Cukup Sudah Kematian Covid-19

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh. Foto: Bustami Ibrahim

Oleh Teuku Kemal Fasya, S.Ag., M.Hum, Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal sekaligus Dosen di Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh

UNIMALNEWS - Kamis, 26 Maret 2020, Direktur Rumah Sakit Umum Zainal Abidin mengumumkan pasien pertama Covid-19 yang meninggal dunia. Sang pasien telah meninggal beberapa hari sebelumnya.

Kabar baiknya, itu adalah kasus kematian pertama di Aceh hingga sekarang. Hingga tanggal 4 April, kasus pasien Covid-19 di Aceh tidak beranjak naik, hanya lima kasus termasuk yang meninggal (kompas.com, 4 April 2020). Pasien asal Bayu Aceh Utara yang sebelumnya tertuduh positif, hasil tesnya menunjukkan negatif (Serambi, 2/4/2020).

Bukan terbesar

Berbeda dengan lonjakan kasus di dunia, di Aceh penyebaran kasus Covid-19 relatif lemah. Data terakhir dunia, kasus Covid-19 hingga 6 April pagi adalah 1.272.953 orang dengan 69.428 kematian (https://www.worldometers.info/coronavirus/).

Negara paling tragis adalah Italia dengan jumlah kematian mencapai 15.887 jiwa. Meskipun kasus ini muncul pertama di Tiongkok, Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah korban pandemik terbesar 336.673 orang per 6 April. Kasus AS ini sedikit bisa meredakan teori konspirasi bahwa ada rencana terorisme biologi dari negara Paman Sam.

Meskipun demikian, Aceh tetap melakukan tindakan pencegahan maksimal. Pada 16 Maret 2020 Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan pemberlakuan belajar dan bekerja dari rumah, kondisi Aceh masih ceria dan bercanda di keramaian seperti warung kopi dan lokasi kongkow. Namun sejak muncul kasus positif Covid-19 pertama, suasana Aceh langsung lockdown otomatis. Ditambah lagi sebaran hoaks dari rekaman telepon seolah-olah kabar dari Malaysia bahwa puluhan warga Aceh tertular pulang kampung. Sayangnya banyak publik terlanjur percaya.

Kasus ini memang melahirkan sikap waswas, tapi tak perlu mati berdiri. Kalau melihat sejarah wabah dunia, kasus Covid-19 ini termasuk epidemik kecil secara kuantitas. Wabah flu Spanyol pada 1918-1919 menyebabkan 65 juta kematian! Kalau kita mundur lagi pada wabah pes dan kolera yang menimpa Eropa pertengahan abad ke-14, ada 100 juta ras Kaukasia yang tergeletak menjadi mayat dalam lima tahun. Ada banyak wabah di era modern yang menyebabkan kematian hingga 7 digit.

Sayangnya ketakutan warga hari ini disebabkan disinformasi yang melemahkan keyakinan bahwa kita bisa mengalahkan penyakit menular ini. Sangat menular meskipun tidak sangat mematikan, seperti diinformasikan ahli virologi, dr Moh Indro Cahyono (Serambi, 26-27/3/2020). Hoaks adalah penyakit sosial dan digital yang harus dipulihkan sebelum atau bersamaan dengan Covid-19.

Bekerja dalam komando

Yang diperlukan kini kita perlu bekerja sebagai tim, sebagai satu keluarga besar. Plt Gubernur Aceh adalah komandan tertinggi. Tapi mengharapkan seorang Nova Iriansyah menghimpun semua solusi dan kekuatan jelas tidak mungkin. Bahkan lembaga seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun, menurut Bill Gates, tidak punya skema menangani kasus epidemi seperti Ebola, apatah lagi memproyeksikan wabah-wabah pandemik ke depan.

Jika melihat data, upaya mitigasi dan pencegahan sosial yang terjadi di Aceh cukup beres. Kebijakan jam malam yang sempat diberlakukan selama seminggu juga memberikan dampak isolasi, jika dihubungkan tidak munculnya kasus baru. Namun kebisingan di media sosial kadang membuat pemimpin Aceh ragu dalam menilai dan mengevaluasi kebijakannya secara sadar, objektif, dan rasional.

Keberhasilan Provinsi Hubei, sebagai awal penjangkitan kasus Covid-19 juga didorong oleh ketaatan pada komando pemerintah. Pemerintah Iran juga mengapresiasi sikap patuh warganya akan protokol keselamatan, sehingga kasus Iran semakin mengecil. Masyarakat Italia yang tungang akhirnya harus menanggung derita dengan jumlah kematian yang terus berlari. Sesal kemudian tiada lagi berguna.

Literasi Covid-19

Yang peru dilakukan di Aceh saat ini adalah mengintesifkan edukasi kepada publik bagaimana membuat pola preventif dan kuratif penanganan kasus agar bisa menang melawan wabah.

Penulis mendapat kabar dari redaktur, bahwa di era Covid-19 ini banyak tulisan yang masuk ke meja redaksi dan rata-rata dari tenaga medis. Ini mengindikasikan ada keinginan kuat untuk memberikan daya literasi kepada masyarakat agar tidak terjebak pada deret ukur korban baru. Hal itu perlu dilakukan demi mengungkit daya responsif prima dan mengontrol semua tindakan.

Di antara yang penting diketahui publik ialah meskipun penyebaran virus ini menggunakan mediasi udara dalam kontak dekat, upaya penyemprotan disinfektan ke udara kota, jalan, kenderaan, dan orang tidak terbukti memiliki efektivitas.

Bahkan sebenarnya penyemprotan ke orang berbahaya dari sisi kesehatan (thelancet.com, 5 Maret 2020. Baca juga sumber WHO. Coronavirus disease (COVID-19) technical guidance: infection prevention and control. https://www.who.int/emergencies/diseases/novelcoronavirus-2019/technical-guidance/infection-prevention-and-control. Jika kini terlihat orkestrasi penyemprotan orang-orang layaknya tanaman, maka perlu dihentikan dan dipertanyakan bukti ilmiahnya, termasuk dampak karsogenik, yaitu pembangkit potensi kanker dalam tubuh di masa depan.

Hal yang juga penting dipahami juga adalah keselamatan pekerja kesehatan. Mereka harus mendapatkan perhatian first class. Penggunaan masker bedah umum menurut hasil riset tidak terbukti mampu mengakuisisi penyebaran Covid-19, kecuali bagi pasien terhadap lingkungan sekitar. Tenaga kesehatan harus dilengkapi masker filtrasi tinggi seperti N95, kacamata, dan baju hazmat. Karena jika tidak tenaga kesehatan akan menjadi penyebar baru Covid-19. (http://www.nhc.gov.cn/xcs/zhengcwj/202001/ e71c5de925a64eafbe1ce790debab5c6.shtml).

Hal ini harus mendapatkan respons cepat dan sumberdaya yang terdesentralisasi, bukan hanya gubernur, tapi juga bupati, dan walikota. Penulis membaca berita direktur sebuah rumah sakit meminta alat perlindungan diri, sang bupati masih akan merapatkan dulu dan mencari solusi anggarannya. Betapa bupati miskin rona literasinya tentang Covid-19. Dalam keadaan luar biasa seperti ini, bupati memiliki kuasa diskretif dan etis menyelamatkan warganya.

Terakhir, tentang kebijakan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar, Gubernur Aceh harus memutuskan dengan pikiran objektif dan pertimbangan komprehensif, bukan karena godaan netizen. Gubernurlah yang akan dimintai pertanggung-jawaban pertama atas resiko-resiko kebijakan dan itu tidak didasarkan oleh seduksi populisme di dunia maya.

Tentu kita berharap, setelah kematian pertama di Aceh akibat Covid-19, ada banyak inisiatif untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa lagi. Kita memang kalah dari sisi perlengkapan dan sumberdaya, tapi kita punya semangat dan optimisme untuk membuat lebih banyak orang selamat.

Dengan realitas kematian minimal akibat Covid-19 hingga bulan keempat, rencana Pemerintah Aceh menyediakan kuburan massal bisa diurungkan. Konversikan saja menjadi pembagian buah-buahan dan sayur-sayuran segar bagi masyarakat.

Artikel ini telah tayang di halaman Serambi Indonesia pada hari Rabu, 8 April 2020.


Kirim Komentar