UNIMALNEWS | Teuku Kemal Fasya, antropolog Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Bulan Ramadan lalu adalah ujian dan cobaan yang sesungguhnya bagi banyak umat di Aceh. Di samping dampak Covid-19 yang menjadi wabah global, masyarakat nanggroe juga beberapa kali menerima hantaman banjir yang membuat kerugian skala besar secara sosial, ekonomi, perdagangan, dan infrastruktur.
Banjir bandang pertama melanda Banda Aceh dan Aceh Besar. Hujan lebat selama lebih 24 jam pada 7-8 Mei telah membuat sebagian besar ibukota provinsi Aceh itu terendam. Banjir itu mengingatkan tenggelamnya Banda Aceh 20 tahun lalu. Banjir pada tahun 2000 ditandai dengan pelantikan Abdullah Puteh sebagai gubernur Aceh. Setelah perbaikan drainase kota di era rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, masyarakat Banda Aceh merasa aman dari banjir. Ternyata banjir bandang kembali berulang.
Selanjutnya pada 10 Mei, banjir melanda daerah Batee Iliek dan 12 kecamatan di Kabupaten Bireuen. Kemudian disusul 11 Mei banjir bandang diikuti sampah kayu dan lumpur mendera Kecamatan Sawang, Aceh Utara dan sekitarnya. Akhirnya Ramadan tahun ini ditutup banjir besar di Paya Tumpi, Aceh Tengah, 13 Mei 2020.
Gejala hancurnya alam
Kesemua banjir bandang itu menjadi penanda rusak parahnya hutan-hutan di Aceh. Meskipun intensitas hujan pada 7-9 Mei cukup tinggi dengan curah hujan 152 mm akibat awan muson Asia, banjir ini memang bisa disebut akumulasi pengelolaan lingkungan Aceh yang buruk.
Tak pelak, air yang mengalir dari hulu Aceh Besar telah menyebabkan terjadinya sedimentasi sungai. Sungai juga mengalami penyempitan karena perusakan di DAS, baik oleh galian, penebangan hutan penopang, dan alih fungsi lahan untuk pertokoan, perumahan, dan pertanian.
Tidak perlu memiliki pengetahuan yang canggih untuk melihat bagaimana daerah penyangga Banda Aceh seperti jejeran Bukit Barisan di pesisir barat Aceh Besar dan kaki gunung Seulawah di sisi timur telah semakin remuk oleh galian C dan juga pembangunan jalan tol. Proyek nasional tol trans-Sumatera yang sedang digarap hingga Sigli menyebabkan lingkungan semakin rusak parah. Memang pembangunan teknoratis tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan akan menyebabkan cacat lingkungan.
Lingkungan yang terluka itu tentu terus membekas dengan nestapanya. Ia memang masih sebagai alam, tapi dengan fungsi baru yang antiresapan, propolutan, dan antitangkal bencana, termasuk penangkal virus dan mikroorganisme yang terlepas ke ruang terbuka. Salah satu alasan perkembangan genetika virus Corona diakibatkan rusaknya hutan-hutan dunia. Belantara yang dulunya mysterium tremendum et fascinans : misteri ilahi yang menjerikan sekaligus memukau, kini hanya tampak seperti murka Tuhan.
Seperti juga banjir Krueng Batee Iliek adalah resultante dari kejahatan lingkungan yang terjadi berbilang tahun di daerah itu. Penambangan galian C dengan alat berat menjadi pemandangan yang memilukan yang bisa dipantau oleh publik sejak jembatan Batee Iliek. Banjir di Kecamatan Sawang adalah tandasnya hutan sekitar, salah satu yang paling rimbun di Aceh Utara, kini menjadi lahan gersang dan tandus. Sepanjang perjalanan menuju Takengon lintas KKA kita bisa melihat bagaimana hutan dan perbukitan itu sirna dengan “cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Ikan keureuling dan rusa yang dulu mudah terlihat, kini telah semakin langka. Jangan ditanya bagaimana nasib satwa liar seperti beruang, harimau, dan gajah yang pasti menyingkir karena sifat keserakahan manusia yang tak terpermanai itu. Tempat wisata di Gunung Salak, Aceh Utara, tanpa hiasan pohon-pohon besar yang habis dimangsa manusia.
Natural recovery, mungkinkah?
Solusi yang kerap mudah diucapkan tapi sangat sulit dilaksanakan ialah program pemulihan alam. Program natural recovery pada objek yang rusak oleh tangan manusia memang memerlukan pendekatan pemulihan jangka panjang dan memakan biaya besar dibandingkan bencana alam seperti gempa, longsor, dan pasang air laut.
Sebenarnya Aceh pernah memiliki program Aceh green yang dicanangkan mantan gubernur Irwandi sejak periode pertamanya, 2007-2012. Namun dalam implementasi program itu tidak berjalan konsisten. Upaya menegaskan kembali pembangunan Aceh yang berwawasan lingkungan terganjal oleh situasi kompleks lainnya. Pemerintahan Aceh pasca-MoU Helsinki memang mengampanyekan menyelamatkan hutan Aceh demi anak-cucu, tapi harus kalah oleh permintaan logistik skala gigantik untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami.
Akibatnya Aceh terus kehilangan tutupan lahan 32 ribu hektar per tahun hingga 2012. Beberapa tahun terakhir trennya tidak separah di era rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, tapi laju deforestasi tetap terjadi sehingga menyebabkan lingkungan Aceh bopeng-bopeng. Data Yayasan Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyebutkan, laju kehilangan tutupan di Kawasan Ekosistem Leuser pada 2019 sebesar 15.140 hektare. Kehilangan hutan itu sama dengan 2,5 kali luas Kota Banda Aceh!
Implementasi ini semakin berat karena pemerintah kabupaten/kota di Aceh juga sebagian besar tidak memiliki kepedulian pada program pelestarian lingkungan. Hutan dan sumber daya hayati Aceh tidak disadari sebagai investasi pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability in Development). Hal itu terlihat pada kebijakan pemerintah kota/kabupaten yang mudah memberikan izin pada kegiatan perkebunan, pertambangan, dan penebangan di kawasan hutan. Meskipun lisensi pemanfaatan lahan secara administratif ada di tangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) - yang merupakan lembaga vertikal - tetap ada peluang berkilah melalui rincian kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam mengeksploitasi lingkungan hingga tandas.
Watak pemerintah daerah bak raja lokal menyebabkan krisis lingkungan itu berdampak luas, baik pada aspek ekologis, ekonomis, sosial, dan budaya. Amatan penulis atas keberadaan lima pemerintahan kota di Aceh, hanya Pemerintah Kota Langsa yang memiliki visi lingkungan yang baik. Itu terlihat dengan adanya taman hutan kota dan hutan manggrove yang dikelola dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Belum lagi kemampuan mereka melibatkan instansi lainnya seperti instansi keamanan dan kampus untuk ikut menjaga dan memelihara lingkungan. Maka tak heran ruang terbuka hijau (RTH) Kota Langsa itu kerap mendapat liputan baik nasional atau internasional.
Walikota lainnya terlihat amatiran ketika mengelola lingkungan, baik pengelolaan sampah, inisiatif tumbuhnya sentral lahan hijau baru, hingga pemeliharaan hutan kota. Bahkan tak jarang Dinas Lingkungan Hidup ikut merusak lingkungan seperti membiayai penebangan pohon kota dan jalan. Inilah ambiguitas kedinasan yang harusnya lebih peduli lingkungan biotik dibandingkan instansi pemerintah lainnya.
Di sisa pemerintahan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, kita berharap ada sikap jelas dan tegas menyelamatkan hutan-hutan Aceh. Tentu menyelamatkan hutan bukan program borjuis dan eksklusif, karena ia akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Aneka keuntungan bisa diambil, baik secara medikal/farmasis sebagai sentra obat-obatan alami dan penyuplai oksigen murni hingga kepentingan ekonomis untuk pariwisata dan kesejahteraan bagi komunitas penjaga hutan. Sebagai sarjana teknik, Nova diharapkan memiliki pengetahuan ekologis sebaik pengetahuan teknokratisnya dalam melihat pembangunan.
Menyelamatkan lingkungan menjadi sinyal pembangunan itu bervisi jangka panjang dan berkelanjutan. Dusta jika mengatakan pembangunan untuk masyarakat, tapi hutan-hutan terus dihancurkan, bukit-bukit diratakan, sungai-sungai didangkalkan, sumber air bersih dikeruhkan, cukong-cukong dikenyangkan, dan sebagian uang haram itu mengalir ke kantong-kantong pejabat atas nama fee proyek. Doa dan zikir dari masyarakat paling religius pun tak akan mempan jika kita terus menabung katastrofi alam. Kiamat lingkungan akhirnya diciptakan oleh keserakahan menjajal alam hingga karam.
Tulisan ini dipublikasi pertama sekali di Serambi Indonesia, 30 Mei 2020.