Teuku Kemal Fasya
Kasus tewasnya 70 pengungsi Rohingya di lautan Aceh Barat ketika kapal yang mereka tumpangi terbalik sungguh melipat rasa kemanusiaan kita. Angka korban hampir separuh dari penumpang “manusia kapal” itu (Serambi, 23/03/2024).
Ironisnya, kematian puluhan orang karena tenggelam itu tidak melahirkan rasa iba dan kurang beresonansi. Berita itu tidak melahirkan antusiasme publik, tenggelam oleh isu perselisihan hasil pemilu 14 Februari dan keputusan PBB mengeluarkan resolusi gencatan senjata di Gaza akibat genosida Israel. Bahkan secara nasional, berita penembakan massal di Rusia yang menewaskan lebih 100 orang lebih menarik perhatian.
Penggiringan wacana penolakan
Anehnya, sikap masyarakat Aceh, terutama di Aceh Barat sangat antagonistik. Berita tentang mayat-mayat warga Rohingya mengapung di sepanjang lautan Aceh Jaya – Aceh Barat itu, tidak membuat masyarakat berhenti membuat aksi penolakan dan pengusiran para pengungsi. Ada anggapan pengungsi Rohingya yang terus mendarat ke Aceh memiliki misi khusus untuk aneksasi – sebuah pemikiran halusinatif.
Halusinasi karena pertama, warga Rohingya yang ditetapkan PBB sebagai masyarakat minoritas paling teraniaya di dunia (the most persecuted minority in the world) tidak dapat mengklaim status kewarganegaraannya termasuk di negara asal, Myanmar (globalcitizen.org/meet the most minority in the world : Rohingya Muslims). Pada 1982, Myanmar mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan yang mengeluarkan Rohingya dari 135 etnis yang diakui. Status itu menyebabkan secara organisasi sosial masyarakat Rohingya menjadi sangat tidak berdaya. Bukan saja di negaranya, Myanmar, tapi juga di semua destinasinya di seluruh dunia, baik sebagai negara transit ataupun destinasi akhir.
Kedua, membandingkan pengungsi Rohingya dengan pengungsi Yahudi dari negara-negara Eropa pasca-hollocaust tidak tepat. Ekspansionisme imigran Yahudi didukung oleh Inggris sebagai penjajah Palestina. Dokumen deklarasi Balfour yang dibuat pada 1917 telah menunjukkan ada keinginan dari kolonialisme Inggris untuk menjadikan Palestina sebagai “rumah resmi zionisme Yahudi” dalam mendirikan negara. Bahkan jika dilihat arus imigrasi besar-besaran komunitas Yahudi Eropa ke tanah Palestina telah terjadi sejak akhir perang dunia pertama, dan bukan semata kekejaman Hitler pada perang dunia kedua. Jika hari ini kita melihat maha duka warga Palestina, itu tak lepas kontribusi Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat.
Dua argumentasi ini telah menunjukkan bahwa ada peran konspiratif komunitas global yang mendorong ekspansi imigran pengungsi, dalam hal ini Yahudi ke Palestina untuk menjadi penindas baru dan itu tidak akan terjadi dengan pengungsi Rohingya.
Bahkan kasus Rohingya tidak bisa disamakan dengan kasus manusia perahu Vietnam di pulau Galang, Batam, yang akhirnya setelah selesai konflik di negaranya bisa kembali hidup normal di tanah leluhur mereka. Penolakan rekognisi etnis Rohingya di Rakhine telah terjadi sejak nasionalisme Myanmar terbentuk, dan nampaknya tidak akan ada perubahan sikap dari bekas negara junta militer itu dalam waktu dekat.
Isu tentang penolakan pengungsi Rohingya sendiri juga tidak pernah terjadi di Aceh sejak awal kedatangan mereka pada 2009. Padahal saat itu Aceh tengah berada di situasi rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami. Selama belasan tahun sejak itu warga Aceh sangat familiar dengan kedatangan pengungsi Rohingya. Mereka dianggap sebagai sesama muslim yang harus dibantu dan dikasihani. Ada imajinasi kolektif bahwa Aceh-Rohingya adalah dua etnis yang sama-sama pernah teraniaya oleh kekerasan militer. Sepatutnya “bangsa” yang lebih beruntung membantu “bangsa” yang masih buntung.
Jadi sebenarnya isu penolakan warga Rohingnya di Aceh yang terjadi satu tahun belakangan ini lebih dipengaruhi oleh disinformasi yang disebarkan oleh buzzer di media sosial. Kasus ini secara tak sengaja bertemu muka dengan sikap keras aparat keamanan (TNI/Polri) yang menganggap kedatangan mereka membahayakan keamanan nasional. Kasus-kasus pelarian diri para pengungsi yang tiba di Aceh termasuk konflik internal sesama mereka ikut menambah buruk wajah pengungsi Rohingya di Aceh.
Perpres sebagai terobosan
Hadirnya Peraturan Presiden No. 125 tahun 2016 oleh Presiden Jokowi adalah terobosan penting bagi Pemerintah dalam menangani pengungsi.
Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi, kita telah ikut mengambil tanggung-jawab menangani pengungsi melalui Perpres tersebut. Peraturan itu telah mengandung norma dan standar hukum dalam melindungi keamanan pencari suaka dan pengungsi. Ada peran koordinasi pemerintah Indonesia dan UNHCR dalam penanganan pengungsian dan ada penghormatan bagi hak asasi manusia pengungsi. Ketika ada penghalauan pengungsi sejak di laut sesungguhnya menjadi bagian pengingkaran Perpres tersebut.
Memang seperti diketahui, problem pengungsian Rohingya saat ini tidak berasal dari “titik api” (Rakhine), tapi dari hulu, yaitu Cox’s Bazar. Cox’s Bazar adalah salah satu kota pantai paling eksotik di dunia, tapi terganggu oleh keberadaan salah satu kamp pengungsian terbesar yang menciptakan masalah sosial-ekonomi baru di negara miskin Asia Selatan itu.
Paling sedikit ada 1 juta pengungsi tersebar di 33 lokasi pengungsian di Cox’s Bazar yang menimbulkan masalah kriminal dan kekerasan seksual hingga perdagangan organ tubuh. Tingal di lokasi tidak higienis dan berdesakan dengan fasilitas sangat memprihatinkan telah menjadikan Cox’s Bazar sebagai neraka baru. Akhirnya para pengungsi memilih keluar dari sana dengan melibatkan oknum UNHCR dan sindikasi perdagangan orang (human trafficking) yang menyebabkan etnis Rohingya menyebar, termasuk di Aceh.
Namun, cerita tentang Aceh yang islami dan indah tidak seperti kenyataan. Banyak pengungsi yang terlanjur tertipu singgah di Aceh memilih destinasi yang lebih baik, yaitu daerah yang memiliki fasilitas rumah detensi imigrasi (rudenim) yang ada 13 di seluruh Indonesia sebagai unit pelaksana teknis sementara bagi pengungsi. Salah satu yang terdekat ada di Medan dan Tanjung Pinang (Kepri).
Beberapa oknum perdagangan dan penyeludupan orang (smuggling) yang berasal dari nelayan Aceh dan orang Rohingya sendiri telah dipenjara akibat tindakan penyeludupan yang mereka lakukan. Namun kesan bahwa setiap kali kedatangan para pengungsi Rohingya berkat “campur tangan” para nelayan Aceh juga sebuah kesesatan sekaligus memperburuk citra para pengungsi itu sendiri.
Kerumitan tentang masalah pengungsian ini menjadi tanggung-jawab bersama. Semua negara Asia Tenggara terdekat telah ikut menanggung beban dalam menangani pengungsi Rohingya seperti Thailand dan Malaysia. Bahkan Malaysia telah menampung lebih 100 ribu pengungsi Rohingya, jauh lebih besar dari yang sudah ditangani di Indonesia.
Tragedi meninggalnya para pengungsi di lautan Aceh beberapa waktu lalu ikut mencoreng wajah Aceh yang sebelumnya dicatat Al Jazeera sebagai tempat penuh kehangatan menerima mereka. Kini kita menjadi warga yang bengis terhadap Rohingya.
Sebagai pintu masuk ke Indonesia melalui Selat Melaka, Aceh akan selalu menerima konsekuensi menerima pengungsi, seperti juga barang ilegal dan narkoba. Rohingya harus diperlakukan sebagai problem kemanusiaan, tidak didistorsi sebagai problem politik luar negeri atau konspiratif.
Teuku Kemal Fasya, antropolog Unimal. Pernah melakukan riset tentang pengungsian Rohingya dengan Pusat Strategi Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Dimuat pertama kali di Serambi Indonesia, 17 April 2024.