Budaya Patriarki vs Stigma Negatif Kaum Feminis

SHARE:  

Humas Unimal
Firya Faiza, Pemenang pertama Lomba Menulis Artikel "Semangat Perubahan Aceh Baru 2021" yang digelar Universitas Malikussaleh, SKK Migas, dan Premier Oil Andaman Ltd A Harbour Energy Company. Foto: Ist.

Oleh: Firya Faiza

Manusia adalah makhluk yang selalu menarik untuk diamati, diteliti, dan dibicarakan. Keberadaannya yang eksistensial hingga saat ini tak membuat relevansinya lekang oleh masa, justru kajian mengenai "primata berakal budi" ini semakin berkembang seiring dengan peradaban yang kian maju. Dari sudut pandang sejarah, hal yang membuat makhluk ini berbeda dengan yang lain adalah karena kemampuannya untuk menjadi subjek dan objek sejarah secara sekaligus. Oleh karenanya, bahasan mengenai fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat seakan tidak ada putusnya.

Pejuang keadilan sosial
Seperti yang baru-baru ini terjadi, misalnya, jagat maya diramaikan dengan istilah baru yang tak jarang cukup memekikkan di telinga. SJW, contohnya, merupakan kepanjangan dari Social Justice Warrior atau Pejuang Keadilan Sosial. Meski bukan perkara baru, namun istilah ini mulai dimaknai secara peyoratif serta ditujukan kepada mereka yang rajin menyuarakan isu keadilan sosial. Selain pandangan mengenai politik dan lingkungan, salah satu isu sensitif yang diangkat oleh mereka yang dicap dengan label SJW adalah soal feminisme.

Pergolakan yang terjadi di jagat maya ini bukan tanpa alasan. Sejak dulu, budaya patriarki telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kita, dimana sistem ini menempatkan laki-laki dalam posisi sentral, sementara perempuan berada di bawahnya sebagai makhluk kelas dua. Ditilik dari sejarahnya, budaya patriarki telah ada sejak fajar peradaban, dimana saat nenek moyang kita masih dalam fase berburu dan meramu. Erich Fromm menyatakan bahwa sistem patriarki, dimana kaum laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan untuk mengatur perempuan berlaku hampir di seluruh dunia. Pengecualiannya berlaku pada komunitas primitif kecil tertentu, dimana ditemukannya sisa-sisa dari bentuk matriaki yang lebih tua (Fromm, 2002: 177).

Laporan dari The Global Gender Gap Index 2020 menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari 153 negara dalam hal kesetaraan gender dengan skor 0,70. Empat dimensi utama yang dijadikan acuan dalam perhitungan indeks ini termasuk partisipasi dan pemberdayaan ekonomi dan politik, tingkat pendidikan, serta kesehatan, dan harapan hidup. Hasil laporan tersebut menunjukkan, butuh waktu puluhan tahun lamanya untuk mengentaskan masalah ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia.

Angka tersebut bukan merupakan sebuah hal yang patut dibanggakan. Belum lagi kita harus dihadapi pada kenyataan bahwa pandemi COVID-19 ikut ambil andil dalam memperkeruh masalah ini. Data kembali berbicara, Komnas Perempuan mencatat tingkat kekerasan terhadap perempuan naik sebanyak 63 persen selama pandemi COVID-19 (Media Indonesia, 12 Desember 2020). Mirisnya, sebagian besar pelaku merupakan orang terdekat korban, seumpama ayah atau suami. Angka tersebut belum termasuk kekerasan yang tidak dilaporkan. Artinya, mestilah jumlah kekerasan itu jauh lebih banyak dari yang tercatat saat ini.

Ketika rumah tak lagi menjadi tempat yang aman untuk dihuni, lantas kemana lagi rasa aman itu hendak dicari?

Pertanyaan itu lahir dari para feminis yang hendak meluruskan ketimpangan gender di masyarakat. Mereka berpandangan bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang setara dalam menjalankan kehidupannya. Di sisi lain, tak sedikit pihak yang masih salah kaprah mengenai konsep feminisme.

Banyak yang beranggapan, seorang feminis pastilah membenci laki-laki, serta berupaya melemahkannya melalui dekonstruksi maskulinitas yang mereka lakukan. Atau stigma yang lebih parah lagi berkenaan dengan konsep religiusitas, feminis mestilah ateis dan anti akan keberadaan Tuhan. Dengan membela hak-hak perempuan, mereka kerap diberi embel-embel "SJW" oleh oknum tak bertanggung jawab.

Sudah seharusnya stigma negatif yang merebak di masyarakat itu diluruskan. Feminis bukanlah orang-orang yang anti terhadap paham agama dan kepercayaan tertentu, karena semua agama dan kepercayaan sepakat untuk tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin (Junaidi, Heri, dan Abdul Hadi, Muwazah: Gender dan Feminisme dalam Islam, Vol. II No. 2, Des 2010). Adapun mengenai anggapan feminis berupaya untuk melemahkan kekuatan lelaki, tentu hal itu tidak benar. Kasus pelanggaran tak mengenal bias gender manapun, artinya baik laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi pelaku maupun korban.

Sebagai contoh, kita bisa belajar dari kasus pelecehan yang dialami salah satu atlet bulu tangkis ternama asal Indonesia, Jonatan Christie. Jojo, begitu panggilan akrabnya, sempat menjadi trending topic pada Asian Games 2018 lalu setelah pose selebrasinya di lapangan tersebar ke seantero jagat maya. Kata sebagian netizen, wajah tampan dan otot perut Jojo yang sixpack itu sukses memikat hati dan birahi mereka. Walhasil, atlet kelahiran 15 September 1997 itu terpaksa harus menanggung komentar-komentar bernada melecehkan dari penggemar wanitanya.

Berangkat dari kenyataan tersebut, sudah seharusnya masalah ketimpangan gender menjadi pekerjaan rumah bagi segenap kalangan. Sebagai masyarakat Aceh, kita patut belajar banyak tentang betapa vitalnya kiprah perempuan pada era kejayaan Seuramoe Mekkah. Mari belajar dari sejarah, negeri ini punya banyak tokoh feminis wanita yang harum namanya.

 

Belajar dari sejarah
Sebuah hadih maja masyhur lahir mengenang masa gemilang kesultanan Aceh, Adat bak Poteu Meureuhom, qanun bak Putroe Phang, hukom bak Syiah Kuala, Reusam bak Laksamana. Putroe Phang, yang merupakan permaisuri sekaligus penasihat Sultan Iskandar Muda, dijadikan simbol akan peraturan perundang-undangan (qanun). Bukan tanpa alasan, Sang Permaisuri yang dikenal brilian tersebut merupakan sosok di balik pembentukan parlemen di masa itu.

Selain Putroe Phang, masih banyak sosok perempuan lain yang kisahnya patut dijadikan teladan tentang betapa fundamentalnya peran perempuan di tengah-tengah masyarakat. Sudah saatnya kita menyatukan tekad menuju kesetaraan, karena ketidakadilan adalah musuh yang harus diperangi bersama. Seperti yang pernah dikatakan feminis tersohor asal Australia, G.D. Anderson, bahwa feminisme bukan tentang bagaimana caranya membuat wanita semakin kuat, karena sejatinya wanita sudah menjadi sosok yang kuat. Feminisme adalah cara mengubah pandangan dunia untuk menerima eksistensi kekuatan tersebut.[]

***

Artikel ini merupakan juara pertama Lomba Menulis Artikel “Semangat Perubahan Aceh Baru” 2021 yang digelar Universitas Malikussaleh, SKK Migas, dan Premier Oil Andaman Ltd A Harbour Energy Company.

 

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar