Keberagaman dari Tepi Sungai Volga

SHARE:  

Humas Unimal
Penulis bersama Wali Nanggroe Aceh Teungku Malek Mahmud Al-Haytar di tepi Sungai Volga, Kota Kazan, Republik Tartarstan, Rusia

Teuku Kemal Fasya

 

24-30 Juni lalu penulis mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Kazan dan Moskow, Rusia. Kunjungan tersebut merupakan bagian dari proyek pendidikan dan penelitian yang akan dilakukan beberapa perguruan tinggi di Aceh dibawah diplomasi Kelembagaan Wali Nanggroe.

Kazan adalah ibukota Republik Tatarstan, satu dari 22 negara bagian di Rusia yang memiliki kekuasaan istimewa dan konstitusi khusus. Tatarstan terlihat unik karena memiliki populasi muslim dominan, meskipun bukan mayoritas. Memang pengislaman wilayah Tatarstan bukanlah yang pertama dalam sejarah Islam ke Rusia, tapi menjadi yang utama, karena membasahi kultur nasional. Islam di Rusia bermazhab Sunni Syafi’i walaupun juga ada yang bermazhab Hanafi, dan itu berasal dari Tatarstan.

Di kompleks Kremlin Kazan, terlihat diorama nyata tentang fakta kebenaran dan pluralisme yang telah terbentang lama. “Kremlin” sendiri secara harfiah berarti benteng, yang menjadi tempat perlindungan dari serangan barbarian di luar komunitas Rusia pada masa lalu.

Di dalam info wisata, situs sejarah itu dinamakan “rumah ibadah bagi semua agama” (A Temple of all religions). Di sana terlihat jejeran gereja ortodoks, sinagog, dan masjid. Masjid Kul Sharif sendiri menjadi masjid terbesar di Eropa (selain di Turkiye) yang dibangun abad 16 dan telah direkonstruksi kembali pada 2005. Sejarah masjid biru Kul Sharif menjadi bagian cukup kompleks dalam historiografi Islam di Rusia. Pernah dihancurkan, tapi dibangun kembali lebih megah dan menjadi ikon muslim bersahabat dan ramah. Setiap hari ada ratusan turis rela menaiki menara untuk melihat tata cara muslim melakukan salat dengan penuh respek.

 

Sisi sunyi Rusia

Hal ini menjadi penting diungkap terkait ekstrapolasi nilai-nilai keberagaman yang harusnya tumbuh subur di sisi manapun bumi Tuhan. Bagi Indonesia, gagasan keberagaman harus terus digaungkan karena menjadi bagian untuk menjaga identitas nasional bangsa yang memang telah berpuak-puak dan beranak budaya di dalam ratusan etnis.

Sisi ini memang kurang terungkap gamblang di Rusia. Hal itu tak lepas dari sejarah global bekas Uni Soviet itu dalam sejarah modern. Terlalu banyak yang disalahpahami dan didistorsi karena relasinya yang buruk dengan Amerika Serikat dan sekutunya pascaPerang Dunia II dan Perang Dingin. Hal itu semakin memburuk karena konfliknya dengan Ukraina hanya dilihat dari sisi Kyiv sehingga tidak ada suara Moskow yang sudi didengarkan.

Bagi Indonesia, hubungan dengan Moskow bukanlah bilateral basa-basi, tapi berelasi rapat dan mesra. Banyak tokoh politik nasional yang pernah menjadi diplomat di sana seperti R. Subandrio,  Alexander Maramis, Adam Malik, Manai Sophian, Rachmat Witoelar, hingga Hamid Awaluddin.

Problem terjadi bukan semata karena mata terpicing media Barat. Ada juga faktor dan beban internal. Penggunaan alfabet Kiril dan tidak hidupnya bahasa Inggris di Rusia menyebabkan banyak orang tidak bisa melihat mutiara keberagaman dari negara tirai besi ini.

Memang ada fakta persekusi dan destruksi nilai-nilai keagamaan yang terjadi di era Uni Soviet, tapi Rusia pasca Perestroika dan Glasnost telah banyak berubah. Sistem politik komunisme telah runtuh sejak era 90-an dan gemerlap kapitalisme dan kebebasan juga menyambar banyak sisi kehidupan masyarakat Rusia sekarang. Meskipun demikian, endapan kultural akibat represi panjang itu masih membekas pada ekspresi mental dan perilaku masyarakat Rusia yang tak banyak bicara dan pelit senyum.

Namun, hidupnya pluralisme di Rusia menjadi keharusan sejarah untuk memperkuat identitas nasional. Pluralisme dipancang di setiap benteng kehidupan sosial karena negara itu menghidupi aneka etnis sejak ratusan tahun lalu. Etnis-etnis tersebut mencari ruang persemaian kultural, salah satunya melalui pelestarian keyakinan dan agama leluhur. Rusia memiliki paling sedikit 193 kelompok etnis, meskipun 80 persen beretnis Rusia. Artinya tanpa penghormatan atas pluralisme akan terjadi pengeroposan dari dalam dan memudahkan mereka remuk seperti bubarnya Uni Soviet menjadi 15 negara baru.

 

Jalan berbeda, tujuan sama

Memang tumbuhnya pluralisme di Rusia mengalami titik balik pasca90an. Pada era Soviet stategi yang dilakukan adalah sekulerisasi paksa dan brutal yang bentuknya penghilangan ekspresi agama, persekusi, dan diskriminasi bagi penganut agama. Era ini bisa dikatakan terjadi ikonoklasma dan genosida agama, terparah di era Joseph Stalin dengan kampanye ateisme melalui istilah-istilah insinuatif seperti sampah dan hama bagi penganut agama.

Namun setelah reformasi dan runtuhnya Uni Soviet, proyek sekularisme berjalan layaknya negara-negara Eropa lain, yaitu negara tidak boleh mempromosikan agama tertentu. Karena pengistimewaan  pada agama tertentu akan mengarah pada historisasi (hingga menyebabkan kanker sejarah) dan secara bersamaan memarjinalisasi agama lain yang tidak mendapatkan privilese.

Namun, strategi yang dilakukan oleh Putin berbeda dengan negara Eropa lain. Ia melakukan “transisi desekularisasi” yang berlangsung sejak 2007, yaitu pertama, membuat regulasi yang memberikan perlindungan pada umat beragama, tapi tak ada proteksi setara bagi yang tidak beragama.

Kedua, pengenalan pendidikan agama di dalam kurikulum sekolah, memasukkan referensi agama di dalam politik, dan menjadikannya ruang aksiologis untuk penguatan keamanan nasional. Ketiga, penguatan level sosial dengan memberikan dukungan partisipasi insitusi agama dalam kehidupan sosial, anti LGBT, dan memperkuat legitimasi agama dalam konteks dukungan kepada perang Ukraina (Skladanowski dan Smuniewski, 2023).

Namun, sisi positif yang bisa dilihat dari model hidupnya pluralisme di Rusia ini adalah berhasil mengerem simptom dari model sekularisme Eropa seperti bangkitnya partai kanan karena adanya peran kontrol negara, sehingga tidak hidup politik Islamofobia di Rusia, seperti terjadi di Belanda, Jerman, Italia, dan Perancis. Pos-sekularisme Putin mempercepat matangnya gairah beragama sekaligus hidupnya pluralisme agama setelah represi panjang.

Dukungan dilakukannya secara massif kepada gereja Ortodoks, juga Islam, seperti ketika Putin meresmikan Mesjid Katedral Moskow pada 2015 dengan dukungan penuh pendanaan dari pemerintah. Bahkan ketika terjadi tragedi 23 Maret 2024 yang menewaskan 144 orang, Putin tegas menolak bahwa itu bagian dari serangan Islam fundamentalis. “Negara kami tidak bisa ditembus kelompok teroris, karena kami mendemonstrasikan contoh unik kerukunan antar-iman, dan persatuan antar-agama dan etnik” (Reuter, 4/4/2024)

Untuk Indonesia, sejarah agama-agama kita telah hidup lebih lama bersandingan secara damai, harusnya makin mampu menjaga pluralisme dan multikulturalisme, tak tergoda masuk kantong politikus picik penjual politik identitas. Strategi politik keagamaan di Indonesia pascareformasi dilakukan paralel dengan demokrasi, yang sering diistilahkan dengan nasionalisme religius (Menchik, 2015). Jalan pluralisme yang kita rintis berbeda dengan Rusia, karena sebagian besar inisiatif lokal dan masyarakat sipil yang bergerak bersama, dan tidak selalu terpancing oleh proyek politik nasional.

Makanya jalan keberagaman kita harusnya lebih panjang dibandingkan sungai Volga yang membelah Kazan dan Moskow yang bermuara di Laut Kaspia. Bagi Aceh sendiri, ini bisa jadi cermin untuk menawarkan sisi etnografis Islam Aceh yang ramah pada perbedaan dan gesit pada pemajuan ilmu pengetahuan.

 

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Fisipol Universitas Malikussaleh

Diterbitkan pertama kali di Serambi Indonesia, 12 Juli 2024

 


Kirim Komentar