Oleh: Abiyyu Aulia
Sejak diluncurkan pada 2020, program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM), Kemendikbudristek telah memberikan dampak besar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Transformasi pendidikan yang berfokus pada konsep “merdeka” telah mendorong mahasiswa menjadi lebih proaktif dalam mengembangkan kualitas diri dan soft skill mereka.
Program ini sendiri telah mengubah lanskap pendidikan nasional yang sebelumnya berorientasi secara didaktik-skolastika, menjadi lebih kontekstual. Pendidikan bukan sekedar proses formalitas belaka, tapi berpengetahuan secara praksis memperkaya khazanah ilmiah dengan pengalaman kultural di tempat-tempat baru. Salah satu program yang diminati adalah Program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) atau pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Penulis sendiri berkesempatan untuk belajar di University of Szeged, Hungaria selama satu semester.
Program IISMA sendiri diluncurkan pada 2021, atau satu tahun setelah MBKM dijalankan. Program ini merupakan langkah strategis mengampanyekan Indonesia. Penulis sangat beruntung dapat mengikuti program ini, karena selain mendapatkan pengalaman belajar internasional, juga dapat memperluas wawasan dan jaringan pertemanan di kancah global. Beberapa mahasiswa dari kampus di Aceh sudah juga dapat menikmati program “magang intelektual” ke luar negeri, seperti yang diterima mahasiswa Universitas Syiah Kuala baru-baru ini (Serambi,27/8/2024).
IISMA sebagai “soft-diplomacy”
Mobilitas pelajar internasional telah lama diakui sebagai alat diplomasi publik yang ampuh. Di masa kolonial para mahasiswa Indonesia seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Soedjatmoko, Ali Sastroamidjojo yang kemudian mengembangkan aksi dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Salah satu “aksi literal ala Voltaire” dilakukan oleh Hatta melalui tulisan-tulisannya di majalah Indonesia Merdeka. Demikian pula para mahasiswa Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru yang kemudian menjadi pemimpin bangsa. Pengalaman belajar di luar negeri menjadi pemompa energi untuk melihat Indonesia secara lebih progresif.
Penulis sendiri mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Eropa (Hungaria), bukan hanya memperkaya pengetahuan akademis, tetapi juga memperluas wawasan budaya dan jaringan sosial internasional.
Hungaria sendiri adalah sebuah negara di Eropa Tengah yang dipenuhi sejarah yang bergerak dinamis. Negeri pernah menjadi kekuataan menengah di Eropa pada abad 11 melalui kerajaan Kristennya. Kemudian pada abad 16 sebagian wilayahnya dikuasai oleh kerajaan Ottoman, sehingga memberikan endapan Islam pada sebagian infrastruktur. Pada awal abad ke-20 Hunagria kuno terpecah menjadi wilayah multinasional (Austria-Hungaria, Serbia, Kroasia, Ukraina, dan Rumania). Sebagian peradaban Eropa klasik, arsitekturnya juga mengagumkan dan menunjukkan kebesaran feodalisme-nya pada masa lalu. Sungai Danube yang membelah Budapest, ibukota Hungaria menjadi wadah diorama yang melintasi sejarah kompleks negara ini.
Ketika belajar di Hungaria, penulis merasakan transisi dari budaya negara ini, yaitu sebuah masyarakat yang dibahasakan oleh sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1986) sedang menuju perubahan dengan keterputusan sejarah yang dimilikinya. Antara kegemilangan masa lalu dan kemandekan modernitas yang dialaminya di saat ini, menjadi energi untuk melampaui sejarah yang ada.
Sebagai negara Eropa, Hungaria modern tertinggal dibandingkan Jerman, Austria, Swiss, atau Perancis. Namun masyarakat Hungaria sendiri tidak ingin menjadi prototipe dari negara-negara yang terkenal itu. Ia ingin menjadi dirinya dengan karakter khas yang membentuk masyarakat dan kebudayaannya di masa lalu. Artinya, peran pascakolonial juga dilakukan oleh pemimpin dan juga masyarakatnya untuk tidak jadi peniru. Salah satu yang terkenal ketika presiden dan masyarakat Hungaria tidak terpapar oleh teror global Covid-19 yang melanda sejak tahun 2020 di seluruh dunia.
Nilai-nilai inilah yang penulis dapatkan dari Hungaria untuk diamplifikasi di Indonesia, termasuk Aceh. Aceh yang tertinggal, tidak perlu rendah diri, tapi bisa melihat keunggulan kompetitifnya pada sisi lain. Istilah Bourdieu disebut kemampuan melakukan inkorporasi, objektifikasi, dan institusionalisasi dari proses belajar.
Pengalaman itu yang coba penulis ambil dan terapkan di Unimal. Sebagai kampus dengan sejarah tidak sementereng kampus-kampus di Jawa atau di Sumatera, Unimal tetap bisa mencari nilai keunggulannya, dan dijadikan sebagai modal sosial dalam membangun kepercayaan diri berjejaring, bukan saja di tingkat regional, tapi juga nasional, dan internasional.
Melalui program IISMA, mahasiswa yang belajar di luar negeri dapat meningkatkan energi dalam penguatan budaya lokal dan nasional. Penguatan budaya ini sebagai modal utama dalam mempromosikan keunikan Indonesia, sehingga semua orang akan tergelitik untuk melihat Indonesua secara lebih dekat, baik untuk kepentingan kultural dan juga ilmiah.
Kontekstualisasi dan adaptasi
Mahasiswa IISMA memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman untuk memperkaya kapital budaya mereka. Hal itu memberikan keuntungan intelektual, politis, dan ekonomis yang dapat digunakan di berbagai konteks sosial dan profesional.
Kerangka soft power dalam pendidikan yang dikembangkan oleh He dan Wilkins (2019) menunjukkan betapa pentingnya peran pendidikan dalam membangun pengaruh global. IISMA berkontribusi langsung pada pengembangan kapital manusia dan budaya, dua komponen utama dalam kerangka tersebut. Dengan meningkatnya keterampilan, pengetahuan, dan pemahaman budaya dari mahasiswa yang belajar di luar negeri, Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan global dan kerja sama internasional.
Sementara itu, budaya soft power berkaitan dengan kemampuan untuk mempengaruhi dan menarik negara lain melalui promosi budaya, nilai-nilai, dan identitas nasional, IISMA berkontribusi memperkenalkan budaya Indonesia kepada mahasiswa dari negara mitra. Lebih lanjut, memperkuat pemahaman dan apresiasi budaya di luar negeri. Dengan demikian, program ini berperan dalam mempromosikan citra positif dan nilai-nilai Indonesia di panggung internasional.
Ketika penulis dan teman-teman berkesempatan untuk memperkenalkan budaya batik kepada mahasiswa internasional, mereka mengaguminya karena keunikan yang ada pada batik itu. Acara “Batik Day” itupun menjadi media untuk mempromosikan hal lainnya, yaitu kuliner dan souvenir khas Indonesia. Kami juga turut menampilkan pertunjukan teater yang menampilkan sosok Ki Hajar Dewantara, sosok yang dikenal bukan hanya bapak pendidikan nasional, tapi juga tokoh pergerakan kemerdekaan dan pers Indonesia. Artinya pendidikan juga berarti membangun sikap anti-kolonialisme dan memperkuat aksi poskolonial. Semangat itu yang diambil dalam konsep Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM).
Secara keseluruhan, IISMA adalah bukti nyata Indonesia memanfaatkan pendidikan dan mobilitas pelajar sebagai alat untuk memperkuat soft power-nya. Program ini tidak hanya memberikan manfaat langsung bagi mahasiswa yang berpartisipasi tetapi juga berkontribusi pada tujuan diplomatik yang lebih luas, memperkuat posisi dan pengaruh Indonesia di panggung internasional.
Dengan pengalaman tinggal (live-in) di luar negeri selama satu semester, gairah untuk berkembang lebih maju didapatkan oleh mahasiswa-mahasiswa kita. Tak kalah gengsi, anak dari ujung pulau Sumatera pun bisa terbang tinggi sejajar dengan mahasiswa-mahasiswa Nusantara lainnya dalam mengarungi pengalaman internasional.
Abiyyu Aulia, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Malikussaleh. Pernah mengikuti program IISMA ke Hungaria.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dan Serambi Indonesia Cetak pada 30 Agustus 2024.