Caleg dan Politik Wajah

SHARE:  

Humas Unimal

UNIMALNEWS | Lhokseumawe, Sejak September tahun lalu hingga 13 April 2019 Indonesia memang sedang disuguhi pesta kampanye calon legislatif (caleg) dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat termasuk pemilihan calon senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan calon presiden-calon wakil presiden. 

Masa ini, seperti momentum elektoral pascareformasi sebelumnya menjadi pesta demokrasi yang berbiaya mahal. Era saat ini sumber daya finansial para politikus sedang benar-benar diuji. Silakan diperhatikan, seluruh baliho dan pamflet dipersiapkan politikus dengan memasang wajah.

Tentu wajah mereka bukan wajah biasa yang bisa kita temukan setiap hari. Mereka memasang foto visual editing dengan tata gaya yang sudah melibatkan banyak pihak, paling sedikit saran dari fotografer. Semua foto memperlihatkan magisme tentang wajah sebagai angle utama. Bukan yang lain.

Politik Wajah
Semua baliho, pamflet, leaflet, hingga kartu nama politikus saat ini mensyaratkan wajah sebagai referensi politik citra. Baliho tersebut menjadi model para politikus. Seperti artis iklan, wajah adalah tujuan untuk memberikan pesan utama. Yang paling jelas adalah pesan simbolik dari sang caleg.

Saat ini pembaca silakan memperhatikan foto wajah politikus. Semua pasti sudut wajah yang paling menarik. Hampir tidak ada yang memasang “foto standar” seperti untuk foto KTP atau ijazah. Foto standar seperti itu memang diambil dari arah depan dengan tidak ada sudut elevasi ke kiri atau ke kanan. 

Sebagai foto iklan, hal-hal standar seperti itu tidak dilakukan. Para caleg bersama tim mengapitalisasi sudut wajah terbaik mereka, termasuk pencahayaan dan editing photoshop. Yang pasti semua memberikan nuansa positif yaitu dengan senyuman dan pencahayaan yang cemerlang. Ada hanya dengan senyum tipis senyum lebar, hingga senyum terbuka. 

Tidak ada yang akan bunuh diri dengan memilih wajah cemberut, marah, atau tegang. Jikapun ada yang mencoba memilih menggunakan foto seperti itu, pasti tidak akan terpilih. Meskipun dalam kehidupan normal, kompleksitas gestur wajah kita tentu tak selalu ceria. Ada wajah tertegun, kosong, tegang, ngambek, hingga marah. 

Bahkan memasang banyak wajah ganteng dan cantik sehingga secara alam bawah sadar dimensi auratik itu menyihir pemilih juga menjadi ironi sendiri. Sebab seperti kita ketahui, kecuali gambar calon presiden-calon wakil presiden dan DPD, tidak ada wajah caleg yang dipasang di surat suara. Bagi pemilih awam atau masyarakat pedesaan akan menjadi masalah. Meskipun pilihan KPU untuk meniadakan foto adalah pilihan taktis juga, karena seringnya kesalahan foto caleg sehingga akan memakan biaya tambahan lagi ketika cetak ulang.

Politik Gagasan
Jika ada yang menggunakan “politik wajah” selain politikus juga terasa aneh. Rektor misalnya, tak memerlukan tampilan wajah dengan pelbagai editing visual agar terlihat manis dan ganteng di ruang publik, termasuk menghilangkan semua fleks atau pori-pori di permukaan. Politikus mungkin masih harus membedaki wajahnya, meskipun untuk politikus tipe ini layak disebut sebagai politikus kardus atau pamflet. 

Galibnya politikus awam, mereka melakukan itu. Mereka terpaksa dianggap sebagai karyawan politik, masuk politik karena dorongan alam bawah sadar yang sifatnya banal seperti harta, cinta, dan kekuasaan. Mereka terpaksa melakukannya karena tak ada ide yang tajam yang bisa ditawarkan kepada publik untuk menjadi perenungan dan refleksi yang menggugah. 

Namun, jika akademisi memamerkan wajahnya di ruang publik sebagai wujud menakar eksistensinya tentu salah alamat. Sebagian besar intelektual dunia bahkan menolak menampilkan wajah sebagai timbangan atas nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Sebagian bahkan sangat sederhana, low profile, dan tidak terlalu memperhatikan aspek fashion.

Siapa yang tak mengenal Michel Foucault, Raymond Aron, atau Jean Paul-Sartre, pemikir sejarah, sastra, dan filsafat posmodernisme Perancis? Mereka bahkan lebih terkenal dibandingkan rektor-rektor yang memimpin saat menjadi dosen di Ecole Normale Supérieure, Paris. Siapa yang tak kenal keberadaan Noam Chomsky, pakar politik-linguistik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Profesor pemikir ini lebih senang berada di tengah para pemikir kritis anti-kemapanan dibandingkan bergabung dengan “profesor pohon pisang” yang birokratis dan elitis. Tulisannya seperti Hegemony of Survival : America’s Quest  for Global Domination menunjukkan cara pandangnya atas politik Amerika Serikat yang melahirkan penderitaan di dunia-dunia jauh. 

Demikian pula tokoh filsafat yang saat ini sedang popular, Rocky Gerung, bukanlah seorang yang berpendidikan doktor. Mereka besar dalam  pergumulan ide dan kata, dengan politik makna yang menjadi tujuan terakhir. Mereka menolak menjadi pemikir birokratis apalagi pemikir feodal yang takut kritik dan demam puja-puja..

Politik gagasan sesungguhnya menjadi cara memperbaiki kualitas politik, dari pertengkaran yang sifatnya personal dan non-ideologis, menjadi pertarungan wacana atau paradigmatik. Sangat jarang kita lihat politikus masa lalu akan sentimentil berlama-lama pada yang bersifat permukaan dan personal, seperti agama, etnis, atau identitas primordial lainya. Mereka bisa melakukan baku-pukul wacana hingga larut malam. Soekarno – Hatta – Sjahrir – Nasir – Otto Iskandar Di Nata adalah sahabat secara personal, tapi seteru pada pemikiran. Kerasnya debat yang mereka lakukan – menjadi tabungan pada praktik diskursus yang tajam (critical discourse analysis) dan bermanfaat bagi pembangunan peradaban bangsa.

Bagaimana menghidupkan politik wacana? Tidak lain harus berlatih berada pada ruang tarung ide. Disiplin pengetahuan berdasarkan pendidikan formal tidak lagi menjadi pertimbangan. Karena seorang yang tangkas berwacana tentu haus mencari ruang menjahit epistemologi. Ia harus bisa menaklukkan aspek teoretis dan konseptual di luar bidang yang ditekuninya untuk keperluan memunculkan pengetahuan hingga “seni” baru dalam merumuskan gagasan yang lebih komprehensif.

Ia tak akan mempersoalkan lawan debatnya datang hadir dengan pakaian atau terminologi teknis. Selama bisa memanfaatkan ruang pertarungan lintas-bahasa (meta-language) maka ia punya peluang meloloskan kebenaran; proses mencari dari keahlian memunculkan gagasan secara oral-debat dan menyusunnya secara tulisan.

Tantangan ini sebenarnya berlaku di dunia akademi; bisa tidak caleg memberikan contoh dari sekedar politik wajah menuju politik non-wajah, yaitu politik gagasan? Gagasan adalah marka terbaik untuk menyuburkan pengetahuan baru, yang segar dan dialektis. Adapun wajah hanya yang mengisi ruang simbolik hanya akan menjadi kayu rapuh, seperti dikatakan Roland Barthes: le signifient vide: sistem petanda yang palsu dan kosong.

Teuku Kemal Fasya, dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Sumber : Serambi Indonesia, 29 Januari 2019.


Berita Lainnya

Kirim Komentar