Rumoh Geudong dan Politik Pelupaan

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya. Foto : ist

Teuku Kemal Fasya

27 Juni 2023, Presiden Joko Widodo mengunjungi Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Aceh. Ini adalah kunjungan kesepuluh Jokowi ke Aceh, sebuah rekor yang belum pernah dilakukan presiden R.I sebelumnya. Namun kedatangan kali ini sepertinya membawa luka dan lupa.

Kehadiran Jokowi adalah bagian dari kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagai implementasi Inpres No. 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat.

Inpres itu sendiri adalah lanjutan Keppres No. 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim PPHAM Berat, titik awal pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Sebagai langkah awal ada 12 peristiwa kekerasan yang diakui, di antaranya peristiwa 1965-1966; Penembakan Misterius 1982-1985; Talangsari, Lampung 1989, dan tiga kasus di Aceh : Rumoh Geudong, Pidie 1989; Simpang KKA, Aceh Utara 1999; dan Jambo Keupok, Aceh Selatan 2003. Saat itu Presiden menunjukkan penyesalan atas prahara kemanusiaan itu dan menunjukkan empati kepada korban. Ia berharap adanya pemulihan hak korban secara adil dan bijaksana (Kompas, 12/1/ 2023).

 

Contradictio in terminis

Namun segala idealisme penyelesaian pelanggaran HAM berat, menjadi hambar dalam praktik. Menjelang kedatangan Jokowi, sisa bangunan Rumoh Geudong yang dibakar beberapa saat setelah kedatangan Tim Pencari Fakta Komnas HAM, Baharuddin Lopa, 20 Agustus 1998, telah hilang hampir keseluruhan. Rumoh Geudong merupakan catatan pelanggaran HAM pertama yang tercatat di Aceh pasca-pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM), 7 Agustus 1998.

Saat itu Lopa masih menemukan bukti dan saksi yang “tak terbahasakan”, seperti bercak darah di dinding, pohon kelapa, dan tumpukan koran. Juga ditemukan potongan jari tangan, kaki, dan rambut (Serambi Indonesia, 22 Agustus 1998). Pada 2018 Komnas HAM menjadikan tragedi Rumoh Geudong situs pelanggaran HAM berat karena beragam kejahatan pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kebebasan fisik, dan penghilangan paksa terjadi di sana (BBCNews Indonesia, 23/6/2023).

Rumoh Geudong sendiri merupakan bangunan bersejarah. Rumah itu milik bangsawan (uleebalang) Pidie, Teuku Raja Lamkuta, yang dibangun pada 1918.

Bangunan rumah panggung itu dijadikan pos perlawanan terhadap Belanda, yang dilanjutkan generasi penerusnya. Di masa pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka rumah itu dihuni oleh Teuku Raja Umar dan keturunannya, anak dari Teuku Keujreun Husein (Serambi Indonesia, 23/6/2023)

Setelah kemerdekaan, bangunan ini sempat terbengkalai karena eksodus keluarga uleebalang, kemungkinan sebagai dampak tragedi Cumbok. Pihak ahli waris sempat menolak Rumoh Geudong dijadikan Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis), karena akhirnya sejarah rumah itu bernoda, dari heroik menjadi ironi.

Menjelang kedatangan Jokowi, lahan itu sudah diratakan dengan tanah, termasuk sisa dinding rumah, dinding toilet, dan sumur yang disumpal tanah. Hanya tinggal tangga beton yang rencana akan ikut dihancurkan setelah rombongan Presiden meninggalkan lokasi. Menurut Pj Bupati Pidie, semua bekas dari Rumoh Geudong harus dihilangkan karena itu bukan sejarah dan hanya akan menjadi kenang-kenangan luka (Sinarpidie.co, 23/6/2023).

 

Antipolitik memori

Inilah ironi lain dari penyelesaian kasus HAM berat masa lalu, dan terjebaknya Aceh pada ruang gelap pembangunan dan enigma demokrasi Aceh pasca-konflik. Upaya tak sungguh-sungguh menyelesaian masalah pelanggaran HAM memunculkan anomali dalam pengelolaan otonomi khusus (Tornquist, 2010), eskapisme pada simbol-simbol religiositas (Aspinal, 2009), dan gagalnya terbangun etika politik akibat sumirnya narasi kekerasan dan kesalehan di ruang publik (Kloos, 2018).

Praktik dari kick off peristiwa Rumoh Geudong adalah dialektika negatif dari langkah politik memori sejarah kelamnya. Memakai perspektif Bell (2006), politik memori adalah cara untuk memperbaiki ruang sosial-politik yang terlanjur cacat oleh konflik, karena produksi sejarah pascakonflik hanya membangun identitas politik nasional dari kelompok berkuasa.

Tesis ini ditunjukkan oleh daerah-daerah yang pernah remuk redam oleh konflik dan kolonialisasi di masa lalu, hanya akan mungkin membangun identitasnya dengan gerakan politik memori, seperti yang kini dilakukan di Latvia (Gibson, 2016), Rumania (Tismaneanu, 2008), Polandia (Wawrzyniak), dan Irlandia (Pine, 2011). Untuk tragedi 1965-1966 pekerjaan politik memori dilakukan oleh Anderson (1971, 1990, 2001), Budiawan (2004), dan Roosa (2008).

Sejarah kekerasan DOM dan Darurat Militer di Aceh telah meninggalkan banyak kisah yang tidak diakui. Pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat di masa lalu harus dimulai dengan menerima sejarah korban sebagai bagian yang nanti ditulis di dalam sejarah nasional.

Ada Geschichtspolitik atau politik ingatan yang ikut memengaruhi representasi kronik bangsa yang harusnya terekam di “museum-museum sejarah” (Gibson, 2016). Tragedi Talangsari; Tanjong Priok dan Semanggi di Jakarta; Simpang KKA, Jembatan Arakundo, dan kasus Bantaqiyah di Aceh; Wasior dan Wamena di Papua, atau kasus dukun santet di Jawa Timur adalah bagian dari sejarah gelap bangsa yang harus dengan kesatria dimemorialisas dengan politik narasi yang empatik. Politik narasi “Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi” masih cenderung melakukan “seleksi borjuis” tentang mana yang dipertahankan sebagai ingatan dan mana yang harus dilupakan.

Era Jokowi harus melepas belenggu dari situasi itu, dan membuka ruang kontestasi tentang memori kolektif masa lalu dan langkah apa yang dilakukan saat ini. “Bekas” rejim lalu terkait dengan apa yang dipahami sebagai sejarah, harus dibenturkan dengan gerakan politik memori dari korban untuk melakukan perjuangan di medan kebenaran (the terrain of truth) (Hodkin dan Radstone (ed), 2003).

Logika penghancuran situs itu sebagai upaya menghilangkan bekas konflik malah memberikan penanda sebaliknya; bahwa ada kejahatan serius di sana yang coba dikhianati. Bahkan lebih luas lagi, ada pengingkaran komitmen pemerintah untuk memberikan penyelesaian yang berkeadilan kepada korban, termasuk menulis ulang sejarah Indonesia, seperti pernyataan Amnesti Internasional Indonesia.

Semoga Presiden mencermati situs terakhir yang tersisa di Rumoh Geudong itu, yaitu tangga (undakan) beton. Dari sana, kemudian muncul perenungan dari kebeningan batin untuk merekonstruksi, mememorialisasi, dan menarasikan tragedi Rumoh Geudong. Karena tak mungkin rekonsiliasi bermartabat bisa dibangun di atas puing-puing keterlupaan.

 

Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh Aceh. Sedang menulis disertasi tentang Tragedi Cumbok, rekonsiliasi, dan politik memori di Universitas Sumatera Utara.

Dimuat pertama kali di Kompas, 26 Juni 2023.


Berita Lainnya

Kirim Komentar