Dr Zulfikar in Memoriam: Perginya Sang Pelestari Penyu

SHARE:  

Humas Unimal
Dr Zulfikar (lingkaran), Ketua Marine Center Universitas Malikussaleh ketika melepaskan tukik di Pantai Bangka Jaya Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Kamis (17/1/2020). FOTO: AYI JUFRIDAR.

Puluhan tukik bergerak liar di dalam sebuah kotak styrofoam berwarna putih, kontras dengan tubuh mungil tukik yang gelap. Tukik atau bayi penyu itu merupakan hasil penangkaran yang dilakukan Marine Center Universitas Malikussaleh yang belakangan ini aktif melakukan penangkaran tukik untuk dilepaskan ke samudra.

“Dia tidak boleh langsung dilepaskan, tapi dibiarkan dulu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar,” kata Dr Zulfikar, Ketua Marine Center sekaligus dosen di Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh sebelum melepaskan belasan ekor tukik di Pantai Bangka, Krueng Geukuh, Aceh Utara, Kamis (17/1/2019) lalu.

Jumlah tukik yang berhasil dalam penangkaran yang dilakukan Marine Center Unimal tersebut memang masih sedikit. Namun, sebagai kampanye pembebasan tukik ke habitatnya harus dilakukan secara terus-menerus meski kecil dan sedikit. “Dari jumlah yang dilepas, kalau ada setengah saja yang selamat, itu sudah bagus,” tambah Zulfikar.

Dia terlihat sangat menguasai kehidupan penyu sebagai binatang yang dilindungi. Dengan tutur kata yang lembut dan penuh senyum, Zulfikar menjelaskan berbagai kendala yang dihadapi untuk melestarikan penyu, mulai dari kepentingan ekonomi karena harga telur penyu relatif tinggi, sampai hambatan tradisi.

Zulfikar menuturkan, kearifan lokal masyarakat Aceh sebenarnya sangat mendukung kelestarian penyu. Ketika menemukan telur penyu, masyarakat tidak mengambil seluruhnya, tetapi menyisakan untuk kelestarian penyu. Mereka membiarkan penyu beranak-pinak dengan meninggalkan telur untuk ditetas.

“Melindungi penyu dari predator manusia lebih sulit dari predator lain. Karenanya, dibutuhkan tindakan hukum agar penyu tetap lestari,” begitu antara lain pesan Zulfikar ketika ditanya tentang ancaman kelestarian penyu.

Meski sudah ada Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tindakan hukum terhadap predator penyu masih kurang. Zulfikar lebih merekomendasi kearifan lokal untuk melindungi penyu. “Semua kalangan harus diajak terlibat dalam pelestarian penyu,” ujarnya lagi.

Ia selalu bicara dengan nada santun dengan senyum yang hampir tak pernah lekang di bibir. Sepintas, tidak terlihat Zulfikar menderita komplikasi beberapa penyakit karena fungsi ginjalnya yang menurun. Itu karena Zulfikar bukanlah orang yang mudah mengeluh.

Setelah mendapat beberapa kali perawatan, dosen yang peduli terhadap kelestarian penyu dan lingkungan itu meninggal dunia di RS Arun, Lhokseumawe,

Selasa (4/2/2020) pukul 19.20 WIB. Pria kelahiran 7 Januari 1973 ini meninggalkan seorang istri (Desiana) dan 5 orang anak; Muhammad Faiz Dzakwan, Muhammad Rival Dzaiyan, Muhammad Dziban fahrezy, Muhammad Dziyad Khaizuran, dan Muhammad Risyad Dzain.

***

***

Innalillahiwainnailaihirajiun. Beberapa dosen di Universitas Malikussaleh terkejut ketika mendapat kabar kepergian Dr Zulfikar selama-lamanya, termasuk Rektor Universitas Malikussaleh, Dr Herman Fithra. Dia mengaku mengenal Zulfikar lebih dekat sejak dosen Prodi Ilmu Kelautan itu kembali dari studi S3 di Universiti Sains Malaysia, pada 1998.

“Beliau sosok sederhana, bersahaja, dan kuat memegang prinsip. Dedikasi keilmuannya sangat tinggi dibuktikan dengan memperjuangkan kelestarian penyu melaui Marine Center Unimal, tanpa pernah mengeluh meski dalam keadaan sakit,” papar Herman Fithra, Sabtu (8/2/2020).

Menurut Herman, sosok Zulfikar patut menjadi teladan buat semua terutama mahasiswa sebagai generasi penerus. Upaya pelestarian penyu yang diperjuangkan Zulfikar—tambah Herman—akan dilanjutkan agar penyu dapat berkembang di habitatnya. “Selamat jalan saudaraku, Allah lebih mencintaimu daripada kami. Insya Allah surga menantimu,” ujar Herman dengan mata berkaca-kaca.

Zulfikar menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Abulyatama Banda Aceh pada 1998. Gelar Magister ia dapatkan pada 2003 di Institut Pertanian Bogor, kemudian gelar PhD didapat pada 2015 di Universiti Sains Malaysia.

Ketua Prodi Ilmu Kelautan, Dr Erniati, juga melihat  Zulfikar sebagai dosen ideal untuk mahasiswa Akuakultur dan Ilmu Kelautan. Erniati mengenal Zulfikar sejak 2003 ketika Prodi Budidaya Perairan dibuka di Fakultas Pertanian. “Saat itu hanya beliau satu-satunya dosen dengan basic perikanan. Saya melihat bagaimana beliau dapat membuka wawasan mahasiswa baru untuk mencintai dunia perikanan yang saat itu sedikit sekali peminatnya,” jelas Erniati.

Dengan rendah hati, Erniati mengaku walaupun lebih dulu bekerja di Unimal, ia belajar banyak dari Zulfikar terutama tentang dunia perikanan dan kelautan. “Pak Zul tipe pemimpin ideal. Waktu beliau menjabat ketua Prodi Budidaya Perairan yang baru buka dengan segala keterbatasan fasilitas dan SDM, tapi dapat membuat Prodi ini  berkembang,” kata Erniati lagi.

Menurutnya, Zulfikar memiliki jaringan luas dengan dinas terkait sehingga Prodi Ilmu Kelautan memiliki banyak kerja sama. “Beliau sahabat yang luar biasa, ahli perikanan di Fakultas Pertanian yang menjadi senior dan panutan kami semua dosen Prodi Akuakultur dan prodi Ilmu Kelautan.Pak Zul juga ringan tangan membantu orang lain termasuk dalam masalah finansial, tidak pernah marah dengan orang lain,” tutur Erniati ketika ditanya kesannya terhadap almarhum Zulfikar.

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kehumasan Unimal, Teuku Kemal Fasya, juga mengenang Zulifkar sebagai dosen yang mudah berteman dengan banyak orang. “Saat awal saya menjadi kepala UPT, dialah yang mengundang saya melihat pelepasan tukik. Itu sebelum pejabat lain mengundang secara personal untuk kegiatan kampus,” kenang Kemal.

Ia mengaku, sejak saat itu mereka terus bersahabat dan berkirim kabar sampai kemudian bertemu kembali sesaat sebelum ia naik haji. Saat itu Zulfikar bicara dengan tenang bahwa fungsi ginjalnya tinggal 11 persen lagi. Jika sudah di bawah 10 persen harus cuci darah.

“Saya mendengar kisah itu dengan penuh khawatir, tapi Dr Zulfikar menceritakan dengan santai. Ia bersyukur bisa pergi haji, mungkin umur saya tak ada lagi jika sampai tertunda dua tahun lagi, omongannya yang membuat saya terperanjat,” tutur Kemal.

Rasa kehilangan yang dalam juga menggayuti hati Dr Nirzalin, Ketua Program Magister Ilmu Sosiologi Unimal. Ia mengenal Dr Zulfikar sejak 2015 sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat bekas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan bekas pecandu narkoba di Desa Ujong Pacu, Lhokseumawe. Sempat muncul keraguan di hati Nirzalin untuk mengajak Zulfikar terlibat dalam pemberdayaan masyarakat yang terluka akibat konflik dan narkoba.

“Tidak disangka, begitu saya memaparkan konsep pengembangan masyarakat Ujong Pacu, beliau sangat antusias dan setuju terlibat dalam program “jihad” sosial ini. Sepanjang 2015 sampai 2020 kami bersama, saya mengenal beliau sebagai pribadi yang sederhana, banyak ide, tulus, ikhlas, pekerja keras, dan rendah hati,” kata Nirzalin.

Meski tahu persis kondisi kesehatan Dr Zulfikar, kepergiannya tetap mengejutkan dan meninggalkan kesedihan mendalam bagi Baihaki, dosen di Fakultas Pertanian yang sejak mahasiswa di Universitas Malikussaleh sudah akrab dengan almarhum. "Waktu itu, dosen tentang Ilmu Kelautan sangat minim. Tak heran kalau hampir semua mata kuliah, Pak Zul yang mengajar," ungkap Baihaki yang kini mengabdi di almamaternya.

Selain dosen, lelaki yang gemar fitnes itu sudah menganggap Dr Zulfikar seperti abang sendiri sekaligus sahabat karena ia banyak belajar dan berbagi dengan almarhum.    

Kepergian Zulfikar bukan saja kehilangan bagi Universitas Malikussaleh, tetapi juga kehilangan bagi semua pihak yang peduli pada lingkungan hidup, terutama pelestarian penyu. Selamat jalan Pak Zul, ragamu pergi, tetapi keteladananmu abadi.[Ayi Jufridar/Riyandhi Praza]  

Baca juga: Berita Duka: Kepala Marine Center Universitas Malikussaleh Meninggal Dunia


Kirim Komentar