Dosen Antropologi Unimal Menjadi Saksi Ahli Kasus UU ITE

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya MHum, Antropolog Universitas Malikussaleh ketika memberikan kesaksian sebagai Saksi Ahli dalam persidangan di pengadilan Banda Aceh, (11/2/2020)

UNIMALNEWS | Banda Aceh -  Kasus pencemaran nama baik yang melibatkan dosen Universitas Syiahkuala, SM, yang telah menarik perhatian publik nasional kembali disidangkan pada di Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Selasa (11/2). 

Pada sidang ketujuh yang dilaksanakan tersebut dihadirkan tiga orang saksi ahli oleh penasehat hukum, LBH Banda Aceh, salah satunya, Teuku Kemal Fasya MHum dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh. Kemal diminta kesaksiannya pada aspek antropolinguistik untuk menganalisis teks whatsapp group yang dijadikan masalah hukum. Dua saksi lainnya ialah Dr Saleh Syafei, dosen Hukum Unsyiah yang memberikan kesaksian kepakaran pada aspek etika dan kebebasan akademik dan seorang lagi Dr Herlambang P Wiratraman, dosen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Surabaya.

Pada kesaksiannya Kemal menyatakan bahwa whatsapp group tidak cukup tepat disebut sebagai sosial media yang bersifat inklusif, karena bergabungnya peserta dalam grup whatsapp diundang dan terbatas, berbeda dengan nature sosial media lainnya. Sehingga aspek “publik” dari whatsapp group masih terbuka diperdebatkan.

Menurutnya secara keseluruhan teks whatsapp terdakwa setelah ditelaah secara semiotika dan konteks antropolinguistik tidak dapat dianggap sebagai wujud pencemaran nama baik. Dalam ïnstitusi perguruan tinggi, sikap mempertanyakan terhadap apapun, sikap curiosity, mental ingin tahu memang dianjurkan. “Bahkan tradisi bertanya memang diharuskan untuk membangkitkan sikap kritis. Memang dalam kritik dikedepankan adalah fakta rasional dan objektif dan tidak menjadi problem personalisasi, sehingga Saya melihat apa yang dilakukan terdakwa adalah kritik pada kinerja pimpinan, dan bukan personal pimpinan, ungkap Kemal.

Lebih lanjut Kemal, yang juga Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Unimal, menyayangkan kasus-kasus keributan dan ketegangan di keluarga besar perguruan tinggi harus diselesaikan dengan cara pengadilan. Ia mengingatkan bahwa era sekarang adalah era keterbukaan. Memang masyarakat kita masih banyak yang belum bisa membedakan mana to criticize (kritik) dan mana to insult/humiliate (menghina). Menghina, mempermalukan, dan merendahkan derajat kemanusiaan orang tidak boleh, tapi mengkritik adalah tradisi yang dianjurkan, apalagi di perguruan tinggi. Ia menyebutkan bahwa dalam grup whatsaap di kampusnya juga kadang ada ketegangan dan salah paham, tapi semua ketegangan itu diselesaikan di dalam grup dan tidak dibawa keluar apalagi ke pengadilan.

Sementara itu Herlambang menyampaikan bahwa situasi saling lapor di dalam dunia kampus sebenarnya bukan fenomena ideal. Harus dilihat bahwa kampus harus siap mengkritik dan dikritik.

Ia juga menyebutkan bahwa pada pimpinan melekat wewenang sedangkan pada individu ada hak. Individu berhak mempertanyakan masalah kebijakan, dan kewenangan pimpinan adalah menjawabnya. Posisinya tidak merepresi setiap sikap kritis sebagai bentuk kriminal, di samping juga setiap regulasi tentang hak-hak sipil dan politik warga negara juga diperkuat oleh kovenan PBB, sehingga dilihat bahwa setiap individu dilindungi hak asasinya termasuk dalam bertanya, berserikat, dan berkumpul. Namun kovenan HAM juga mengatur tentang masalah pencemaran nama baik, cuma harus dilihat bahwa yang dituju adalah individu dan bukan jabatannya. UU ITE yang diberlakukan saat ini pun harus memperhatikan keputusannya jangan sampai melanggar HAM, karena cenderung represif apalagi kepada masyarakat biasa. [ryn].


Kirim Komentar