Rekonsiliasi Sunyi Perdamaian Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh

Oleh: Teuku Kemal Fasya

KOMISI Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh melaksanakan kegiatan Rapat Dengarkan Kesaksian  atau RDK di gedung DPRK Aceh Utara, 16-17 Juli 2019.

Kegiatan ini kedua kali dilaksanakan KKR Aceh pasca-pembentukannya pada 2016 berdasarkan Qanun No. 17/2013. Penulis sendiri diminta sebagai saksi ahli dalam mendengarkan kesaksian korban pelanggaran HAM yang secara keseluruhan terbagi dua fase. Pertama, pelanggaran HAM pada saat diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998, dan kedua pada masa pasca-reformasi atau jatuhnya Soeharto hingga menjelang perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005.

Ada 16 orang yang menjadi saksi/korban yang menceritakan pengalaman traumatik yang mereka alami. Ada kisah tentang orang yang langsung jatuh miskin ketika rumah dan pertokoannya dibakar aparat keamanan yang tak berhasil menangkap kelompok GAM yang menembak rekan mereka. Ada kisah seorang ibu yang anak perempuannya mati ditembak aparat keamanan karena karena menjalankan fungsi sebagai relawan medis. Pelaku pembunuhan diketahui karena salah seorang rekannya berhasil melarikan diri dan selamat hingga kini.

Ada kisah seorang anak yang mengalami kesedihan beruntun. Pertama pada satu hari di bulan puasa 1999 ia menghadapi kenyataan ayahnya dibunuh oleh “kelompok gerilyawan”. Mayatnya dimasukkan ke dalam karung dengan alat kelamin terpotong dan tulisan “ini penghianat bangsa”. Pada 2003 ia kembali berduka, ibunya ditembak di kepala. Ceritanya sang ibu tak sanggup lagi memenuhi permintaan “pajak nanggroe” oleh GAM. Ada kisah seorang bapak yang disiksa, disundut alat kelaminnya dengan puntung rokok hingga mengalami impotensi. Ia dituduh menyimpan senjata, padahal seumur hidup tak pernah memegang senjata.

Melampaui kengerian
Kisah-kisah memilukan itu berhasil diceritakan oleh para saksi/korban dengan segala ekspresi. Ada yang bercerita sambil terburai tangis. Ada yang bisa tetap tenang mengisahkan sambil menekan rasa sakit. Ada yang terbata-bata. Meskipun demikian, mereka memiliki keberanian besar untuk menceritakan kisah kelam masa lalu itu dengan pasti.

Keberanian yang besar itu berbanding terbalik dengan “kehati-hatian” penyelenggara kegiatan. Berkali-kali panitia membuat disclaimer bahwa kegiatan itu tidak boleh direkam dan segala hal beresiko hukum terkait publikasi menjadi tanggung-jawab pribadi. Penulis memiliki fasilitas untuk mengakses catatan kronologi karena menjadi saksi ahli dalam kegiatan RDK itu. Tanpa publikasi dan diseminasi wacana, momentum RDK ini akan punah menjadi arsip berdebu. Tidak akan membekas sebagai momentum kebenaran bagi publik.

Secara lebih luas, penulis merasakan masih banyak ketakutan yang bersarang dimana-mana. Entah itu pada diri komisioner KKR, pemerintah lokal dan nasional, aparat keamanan, dan secara luas negara ini sendiri. Tindakan meredam publikasi dalam konteks perdamaian Aceh yang telah berumur 14 tahun bukan upaya konstruktif untuk melangkah lebih maju membangun perdamaian yang lestari (sustainable peace).

Padahal, setelah melewati tahun-tahun yang penuh bahaya dan ketakutan, inilah momentum yang baik untuk menepis krisis kultural itu dengan sikap intelektual dan politik yang jelas. Masa lalu yang kelam itu akan tetap membelah masyarakat dengan persepsi yang rancu tentang keadilan jika tidak ada perjuangan untuk mengakui derita yang diterima korban konflik (Gérard Bouchard and Charles Taylor, Building the Future: A Time for Reconciliation, 2008).

Jika direfleksikan lebih lanjut tentang kelemahan perdamaian Aceh, maka terlihat bahwa masih belum jelasnya agenda rekonsiliasi dalam pembangunan Aceh karena masih adanya misi pragmatis elite politik pascakonflik yang berwawasan sempit. Akhirnya dimunculkan mitos (maop) bahwa membicarakan tentang kepentingan korban konflik akan menggoyang bangunan perdamaian. Padahal mendiamkan masalah itu akan menyebabkan agenda rekonsiliasi menjadi macet dan perdamaian menjadi semu (Scott Kirsch and Colin Flint. "Salient versus Silent Disasters in Post-conflict Aceh, Indonesia" in Reconstructing Conflict, 2016).

Politik keterlupaan
Yang paling buruk dari sejarah rekonsiliasi pascakonflik ialah ketika agenda perdamaian mengarah pada politik keterlupaan  –menyisir konsep Mahmoud Darwish, dalam novelnya Memory for Forgetfulness (1995) tentang pembantaian di Sabra dan Shatilla, Lebanon.

Politik keterlupaan ialah upaya kekuatan politik untuk mengaburkan momen kejahatan masa lalu untuk kepentingan impunitas. Melakukan politik keterlupaan apalagi memaksakan melupakan akan menginduksi lingkaran kejahatan baru. Setiap orang di masa sekarang – terlebih lagi bagi korban – berhak mengetahui sebenarnya apa yang menimpa mereka. Politik rekonsiliasi sesungguhnya membuka mata keadilan atas kejadian masa lalu untuk menjawab masa depannya.

Prinsip rekonsiliasi mensyaratkan upaya mengingat dibandingkan melupakan, mengharapkan adanya permaafan karena sikap tulus pelaku demi menghindari penghukuman. Mekanismenya disesuaikan berdasarkan pengalaman sejarah, karakter sosial-budaya, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Tidak ada teori mutlak rekonsiliasi untuk semua pengalaman kejahatan masa lalu.

Dalam UU Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006 prinsip itu dijalankan oleh secara institusional melalui KKR Aceh yang merupakan bagian dari KKR pusat dan  dapat diselesaikan dengan pendekatan adat (pasal 229 ayat (2) dan (4)). Namun keduanya akhirnya memiliki kendala prinsipil. Pertama, KKR Aceh tidak memiliki cangkang yang bisa menyelaputi legalitas UU KKR karena telah dibatalkannya undang-undang tersebut (UU No. 27 tahun 2004) oleh putusan MK No. 6/PUU-IV/2006.

Kedua, penggunaan mekanisme adat atau kearifan lokal selama ini cenderung menjadi instrumentalis yang mengabaikan kepentingan pemenuhan hak-hak keadilan normatif dan retributif korban. Pendekatan adat dan tradisi dapat digunakan jika diperlukan. Prinsip kearifan lokal ini pernah dipraktikkan di dunia dalam menyelesaikan masalah kejahatan kemanusiaan yang bersifat massif seperti di Timor Leste dan Rwanda.

Di Aceh mekanismenya dikenal dengan duek pakat dan peusijuek. Kedua mekanisme ini pernah dilaksanakan ketika melakukan program reintegrasi sosial eks tapol-napol Aceh pada awal perdamaian Helsinki. Prinsip itu sesungguhnya bisa juga dipraktikkan kepada korban konflik untuk “mendinginkan hati dan pikiran”, menutup perselisihan, dan mengembalikan semangat hidup (peubeudoh seumangat). Namun mekanisme ini tidak untuk memberangus prinsip keadilan jika para korban dan keluarganya melihat ada bercak negatif pada proses itu (Leena Avonius in Birgit Bräuchler, Reconciling Indonesia : Grassroot Agency for Peace, 2009 : 127).

Semua proses itu akan sia-sia jika para pemegang kebijakan, baik di Aceh atau Jakarta, tidak memiki kehendak politik yang kuat. Selama ini penulis mendengar keluhan komisioner KKR Aceh karena pemerintah lokal tidak kunjung menyediakan fasilitas dan anggaran yang cukup untuk menjalankan proyek rekonsiliasi secara otentik. Mereka menganggap agenda ini menjadi tangung-jawab pemerintah pusat. Pandangan yang sama juga ditunjukkan di tingkat parlemen Aceh yang nota bene masih dikuasai kekuatan politik lokal. Agenda keadilan transisional ini menurut mereka seperti pisau bermata dua, bisa melibas pihak mana pun yang punya dosa masa lalu.

Alhasil, proyek rekonsiliasi Aceh masih bermakna ambigu. Nasib berbeda antara korban dan pelaku. Satu bisa tertawa, yang lain masih termangu.

Teuku Kemal Fasya. Dosen FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Dewan pakar Nahdlatul Ulama Aceh.

Opini ini sudah dimuat di halaman harian Kompas pada tanggal 29 Oktober 2019.


Berita Lainnya

Kirim Komentar