Teuku Kemal Fasya
Apa yang dilakukan tiga oknum TNI ini bukan saja tidak patut dicontoh, tapi mewakili bayangan terburuk tentang pemuda, yang seharusnya menjadi harapan bangsa.
Ketiganya adalah pelaku yang terlibat langsung dari aksi penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa Imam Masykur, anak Bireuen yang memilih untuk memperbaiki hidup dengan merantau ke Ibukota. Sayang takdirnya tidak baik di sana dan harus meninggal secara tragis.
Praka RM bukan prajurit biasa. Ia adalah Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sehari-hari ia bekerja di Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan. Praka HS bekerja di Direktorat Topografi TNI AD. Sedangkan J adalah anggota Kodam Iskandar Muda. Yang mempersatukan mereka dan korban adalah semuanya berasal dari Aceh! (“Kata Prabowo soal Kasus Anggota Paspampres dan TNI AD yang Aniaya Imam Masykur hingga Tewas”, Kompas.com, 31 Agustus 2023).
Ketiga pelaku yang telah menghilangkan nyawa seorang anak yang tidak mereka kenal, tidak ada dendam sebelumnya, dan tidak menjadi masalah personal. Masykur bisa jadi dambaan orang tuanya dan harapan sang kekasih yang bisa mengubah hidup dengan merantau. Ia disiksa, dibunuh, dan dibuang di sungai seperti sampah yang tak berguna. Kasus ini akhirnya memberikan citra buruk kepada institusi TNI, tulang punggung keamanan-pertahanan bangsa.
Video yang kemudian viral tentang penyiksaan sampai mati itu telah membangkitkan kemarahan publik, terutama di Aceh. Warga Aceh menyebut kasus ini seperti sebuah palung horor terkait pengalaman traumatik pada masa konflik. Apalagi akhirnya diketahui praktik penculikan dan penyiksaan itu memang menyasar para pemuda Aceh yang sedang merantau di Jabodetabek.
Bukan kasus tunggal
Akhirnya kejadian yang menimpa Imam Maskur bukan lah kasus tunggal. Ketiga pelaku ternyata telah melakukan penyiksaan dan pemerasan kepada sejumlah pemuda Aceh di Jakarta Raya. Mereka melakukannya dengan kamuflase aparat kepolisian.
Memang jika dilihat grafik transformasi pascaOrde Baru, TNI lebih maju selangkah dibandingkan Polri. Redefenisi, reposisi, dan reaktualisasi TNI setelah reformasi mengalami banyak perubahan. Peran militer tidak lagi masuk pada tatanan sipil, terutama pada aspek keamanan.
TNI seperti disebut di dalam UU No. 34 tahun 2004 pasal 7 ayat (1) berperan “menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.” Artinya tindakan polisionil untuk memberikan rasa ciut kepada masyarakat sipil pun bukan lagi tugas militer di era demokrasi.
Tapi, tingkah tiga pemuda TNI ini telah memecahkan sumpah kristal Sapta Marga. “Kami kesatria Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” Sumpah patriot itu tidak bertenaga di pikiran dan kesadaran mereka. Air transformasi dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) itu harusnya melindungi rakyat dalam keamanan dan terbebas dari rasa takut.
Yang muncul malah kelebatan teror pada masa konflik, ketika pemuda Aceh yang keluar daerah dicurigai sebagai separatis atau para pengacau keamanan, sehingga layak diinterogasi hingga terbukti sebaliknya. Pada masa konflik metode falsifikasi ini dilakukan dengan penyiksaan hingga penghilangan paksa untuk memberikan penanda bagi publik Aceh lainnya. Namun, metode koersif para pemuda ini sama sekali tak berideologi. Mereka hanya menangguk keuntungan yang konon hingga Rp 900 juta.
Dari video yang beredar terlihat bahwa penyiksaan yang dilakukan kepada para pemuda Aceh itu bak perbudakan kaum Afro-Amerika abad 19 seperti tergambar dari film 12 Years A Slave (2013). Mereka ditangkap dengan tuduhan melakukan perdagangan obat ilegal, karenanya pantas untuk diperas dan disiksa.
Masykur menjadi yang paling tersiksa hingga meregang nyawa. Sementara para korban yang hidup hanya menyimpan deritanya sendiri. Kini satu per satu mulai melakukan pengakuan, meskipun ada rasa kecut akan dijadikan tersangka oleh sebab pengakuannya, terutama terkait perdagangan obat ilegal seperti tramadol.
Situasi kompleks ini memang tidak menguntungkan bagi masyarakat Aceh, terutama yang merantau. Tuduhan bahwa semua pelaku penjual obat ilegal di Jabodetabek adalah orang Aceh seperti pernyataan mantan Soleman Ponto (Serambinews.com, 1 September 2023), bukan saja telah menempatkan masyarakat Aceh dalam ruang insinuatif yang sama seperti pernyataan deduktif “semua pemuda Papua pasti buat rusuh”. Pernyataan itu mengandung bibit rasisme dan etnosentrisme, yang hidup di alam pemikiran sang penuduh.
Alih-alih menuduh semua orang Aceh terlibat bisnis ilegal, lebih baik alamat perbaikan dilakukan pada penanganan oknum TNI yang melakukan kejahatan. Makanya, terbongkarnya kasus ini ke publik telah memberikan dampak tektonik bagi TNI. Tanggung jawabnya lah untuk membereskan hingga ke akar-akarnya.
Penting juga untuk tidak menyembunyikan satu inci pun fakta yang bisa menghubungkan dengan sebab-sebab struktural lainnya, jika itu ada. Uang pemerasan yang selama ini terkumpul hingga ratusan juta rupiah itu juga perlu diselidiki, apakah hanya dinikmati oleh tiga pembegal ini, atau ada servis ke “tukang palak” lainnya.
Pengadilan paling adil
Kasus ini telah mengerucut simpati ke korban. Sebaliknya publik juga menuntut tiga pemuda degil ini untuk dihukum maksimal. Tak ada sikap untuk bisa memaafkan tindakan pemerasan dan pembunuhan itu.
Panglima TNI Yudo Margono sendiri menunjukkan kegeramannya atas perilaku oknum prajurit ini. Tindakan mereka mengabaikan kerja keras TNI untuk menunjukkan citra positif dan manusiawi kepada publik. Termasuk tidak menoleransi segala bentuk pelanggaran etik apalagi pidana yang dilakukan anggotanya. Ia bahkan menyatakan tidak menutup kemungkinan ketiganya dihukum maksimal.
Amnesti Internasional yang ikut memperhatikan kasus ini meminta adanya hakim yang berintegritas dan penyelidikan sebaiknya dilakukan melalui peradilan umum (Kompas.com, 28 Agustus 2023). Ada kekuatiran kasus ini akan direkayasa dengan memberikan hukuman ringan sehingga mencederai rasa keadilan publik seperti tecermin dari saga kasus Sambo.
Padahal jika dilihat, peradilan militer adalah salah satu peradilan yang diakui di republik ini. Meskipun diadopsi dari model peradilan Belanda – seperti juga peradilan sipil di Indonesia – ia juga menjalankan peran hukum acara untuk memeriksa dan mengadili perkara yang melibatkan anggota militer. Sebelumnya peradilan militer boleh menghukum sipil yang bekerja di institusi kemiliteran berdasarkan UU No. 31 tahun 1997. Namun sejak adanya UU No. 34 tahun 2004, sipil seperti kepolisian diadili oleh peradilan umum.
Ketakutan bahwa peradilan militer tidak berjalan fair juga sebuah sikap terlalu dini. Jika melihat kasus Nagrek dengan pelaku Kolonel Inf Priyanto, yang melakukan pengaburan kasus tabrak dua remaja, dan kasus perdagangan sabu dan ekstaksi yang dilakukan Sertu Yalpin Tarzun keduanya dihukum secara maksimal, yaitu seumur hidup. Artinya peradilan militer juga memiliki kredibilitas yang kuat.
Bayangan publik juga tidak boleh dikacaukan oleh Pengadilan Koneksitas kasus pembantaian Tgk Bantaqiyah yang penuh prosedur menyesatkan dan cenderung melegalkan impunitas pada tahun 2000. Proses peradilan saat itu masih didorong oleh sikap untuk membela korps dan dilakukan sebelum UU TNI pascareformasi hadir.
Permyataan sang Panglima bagi saya adalah janji seorang prajurit yang patriotis. Ketika proses peradilan akan memandu pada bukti kuat dan meyakinkan, maka tak ada hukuman yang tepat bagi ketiga pemuda degil itu kecuali hukuman maksimal : ditembak sampai mati!
Teuku Kemal Fasya, antropolog Universitas Malikussaleh.
Dimuat pertama sekali di Serambi Indonesia, 6 September 2023