Kiamat Politik Identitas

SHARE:  

Humas Unimal
Foto Teuku Kemal Fasya.

Teuku Kemal Fasya

Khushwant Singh, jurnalis, sejarawan, dan politikus India menulis sebuah buku yang kemudian menjadi kontroversial, The End of India (2003). Buku itu penulis dapatkan ketika mengunjungi India untuk sebuah konferensi pada 2012. Buku itu membicarakan tentang masa depan suram negara yang dihuni 1,4 miliar penduduk itu.

Menurut Singh, India sedang berjalan ke arah yang salah sebagai bangsa yang besar. “Aku lihat bangsa ini sedang menuju kiamat”, tulisnya dengan nada ramalan. Buku itu ditulis merespons dampak buruk kerusuhan anti-muslim di Gujarat pada 2002. Tragedi Gujarat itu sendiri merupakan resultante dari belum selesainya nasionalisme India dalam memahami keberagaman yang dimiliki dengan populasi kedua terbesar di dunia dan jumlah muslim terbesar ketiga. India menjadi negara bagi minoritas muslim terbesar di dunia.

India sendiri menurut Singh telah dihantam berbagai bentuk tragedi kemanusiaan berbasis agama. Hal itu terlihat sejak partisi dengan Pakistan pada 1947, kerusuhan anti-Singh 1984, aksi terorisme di Punjab dan Kashmir, dan terakhir kerusuhan di Gujarat – salah satu titik genealogi Islam di Nusantara. Penulis sendiri sempat menyaksikan penampungan para pengungsi dan mendengar kisah kelam mereka pada 2006.

Salah satu yang menyebabkan India masih gamang untuk menjadi negara-bangsa yang menaungi lebih 600 etnik dan bahasa ada pada identitas nasionalismenya. Menurut Singh, Mahatma Gandhi mengonsepsionalisasi India sebagai negara sekuler, tapi berbasiskan hinduisme sebagai identitas bangsa. Namun, Jawahar Lal Nehru menginginkan India bulat sebagai negara sekuler agar perlindungan pada keberagaman setara. “Akhirnya menurutku Gandhi keliru dan Nehru yang benar!”, tulisnya. Singh juga mengkritisi keberadaan Bharatiya Janata Party (BJP) partai politik sayap kanan yang terus memanaskan sentimen Hindu dalam mobilisasi politiknya.

 

Dampak politik identitas

Kejadian terbaru yang dengan cepat tersebar di seluruh dunia adalah pembunuhan mantan politikus dan pengacara dari negara bagian Uttar Pradesh, India, Atiq Ahmed dan saudaranya Ashraf pada 15 April 2023. Kasus itu terjadi di  kota Prayagraj atau dikenal dengan nama Allahabad. Allahabad adalah kota tempat kelahiran beberapa mantan perdana menteri India seperti Jawaharlal Nehru, Lal Bahadur Shastri, Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, dan V.P. Singh.

Kasus ini viral karena ia dibunuh ketika sedang diwawancarai sejumlah wartawan televisi dengan pengawalan polisi. Sejumlah penembak juga tergabung di rombongan wartawan. Setelah membunuh, sang penembak meneriakkan “Jai Shri Ram” (Hiduplah Dewa Rama!), yang menunjukkan hal itu bermotif sentimen agama. Polisi pengawal pun tidak melakukan tindakan antisipasi agar hal lebih buruk tidak terjadi.

Lima hari sebelumnya, seorang pendeta anti-muslim, Yati Narsinghanand, membuat pidato yang bernada provokatif menyeru umat Hindu merebut Ka’bah, Mekkah. “Jika kalian tidak merebut Makkeshwar Mandir (Ka’bah), maka tidak ada kekuatan bumi yang dapat mengalahkan Islam”.

Apakah peristiwa itu berkolerasi? Dalam konteks perkembangan media informasi dan digital saat ini, semua hal beresonansi dengan cepat. Bagi India sendiri, intoleransi semakin signifikan beberapa tahun belakangan oleh isu-isu sentimen agama, terutama Hindu-Muslim.

Sebelumnya sempat muncul larangan bagi mahasiswi muslim berhijab ke kampus. Kontroversi ini mengemuka karena hijab dianggap tidak melambangkan representasi identitas India sebenarnya. Hujatan dilontarkan meminta mereka “pulang” ke Pakistan atau Bangladesh saja; dua negara sebelumnya merupakan bagian dari India.

 

Efek kepakan kupu-kupu

Apa yang terjadi di India adalah sesuatu yang bisa sangat terbuka terjadi di belahan dunia manapun ketika kebebasan dan demokrasi diartikan secara negatif, termasuk di Indonesia. Titik paling ekstremnya ketika masyarakat dalam konstruksi negara bangsa tidak siap hidup harmoni dalam perbedaan.

Isu politik identitas memang semakin menguat bak puting beliung yang awalnya hanya kepakan kupu-kupu. Isu seperti itu bisa terus tereskalasi hingga sampai pada titik tidak mudah dihentikan lagi. Klaim bahwa setiap etnis, komunitas, dan agama termasuk sistem kepercayaan berhak memelihara dan mengembangkan identitas sosio-kultural sebagaimana termaktub di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi-Sosial-Budaya akhirnya bisa mematikan. Politik chauvinisme dan ekslusivisme awalnya berakar dari politik identitas yang kemudian bertunas menjadi praktik negasi terhadap pihak berbeda.

Seminar nasional Lemhanas menyambut yudisium Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) ke-63, pada Agustus 2022 lalu telah melihat politik identitas awalnya diterima sebagai rekognisi dan preservasi kultural, tapi di sirkuit politik ia menjadi tragedi kemanusiaan yang menghanguskan nilai-nilai integrasi bangsa.

Tantangan itu mulai terlihat nyata dan bisa menjadi perulangan sejarah buruk Pemilu 2014 dan 2019, ketika anak bangsa tersegregasi di dalam pertautan politik identitas secara destruktif. Presiden Joko Widodo di dalam seminar itu menyebutkan Pemilu Serentak 2024 harus menjadi model dari pengelolaan demokrasi yang semakin matang. Menurutnya, Pemilu 2024 dan 2029 harus menjadi momentum konsolidasi demokrasi, dengan mengadopsi teknologi digital secara bertanggung-jawab dan dilaksanakan secara lebih tenang, aman, dan damai.

Bawaslu sendiri melihat tren penggunaan politik identitas sebagai model komunikasi dan kampanye politik tetap terbuka pada Pemilu 2024 bisa berdampak sangat merusak (Kompas.com, 28/2/2023). Namun yang diperlukan adalah shock-therapy yang tepat melalui perangkat hukum untuk pencegahan dan penanganan pelanggaran. Saat ini, dari 66 pasal (pasal 488 hingga 554) tindak pidana pemilu di UU Pemilu No. 7 tahun 2017, belum ada yang bisa digunakan dalam penanganan kasus penggunaan isu politik identitas, sehingga diperlukan hadirnya Perbawaslu khusus untuk menanganinya.

Terlepas dari itu, alert yang telah kita dapatkan dari kasus India jangan dianggap sepele. Sebagai negara nomor dua paling beragam di dunia, Indonesia adalah surga kultural yang akan menghadirkan antusiasme dunia, baik untuk pengembangan riset, pariwisata, investasi bisnis, dan perjumpaan kebudayaan secara global.

Namun ia bisa menjadi kiamat ketika ditransfer menjadi energi negatif untuk memecah-belah dan kepentingan pragmatis Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Hasrat untuk menang kerap mudah merontokkan etika dan norma, termasuk memanipulasi identitas kultural dan agama untuk banalitas politik dan kekuasaan.

Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikussaleh.

Dimuat pertama kali Kompas, 29 April 2023.


Berita Lainnya

Kirim Komentar