Dies Natalis Ke-55 Unimal, Nalar Budi untuk Keberlanjutan Bangsa

SHARE:  

Humas Unimal
Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Dr Herman Fithra Asean Eng

Oleh: Prof Dr Herman Fithra Asean Eng, Rektor Universitas Malikussaleh

TEPAT 12 Juni 2024, Universitas Malikussaleh genap berumur 55 tahun. Didirikan pertama kali sebagai sebuah perguruan tinggi kecil dari Kabupaten Aceh Utara pada 12 Juni 1969, kampus ini kini telah melesat dengan takdir yang benar. Tanggal kelahiran itu bertepatan dengan 26 Rabiul Awal 1389 H, atau hanya dua minggu setelah peringatan milad Nabi Muhammad saw.

Inisiatif sang bupati, Drs Tgk H. Abdul Wahab Dahlawy, saat itu membentuk Akademi Ilmu Agama (AIA) dengan pendirian Jurusan Syariah. Setahun kemudian perguruan tinggi ini juga mendirikan Jurusan Ilmu Politik di Bumi Pasai ini.

Artinya secara filosofis tanggal lahir kembar yang dirayakan bersama IAIN Lhokseumawe itu telah menahbiskan institusi pendidikan tinggi ini, di samping mengembangkan kajian sosial-humaniora dan sains-teknologi tetap melekatkan prinsip-prinsip religiusitas.

Maka tak heran, jika kampus Unimal saat ini menjadi salah satu PTN yang tidak meminggirkan nilai-nilai spritualitas dalam nalar budinya. Nilai-nilai spritualitas tidak hidup di ruang hampa yang tidak bisa dinalar, tetapi berbuah ketika lapangan intelektualisme yang aplikatif.

Tanggal inilah yang tetap diingat, melebihi sejarah penegerian Unimal pada 1 Agustus 2001 yang melibatkan dua sosok negarawan, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Unimal akhirnya kini menjadi PTN yang berkembang menjadi Badan Layanan Umum (BLU) pada 22 Mei 2023, menyamai level 26 PTN lainnya yang lebih dulu hadir.

Nalar budi

Gagasan untuk terus menegakkan Unimal agar terus berkembang menjadi kampus yang berkhidmat pada nalar budi (pure reason/der reinen Vernunft), salah satu ungkapan dari filsuf Jerman, Immanuel Kant, tidak menggoyahkan kehadiran perguruan tinggi dalam mengembangkan nalar dan ilmu pengetahuan.

Pergeseran apa pun dalam program pendidikan tinggi yang didesain oleh para menteri pendidikan, seharusnya tidak meninggalkan kesadaran bahwa perguruan tinggi bertujuan menjadi poros intelektual dalam arus sejarahnya yang bergerak. Program Merdeka Belajar- Kampus Merdeka (MBKM) yang telah berjalan selama empat tahun ini yang digagas oleh Nadiem Makarim adalah ikhtiarnya untuk juga bisa berjalan dengan semangat memupuk nalar budi, di atas nalar lainnya (nalar politik dan nalar praksis).

Anggaran pendidikan dari APBN 2024 sebesar Rp 655 triliun, dan hanya 15 persennya dikelola oleh Kemendikbudristek atau Rp 98,9 triliun. Kebanyakan anggaran pendidikan mengalir ke banyak kementerian dan lembaga atau total 85 persen anggaran pendidikan.

Adapun yang mengalir program pendidikan tinggi hanya Rp 38 triliun atau sekitar hanya 30 persen dari total anggaran Kemdikbudristek yang telah “kecil” itu. Ini yang menyebabkan pengelola perguruan tinggi harus memutar otak memajukan kualitas pembelajaran dan lulusan perguruan tinggi dengan anggaran negara yang terbatas.

Di sisi lain, proyek pendidikan tinggi harus tanggap melihat dunia kerja dan industri yang berubah cepat. Ada kekawatiran bahwa kepentingan untuk memenuhi ruang globalisasi dan industri menjadi nuansa dalam program MBKM. Namun, setiap perguruan tinggi harus bisa bersiasat mengembangkan inovasi dan kreativitasnya, termasuk dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi.

Tidak hanya bagi kampus PTN Berbadan Hukum (PTN BH), tapi juga PTN BLU, dan juga PTN Satuan Kerja (PTN Satker) harus menjadi lebih mandiri dari pengaruh “negara”. Setiap pimpinan perguruan tinggi diberkahi sumber daya manusia untuk melakukan terobosan dan inovasi, tidak terkungkung pada stigmatisasi bahwa semua perguruan tinggi harus mengikuti arung jeram globalisasi yang neoliberalistik.

Di titik ini Unimal meneguhkan, bahwa perubahan arus politik dan pembangunan nasional, tidak harus membuat Unimal bereaksi berlebihan. Dunia politik adalah tiang pancang yang berubah lebih cepat dibandingkan cuaca perubahan apa pun. Tapi kejernihan nalar tetap diperlukan, untuk mengisi pembangunan dan meneguhkan landasan etis-epistemologinya.

Kita lihat bagaimana kampus-kampus besar dunia seperti Heiderlberg, Oxford, Cambridge, bahkan Al-Qawariyin di Maroko menjadi contoh untuk teguh pada pendirian nalarnya, tidak mau didikte oleh kepentingan kekuasaan.

Pembangunan demokrasi

Hal lain yang perlu dilihat dalam kesiapan Unimal berada di arus perubahan ke depan, baik dalam konstelasi politik nasional atau daerah, adalah tetap menjadi teladan pengetahuan yang rendah hati. Kerendahhatian ini akan terjadi jika setiap ruang perenungan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang dihasilkan olehnya benar-benar berbasis kepentingan ilmu dan didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan atau humanisme.

Ilmu, pengetahuan, dan keterampilan tidak dibangun di awang-awang, tapi di bumi yang padat dan keras pada prinsip membantu peradaban dan harus konstruktif ke masa depan. Tidak ada basis riset dan paten yang bisa dilepaskan dari nilai humanisme itu. Proyek apa pun yang keluar dari kampus harus melihat bahwa kepentingan humanisme harus seimbang dengan pengembangan nasionalisme.

Moralitas pengetahuan kita tidak didasarkan pada nilai bebas (free-value), tapi keberpihakan kepada bangsa dan negara. Unimal tidak akan berkembang dengan sendirinya. Meskipun demikian, pembangunan yang telah dirintisnya berkat bantuan Asian Development Bank (ADB) selama empat tahun belakangan ini juga tidak akan berarti apa-apa jika kampus ini tidak mengabdi pada kepentingan nasionalisme, atau konteks lebih mikro: kepentingan keacehan.

Pembangunan yang segera rampung pada akhir 2024 ini dengan gedung Biro Rektorat dan tujuh dekanat berarsitektur ikonik telah semakin megah dan etnografis. Namun kehadiran Unimal dengan peran pengetahuan dan pengabdian lebih penting, karena historical block kampus memang berorientasi pada hal tersebut.

Peran kampus di Aceh untuk memajukan pembangunan memang tidak mudah. Pertama, harus ada kesadaran dan kesepahaman bahwa para pemimpin di Aceh mengerti tentang peran perguruan tinggi dan kedua, adanya peran yang sungguh-sungguh dari akademisi untuk terus memunculkan inovasi dan novelty untuk tujuan yang aplikatif.

Aceh saat ini masih diingat sebagai provinsi termiskin dan gini ratio yang masih tinggi akibat ketimpangan kesejahteraan dan akses pembangunan yang tidak merata, termasuk antara rural dan urban. Belum lagi masalah prevalensi penyakit menular, degeneratif, dan stunting sehingga menghambat pembangunan.

Tapi di situlah tantangannya. Dengan visi “menjadi  universitas  unggul  di tingkat internasional berbasis potensi lokal”, Unimal tetap mencoba menunjukkan perannya mengangkat potensi Aceh dalam setiap fungsi khidmatnya. Berkembang di masyarakat yang telah maju dan terdidik tentu lebih mudah, tapi menjadi kampus di tengah kesempitan dan kemendesakan tentu menjadi sangat “sesuatu”.

Dengan 48 prodi, baik S-1, S-2, profesi, dan diploma, Unimal siap menjadi bagian yang menentukan perubahan Aceh ke depan. Tantangan pembangunan di sektor riil, kreatif, produktif, dan ekstraktif bisa dilakukan oleh Unimal dan civitas akademikanya. Tentu dengan peran “para dutanya”, yaitu para alumnus yang telah terpencar di seluruh negeri dengan peran keahliannya yang majemuk, Unimal bisa menjadi penanda tentang perubahan itu sendiri. Tentu tanpa melupakan untuk terus berpihak bagi masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi.     

Mentaliteit ini yang ditunggu, bahwa secara bersama kita bisa semakin kuat, sendirian pun kita tetap bermartabat. Selamat Dies Natalis ke-55 Unimal. Semoga ikut bersama-sama menyinari Indonesia di Indonesia emas pada 2045.

Artikel ini sudah dimuat pada laman Serambi Indonesia tanggal 12 Juni 2024


Kirim Komentar