Oleh: Muh. Fahrudin Alawi, Dosen Fisipol Universitas Malikussaleh
Kandasnya duet Zulkieflimansyah-Sitti Rohmi Djalilah (Zul-Rohmi) jilid II untuk mentas di perhelatan demokrasi Pilgub NTB 2024 membuat atmosfer politik di bumi gora makin bergairah. Banyak kalangan memprediksi koalisi pasangan petahana ini akan menang mudah jika kembali berduet di Pilgub tahun ini. Berpisah jalannya duet Zul-Rohmi menjadi bukti adagium bahwa politik itu dinamis dan segala sesuatu dalam politik bisa berubah setiap detik.
Teka-teki drama kepastian kelanjutan duet Zul-Rohmi jilid II berakhir dengan anti-klimaks. Berbagai drama dan manuver politik mewarnai detik-detik penentuan pengambilan keputusan apakah duet Zul-Rohmi akan belanjut atau tidak. Manuver tidak hanya dilakukan oleh para elit partai politik pengusung di belakang layar seperti yang lazim terjadi dalam masa penentuan koalisi, tetapi kali ini secara langsung oleh kandidat.
Zulkieflimansyah sebagai gubernur petahana memberikan suguhan model komunikasi politik cukup menarik. Zulkieflimansyah di akun media sosial (facebook) pribadinya beberapa kali mengunggah status dan video testimoni politik tentang keinginannya melanjutkan duet bersama Rohmi. Salah satu video unggahan Zulkiflimansyah yang menyedot perhatian pubik adalah testimoni dirinya bersama Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Pimpinan Ormas Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) berisi penegasan komitmen akan dilanjutkannya Duet Zul-Rohmi jilid II.
Dinamika politik belakangan berkata lain. Duet Zul-Rohmi jilid II gagal terwujud karena Rohmi memutuskan maju bertarung merebut kursi orang nomor satu di NTB ketimbang kembali berduet dengan Zulkieflimansyah.
Jika melihat kilas balik hasil pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTB 2018, kemenangan duet Zul-Rohmi merupakan kombinasi militansi kader partai dan kekompakan akar rumput jamaah ormas NWDI. Partai keadilan Sejahtera sebagai partai asal Zulkieflimansyah merupakan partai yang sangat kuat dalam hal membangun dan mengorganisir kader-kader militannya.
Begitu juga dengan kekuatan gerbong politik NWDI. Dengan semangat dan doktrin ideologis perjuangan sami’na waata’na ( kami mendengar dan kami ta’at), kader-kader NWDI tidak kenal lelah melakukan kerja-kerja politik memenangkan duet Zul-Rohmi yang sempat diragukan bisa memenangkan Pilkada. Tentu saja tanpa menihilkan kerja-kerja partai pengusung dan barisan relawan lainnya yang tidak terafiliasi ke dalam partai maupun ormas.
Tulisan ini tidak berpretensi membandingkan kekuatan partai dan ormas karena keduanya merupakan entitas organisasi berbeda. Partai adalah organisasi politik. Sementara ormas adalah organisasi yang memiliki area pergerakan lebih luas dari sekedar politik meliputi pendidikan, sosial, dakwah, ekonomi, dan lain-lain. Akan tetapi dalam medan pertempuran politik, keduanya bisa berkolaborasi menjadi kombinasi kekuatan mengerikan.
Dalam situasi tertentu, akumulasi komposisi kursi partai politik di legistaltif hanya mengantarkan para kandidat untuk ditetapkan jadi pasangan calon di KPU. Setelah itu, mesin partai harus berkolaborasi dengan kekuatan politik lain yang memiliki akar kuat di kalangan pemilih. Pada titik ini, kekuatan ormas tidak jarang melampaui kekuatan mobilitas partai menggalang suara dalam pertarungan politik elektoral.
Kekuatan politik ormas di Pilgub NTB 2024
Secara antropologi politik, pemilih di NTB tidak terikat pada isu-isu politik berbasis primordial. Wacana representasi kesukuan dalam penentuan pasangan calon kepala daerah, asal-usul marga atau keluarga besar, derajat kebangsawanan, dan daerah asal tidak terlalu menjadi faktor determinan untuk memenangkan pemilihan. Dalam kontestasi masa kampanye politik, hampir tidak pernah terdengar isu-isu primordial sebagai strategi tim sukses menarik suara pemilih. Artinya, elit politik dan pemilih cukup matang dalam berdemokrasi. Meskipun dalam prakteknya partai politik pengusung dan elit politik masih mempertimbangkan keterwakilan Pulau Lombok dan Sumbawa, tetapi itu bukan formulasi mutlak yang wajib dipenuhi. Salah satu kunci kemenangan di Pilkada NTB justru ditentukan oleh kekuatan politik dari ormas-ormas, khususnya yang berpusat di bumi gora.
NWDI merupakan ormas tersukses dalam perhelatan politik Pilgub NTB. Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan pertama kali tahun 2008, kandidat yang didukung selalu berhasil keluar menjadi pemenang pilkada. TGB memenangi Pilgub NTB dua kali beruntun pada tahun 2008 dan 2013 meskipun maju dengan pasangan berbeda. Kemenangan TGB dilanjutkan oleh kakaknya Sitti Rohmi Djalilah tahun 2018. Meskipun Sitti Rohmi berada di posisi wakil gubernur berpasangan dengan Zulkieflimansyah, mobilisasi dukungan terhadap pasangan yang didukung NWDI ini tidak berkurang. Mesin politik ormas NWDI telah teruji memenangkan pilgub.
Belum lagi kalau bicara pengalaman NWDI memenangkan kadernya dalam pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota. Hasil pemilihan legislatif 2024 menunjukkan mesin politik NWDI masih solid. NWDI yang ‘berafiliasi politik’ ke Perindo berhasil memperoleh 4 kursi di DPRD NTB. Begitu juga dengan di kabupaten kota. TGB bahkan keluar sebagai caleg peraih suara terbanyak untuk DPR RI dari dapil NTB II (Pulau Lombok) dengan perolehan 182.024 suara. Meskipun suara tersebut tidak dapat mengantarkan TGB melenggang ke senayan karena partai perindo tidak lolos ambang batas suara partai secara nasional, perolehan suara TGB menunjukkan mesin politiknya solid dan selalu siap bertarung.
Selain NWDI, Nahdlatul Wathan (NW) yang berpusat di Anjani juga merupakan kekuatan politik yang tidak bisa disepelekan. Meskipun selalu gagal memenangkan calon yang diusung dalam setiap Pilgub NTB dalam 15 tahun terakhir, tahun ini NW sedang mengalami momentum bagus. Setelah berafiliasi ke Gerindra, NW menunjukkan capaian positif dengan meloloskan kader utamanya menjadi anggota legislatif di tingkat pusat dan provinsi. Lale Syifaun Nufus lolos menjadi anggota DPR RI periode 2024-2029 dari Partai Gerindra.
Lale Yaqutunnafis terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi NTB. Keduanya merupakan saudara kandung RTGB Zainuddin Atsani yang notabene Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar NW. Belum lagi jika bicara pilpres. Berdasarkan data resmi KPU, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming menang telak di NTB dengan raihan 2.154.843 suara. Unggul jauh dibanding pasangan Anies Baswedan dengan raihan 850.359 suara dan pasangan Ganjar-Mahfud dengan 241.106 suara. Kemenangan mutlak Prabowo-Gibran di NTB salah satunya disebabkan oleh kontribusi NW. Secara psikologi politik, NW Anjani sedang mengalami kepercayaan diri tingkat tinggi karena saat ini berdiri di barisan pemenang.
Gerbong politik ormas lain yang tidak dapat disepelekan adalah Yayasan Atthohiriyah Alfadiliyah (Yatofa). Yayasan yang berpusat di Bodak ini telah lama menjadi titik episentrum politik lokal. Tidak hanya di lingkup Kabupaten Lombok Tengah, tetapi juga tingkat provinsi.
Keberhasilan Suhaili menjadi Bupati Lombok Tengah dua periode dan sebelumnya menjadi ketua DPRD NTB menjadi bukti betapa mesin politik Yatofa bekerja maksimal. Perolehan suara pada pilgub 2018 juga mmerupakan cerminan tangguhnya mesin politik Yatofa bergerak. Pasangan Suhaili-Amin yang diusung Yatofa berhasil menjadi peraih suara terbanyak nomor dua setelah Zul-Rohmi.
Figur Suhaili menjelang Pilgub NTB tahun ini masih menjadi primadona bagi partai dan figur elit politik untuk digandeng menjadi duet koalisi pasangan cagub-cawagub. Suhaili semula digadang-gadang akan maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Sukiman Azmy yang notabene mantan Bupati Lombok Timur. Dinamika politik terbaru menunjukkan Suhaili mendampingi Zulkieflimansyah sebagai pasangan calon setelah duet Zul-Rohmi pecah kongsi.
Kekuatan mesin politik ormas sepertinya akan masih memegang peranan penting di Pilgub NTB 2024. Kandidat yang berhasil mengunci dukungan ormas-ormas yang berpusat di NTB berpeluang besar memenangkan pertarungan politik. Safari politik para kandidat gubernur dan wakil gubernur ke tokoh-tokoh pesantren serta ormas mengisyaratkan tingginya posisi tawar magnet politik ormas keagamaan di NTB.
NWDI sudah ‘mendeklarasikan’ Siti Rohmi, salah satu kader terbaiknya untuk maju menjadi calon gubernur. Kita tinggal menunggu ormas-ormas lain mendeklarasikan figur atau pasangan yang akan didukung di pilgub tahun ini. Jika ini sudah dilakukan, maka publik bisa mendapat gambaran peta kekuatan elektoral para kandidat. Begitu juga dengan jamaah ormas akan menjadi jelas ke mana harus melabuhkan hak politiknya berdasarkan instruksi pimpinan tertingginya. Pilgub NTB bagi ormas bukan sekedar pertarungan memenangkan kandidat yang didukung. Pilgub adalah barometer ketaatan dan kekuatan ormas memobilisasi jamaahnya sesuai instruksi pimpinan.
Relasi yang terbangun antar kandidat calon gubernur yang bukan berlatar belakang ormas dengan ormas bersifat patron-klien. Masing-masing pihak memiliki hitungan matematis apa yang didapatkan sebelum memutuskan menjadi mitra koalisi. Dalam istilah populer, kita menyebutnya sebagai kontrak politik. Kontrak bisa bersifat lisan atau tulisan sejauh kedua belah pihak dapat saling percaya. Kontrak politik ibarat pelumas yang akan membuat mesin politik bekerja maksimal. Tidak saja sebatas mengantarkan kandidat yang diusung ditetapkan menjadi pemenang oleh KPU, tetapi juga mengawal pasangan kepala daerah terpilih merealisasikan janji-janji politiknya selama 5 tahun menjabat. Apakah kandasnya rencana duet petahana Zul-Rohmi jilid II karena ada pengingkaran terhadap kontrak politik? Wallahuallam.
Artikel ini telah tayang di TribunLombok.com tanggal 15 Juni 2024