat menjadi pengalaman dan memberikan wawasan tentang keragaman budaya saat berada di lingkungan yang masyarakatnya muslim.
Pengalaman tersebut dirasakan oleh Hartaty Sister Giawa, mahasiswi Prodi Teknik Logistik Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh yang berasal dari Pulau Nias Sumatera Utara. Ia sudah dua tahun tinggal di Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, dan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariat Islam yang hampir 99 persen penduduknya memeluk agama Islam.
Bagi Hartaty yang beragama Kristen, menjalani perkuliahan selama bulan puasa itu bukan hambatan baginya, ia harus menjalani hari-harinya sama halnya dengan masyarakat muslim yang berada di seputaran ia tinggal.
“Pengalaman menghadapi bulan puasa di Aceh bisa menjadi momen introspeksi dan penyesuaian diri. Meskipun saya tidak berpuasa secara fisik, tapi saya juga ikut merasakannya. Kemudian, kegiatan kampus dan jadwal akademik bisa berubah, dan ada penyesuaian yang perlu dilakukan dalam hal interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari,” ungkap Hartaty.
Menurut Hartaty, meskipun mayoritas penduduk di Kota Lhokseumawe adalah muslim, tetapi masyarakatnya terbuka terhadap perbedaan dan menyambut dengan hangat mahasiswa non muslim yang tinggal di kota tersebut. Ada semangat saling pengertian dan menghormati antar agama yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kota yang pernah dijuluki petro dolar tersebut.
“Masyarakat disini sangat toleransi, yang penting kita menghargai adat istiadat dan budaya disini, juga berpakaian sopan walau tidak memakai jilbab,” sebut Hartaty.
Perbedaan yang lain menjalani perkuliahan selama bulan puasa, Hartaty menyebutkan, tidak bisa minum atau makan sembarangan di tempat umum. “Biasanya saya ke kampus bawa minum dalam botol dan juga snack, tapi kalau bulan puasa saya harus menghargai kawan-kawan yang beragama muslim tidak makan dan minum sembarangan walau mereka tidak melarang nya,” sebut Hartaty.
Tantangan lain yang dihadapinya adalah selama bulan puasa di Lhokseumawe pada umumnya tidak ada orang jualan secara terbuka sampai pukul 16.00 WIB sore. Menariknya, jelang berbuka puasa banyak makanan (takjil) yang dijual di pinggir jalan.
“karena saya tinggal di kos dengan kawan-kawan yang muslim, jadi setiap mereka berbuka pasti ngajak saya untuk berburu takjil, dan ini membuat saya dihargai oleh teman-teman yang muslim,” tuturnya lagi.
Dari pengalamannya, Hartaty menyimpulkan bahwa mahasiswa non muslim yang melaksanakan kuliah selama bulan puasa di Aceh punya kesempatan untuk belajar dan mendapatkan pemahaman tentang keragaman budaya dan religiusitas. Ini adalah waktu di mana ia dapat lebih memperhatikan dan menghargai perbedaan, serta dapat menjadi titik balik dalam memperkuat hubungan antarindividu dan memperdalam pemahaman tentang masyarakat yang multikultural.
“Selama di Aceh kami juga bisa beribadah dengan tenang walaupun gerejanya agak jauh, dan kami juga bisa merayakan natal dan tahun baru serta saling berbagi bersama teman-teman muslim. Dan disinilah saya menemukan keindahan dalam perbedaan,” tutup Hariaty mahasiswi angkatan 2022. [Bustami Ibrahim]