Menyoal Ruang Budaya dalam Revisi Qanun RTRW Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Foto : Teuku Kemal Fasya

Teuku Kemal Fasya

Judul tulisan di atas menjadi perhatian yang penulis sampaikan kepada peserta workshop “Pendalaman Isu Kajian Tematik Usulan Masyarakat Sipil Untuk Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh dan Data-Data Pendukung Lainnya” yang dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Aceh, 28 September lalu. Pertanyaan pertama penulis bermakna ontologis, adakah ruang budaya ketika menyusun revisi Qanun No. 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh tahun 2013-2033?

Pertanyaan gugatan ini penulis sampaikan, karena terlihat, bahwa antara yang dihasratkan dan dipraktikan seperti tungku api dan es batu. Das Sein dan das Sollen tidak berjalan seiring, tapi berlainan arah. Terasa begitu kontras pengingkaran atas implementasi ruang di Aceh, sehingga menjadi problem sosial-ekonomi-ekologis yang bisa berdampak petaka dan konflik.

 

Seriuskah pekerjaan ini?

Pertemuan yang melibatkan masyarakat sipil ini memang diidealkan masuk ke dalam laporan akhir sebagai bahan penyusunan materi teknis (matek) dan naskah akademik penyusunan Qanun RTRW Aceh. Batas akhir penyusunan pada bulan Oktober ini. Tim pendamping yang ikut memfasilitasi kegiatan ini adalah Walhi Aceh yang diketahui memiliki komitmen kuat untuk menyelamatkan proyek konservasi dan pembangunan berkelanjutan Aceh.

Namun yang menyangsikan adalah pada Dinas PUPR Aceh. Apakah mereka bisa menyisipkan masukan masyarakat sipil ini ke dalam materi teknis dan naskah akademik? Apalagi penulis baru tahu bahwa tim yang mempersiapkan dokumen ini adalah konsultan luar Aceh. Pasti ada hambatan ketika mengonsepsionalisasi norma, kode, nomenklatur, istilah, dan deskripsi kebudayaan Aceh secara komprehensif. Atau bisa jadi, seperti dalam penyusunan kebijakan, manapun, masukan partisipatif dari masyarakat sipil akan terpental keluar ring, kalah oleh masukan teknokratis dan “hasrat negara”. Salah satu ide kenapa Qanun RTRW Aceh perlu direvisi karena memang sudah sangat tidak konsisten dalam implementasinya, termasuk adanya “salah baca” ketika masuk dalam desain perencanaan kebijakan.

 Pasal satu, ketika bicara tentang Qanun RTRW, semangatnya harus merujuk kepada peraturan lebih tinggi yaitu UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam preambule-nya disebutkan, “bahwa tata ruang NKRI merupakan negara kepulauan yang bercirikan Nusantara yang di dalamnya termasuk wadah ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, yang perlu ditingkatkan pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna.”

Konsepsi yang disampaikan di dalam undang-undang itu adalah pengelolaan ruang harus “bijaksana”, sebelum diproyeksikan memiliki “daya guna” dan “hasil guna”. Kata bijaksana mengarah pada kuatnya bobot pengalaman, pengetahuan, dan penilaian baik atas sesuatu. Kebijaksanaan mengarah pada kesadaran untuk memberikan kebaikan, keseimbangan, harmoni, dan sepenuhnya bagi kepentingan manusia, atau humanis. Gagasan tentang pengelolaan ruang harusnya dihadirkan di dalam kebijakan yang bijaksana, lestari, berkelanjutan, dan pro-rakyat di samping pro-pembangunan dan eksploitasi.

Pasal dua, jika dilihat konsideran Qanun No. 19 tahun 2013, peraturan daerah Aceh ini mencoba memanggil konstitusi pasal 18B UUD 1945, bahwa  “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Artinya Qanun mengingatkan bahwa pemberlakuan Qanun RTRW Aceh menuntut perlakuan khusus (lex specialis) dalam menjalankan pemerintahannya sebagai konsekuensi desentralisasi asimetris.

Meskipun demikian frasa ini belum titik. Ia masih dilanjutkan dengan konsideran lain yang menunjukkan bahwa pemerintahan Aceh memiliki kewenangan tidak tak terbatas terkait moral menguasai, “bahwa untuk mengarahkan pemanfaatan ruang di Aceh harus dijalankan secara serasi, seimbang, terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berazaskan falsafah hidup dan kearifan budaya masyarakat Aceh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.” Tidak penting pemerintahan mandiri (self-government) jika tidak bisa dijalankan dengan semangat terpadu, berkelanjutan, dan mengakui kearifan budaya Aceh.

Gagasan predatoris

Pertanyaannya bagaimana melihat ruang sosial-budaya Aceh di dalam revisi Qanun RTRW ini ketika gagasan predatoris, agresif, eksploitatif, teknokratis, ekonomis, dan antietnografis lebih mengemuka? Belum lagi leading sector revisi qanun ini ada di Dinas PUPR yang kurang bervisi pada ruang cagar budaya, cagar alam, ruang ekologis, hutan lindung, tanah adat, geo park, eco park, artefak, ruang historikal, dan perlindungan zonasi dalam arus utama kebijakan.

Pada pertemuan itu terlihat, zona-zona konservasi telah banyak dirusak, dan tidak mungkin bisa direhabilitasi dengan cepat. Terlihat alur pikir dalam menyusun peta tematik ini sama sekali tidak bersinergi dan komprehensif. Alur pikir pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, Kawasan Ekosistem Leuseur sebagai salah satu nafas dunia, pembangunan ramah lingkungan, kawasan koridor satwa, wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, dan kawasan sosial-budaya kurang bisa diintegrarasikan di dalam RTRW ini.

Contoh kawasan yang telah rusak parah adalah kars, yaitu kawasan batu gamping atau dolomit, yang menjadi tempat tangkapan dan penampung air, sekaligus rumah satwa khas penyerbuk tanaman. Kawasan kars menjadi inti dari kemurnian struktur air karena juga menjadi tempat melaju sungai bawah tanah.

Faktanya, bentang alam sudah menunjukkan perubahan ekstrem. Kars Mata Ie, Aceh Besar, adalah tempat menyejukkan dan pemandian air dingin pada masa lalu, kini telah hilang. Kars itu telah mengalami degradasi yang parah sehingga di musim kemarau air padam, dan musim penghujan air menjadi bah. Tidak ada lagi spons alami yang bisa menyimpan air jangka panjang. Ancaman terbesarnya adalah hilangnya biosfer di punggung gua basah itu akibat penebangan dan eksploitasi bahan baku untuk pabrik semen.

Jika kita bicara ruang sosial-budaya, maka yang penting adalah perlindungan ekologis sebagai sentral. Konsep kearifan lokal dan local knowledge muncul karena pemanfatan alam secara terukur dan berkelanjutan sehingga menumbuhkan nilai-nilai kelokalan (natives-ness) melalui pengetahuan, kesenian, keyakinan, pertanian, dan teknologi, di samping sastra.

Masalahnya, pascaperdamaian Aceh, ruang protektorat kultural atas etnis tempatan bukan semakin terlindungi, tapi semakin terintimidasi. Adanya egosentrisme etnis mayoritas juga mempengaruhi kesejahteraan etnis-etnis lain dalam perencanaan pembangunan. Bahkan, dari sembilan etnis tempatan di Aceh, terlihat tiga etnis (Kluet, Haloban, dan Singkil) mengalami krisis. Bukan hanya pada aspek antropolinguistik dan migrasi etnis, tapi juga ruang ekologis yang remuk-redam. Sangat sulit ditemukan pohon kamper (barus) dan hutan sagu sebagai bahan pokok kuliner di Singkil, karena tergerus oleh industri sawit yang eksploitatif.

Terakhir, jika sungguh serius merevisi Qanun No. 19/2013 untuk pemajuan dan perlindungan sosial-budaya-ekologi Aceh, maka cabut Kepmen ESDM No. 86.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Wilayah Pertambangan Aceh yang menjadikan seluruh jengkal bumi Aceh sebagai ruang eksploitasi. Peraturan itu adalah penghianatan paling serius pada ruang ekologis dan sosial-budaya. Tanah indatu ini tak layak digadaikan, wajib diwariskan kepada anak-cucu.

Teuku Kemal Fasya, antropolog Universitas Malikussaleh. Sedang meneliti daya resiliensi etnis-etnis Aceh pascaperdamaian MoU Helsinki dan tsunami.

Dimuat pertama kali di Serambi Indonesia, 24 Oktober 2022

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar