Oleh Maulana Arya Jimbaran
Mahasiswa Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Melalui Pandemi Covid-19, kita disadarkan betapa berharganya vaksin di dalam kehidupan manusia. Dengan tahapan dan pengujian yang panjang serta biaya yang tidak murah, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) memperkirakan butuh waktu paling cepat 12 bulan untuk membuat vaksin Covid-19 yang aman dan efektif.
Vaksin diburu karena memang prestasi vaksin tidak diragukan lagi. Sejarah mencatat vaksin pernah berhasil mengakhiri wabah smallpox, penyakit cacar mematikan disebabkan oleh virus yang menewaskan 300 juta orang di abad ke-20. Melalui vaksinasi massal di seluruh dunia, pada tahun 1980 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan bahwa smallpox berhasil dieradikasi, alias nol kasus, tidak ada lagi kasus baru.
Kini dunia sedang berlomba membuat vaksin Covid-19. WHO mendata (22/05) terdapat sekitar 114 kandidat vaksin Covid-19 sedang dalam tahap uji preklinis dan 10 kandidat vaksin yang sudah masuk ke tahap uji klinis. Semuanya masih dalam tahap penelitian.
Ketika vaksin Covid-19 berhasil dibuat, mungkin kita membayangkan bahwa nasibnya akan mengikuti smallpox, diadakan vaksinasi massal kemudian Covid-19 berhasil dihilangkan. Padahal kenyataannya tidak semulus itu. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Kegawatdaruratan Kesehatan WHO, Dr Michael Ryan dalam konferensi pers (13/05), bahwa salah satu tantangan yang akan dihadapi setelah vaksin dibuat adalah memastikan orang bersedia divaksin.
Vaksin bukan lagi barang baru. Sudah banyak penyakit yang berhasil dibuatkan vaksin. Namun hingga kini belum ada satu pun penyakit selain smallpox dan rinderpest (penyakit pada sapi), yang berhasil dieradikasi. Salah satunya karena makin bertambahnya jumlah orang yang menolak vaksinasi. Kampanye-kampanye aktivis anti-vaksin dan teori konspirasi kian merajalela. Terjadi penolakan vaksinasi yang berdampak semakin jauhnya kita dari target untuk mencapai eliminasi (penekanan angka kejadian penyakit menular serendah mungkin), apalagi eradikasi (nol kasus).
PR Besar Provinsi Aceh
Data dari Kemenkes RI, dalam Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018, Provinsi Aceh merupakan provinsi terendah ke-2 se-Indonesia untuk cakupan Imunisasi Dasar Lengkap, 39,45% dan terendah untuk cakupan Imunisasi Campak, yaitu 44% (Target 95%). PR besar bagi Aceh untuk menuntaskan persoalan ini. Jika dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan di Aceh akan muncul wabah penyakit lain yang sebenarnya bisa dicegah dengan vaksinasi.
Jika dicermati, ada beberapa pokok persoalan yang menghambat vaksinasi di Aceh. Masalah-masalah ini seharusnya sudah harus segera diselesaikan untuk mencegah timbul permasalahan khususnya di bidang kesehatan.
Halal-Haram Vaksin
Isu vaksin mengandung lemak babi menguat ke publik sejak diadakan Imunisasi MR (Measles/Campak dan Rubella) di seluruh Indonesia tahun 2018 kemarin. Program Kemenkes tersebut sempat terhenti karena ramainya penolakan dari masyarakat. Atas ajuan Menkes, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa (No. 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR untuk Imunisasi) yang menyatakan bahwa vaksin tersebut adalah haram, karena dalam pembuatannya memanfaatkan bahan dari babi. Namun yang sering kali tidak tersampaikan ke masyarakat adalah juga tercantum dalam fatwa, hukum penggunaan vaksin MR saat ini adalah mubah (dibolehkan), mempertimbangkan kondisi darurat dan belum ditemukannya vaksin MR yang halal dan suci. Informasi ini yang seharusnya juga sampai ke masyarakat. Tidak karena haram lalu ditolak begitu saja, karena ada banyak hal yang turut menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum ini.
Dalam menetapkan halal-haram vaksin, ada dua ranah yang terlibat, yaitu keagamaan dan kesehatan. Sudah sepatutnya menyerahkan persoalan ini kepada yang ahli di ranah tersebut, yaitu ulama dan dokter. Melalui kacamata merekalah dapat diperoleh pandangan yang sesuai sehingga berakhir kepada keputusan yang tepat.
Kita tahu Aceh kental dengan nilai agama, berpegang teguh pada syari’at Islam. Dalam syari’at terkandung perintah untuk menaati para Ulama. Sebenarnya dari sini pemerintah dapat mengambil poin penting bahwa Ulama memegang peran kunci untuk meluruskan pemahaman masyarakat Aceh mengenai hukum vaksinasi. Galakkan edukasi mengenai vaksin di dayah, libatkan ulama dalam sosialisasi program imunisasi, sampaikan ajakan imunisasi dalam ceramah-ceramah. Langkah semacam inilah yang semestinya diambil dan diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan ini.
Urusan Pribadi
Kebanyakan orang berprinsip, “Urusan masing-masing mau vaksinasi atau tidak”. Sekilas memang sah-sah saja pernyataan tersebut. Tapi kalau kita memahami lebih dalam bagaimana prinsip vaksinasi, ada tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar ‘urusan masing-masing’.
Pada prinsipnya, vaksin membentuk imunitas spesifik sehingga orang yang divaksin bisa kebal terhadap penyakit tertentu. Ketika jumlah orang yang divaksin telah banyak jumlahnya dan mencapai suatu ambang tertentu, maka terbentuklah yang dinamakan kekebalan kelompok. Melalui perlindungan tidak langsung, orang yang telah divaksin bisa melindungi orang lain yang tidak divaksinasi. Teori ini dikenal dengan istilah ‘Herd Immunity’ (Kekebalan Kelompok). Kalau sudah terbentuk Herd Immunity, penyakit menular bisa ditekan angkanya bahkan bisa ter-eradikasi. Namun tanpa jumlah yang cukup, maka Herd Immunity takkan bisa tercapai dan penyakit tersebut akan terus menetap di daerah tersebut.
Karenanya keputusan vaksinasi tidak hanya sekedar urusan individu saja, namun ada tanggung jawab sosial di balik itu. Menolak vaksinasi sama saja dengan meninggalkan tanggung jawab sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Pola pikir ini harus ditanamkan ke seluruh masyarakat bahwa solidaritas sangat dibutuhkan untuk memberantas penyakit menular.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Takut akan terjadi hal buruk setelah divaksin sudah menjadi bagian dari Imunisasi. Berbagai cerita menakutkan menimbulkan keraguan untuk mengambil keputusan. Hal ini kebanyakan disebabkan adanya kesalahpahaman bahwa semua kejadian yang terjadi setelah diimunisasi disebabkan oleh vaksin, padahal tidak semuanya. Seperti dilansir dari situs Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), laporan kasus beberapa anak lumpuh setelah mendapat vaksin polio di Jawa Barat ternyata bukan disebabkan vaksin polio, melainkan virus polio liar yang sudah menyerang sebelum diimunisasi.
Kemungkinan terjadi KIPI berat hanya 1 dari 2 juta dosis. Kalau ada 22 juta balita, kemungkinan KIPI berat hanya sekitar 11 anak, jauh lebih banyak korban kecelakaan lalu lintas. Karena itu masyarakat harusnya lebih takut pada kecelakaan ketimbang imunisasi (IDAI, 2013). Masyarakat juga harus memahami bahwa vaksin yang beredar sudah melalui penelitian yang panjang dan tidak mungkin diizinkan beredar apabila menimbulkan bahaya bagi manusia.
Belum Terlambat untuk Berbenah
Tidak ada kata terlambat untuk berbenah diri. Aceh masih bisa mengejar ketertinggalan asalkan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat saling memberikan dukungan. Cukuplah Pandemi Covid-19 menyadarkan kita untuk mensyukuri dan menghargai apa yang sudah kita punya. Doakan juga para peneliti vaksin agar dimudahkan dalam membuat vaksin yang aman, efektif, dan juga halal.
Maulana Arya Jimbaran adalah Mahasiswa Program Studi Kedokteran Universitas Malikussaleh yang sedang mengikuti KKN di bawah bimbingan Arif Rahman MH
Artikel ini telah terbit di Harian Rakyat Aceh Edisi Rabu, 27 Mei 2020.